Mohon tunggu...
Agung Soni
Agung Soni Mohon Tunggu... wiraswasta -

Bismillah...Alhamdulillah Wa syukurillah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Jual Ginjal" Solusi Absurd Pertaruhan Politik Sampai Tiket Konser

7 Juni 2014   23:14 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:47 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam benak Chandra Saputra mungkin dulu tidak pernah terlintas saat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di daerahnya, Pekalongan Jawa Tengah, akan berakhir dramatis. Mahalnya biaya politik kini terus menghantui kehidupannya. Uang yang dipinjamnya dari rentenir mencapai Rp.420 juta kini hilang sia-sia. Hingga Chandra Saputra pun lari ke Jakarta dengan niat "menjual ginjal" demi bisa menutupi hutangnya itu.

Banyak cerita pahit menghantarkan penulis pada sebuah kenyataan, mengapa manusia sebegitu mudahnya hendak menjual "organ tubuhnya" terutama ginjal demi kepentingan ekonomi finansial ?

Yang bikin geleng-geleng kepala, kemarin ada tweet kurang lebih bunyinya "Mau nonton One Direction, gak punya duit, siapa mau ginjal saya ? "....

Kali ini saya mengajak pembaca untuk intip kegiatan "jual beli ginjal" di media sosial, terutama Facebook dan Twitter. Hal ini penting saya sampaikan, untuk memperkuat alasan saya mengapa "jual Ginjal" adalah permasalahan baru dan bukan lagi menjadi solusi untuk keluar dari jeratan lingkaran setan ekonomi kita.

Kabarnya , satu ginjal manusia dihargai mahal. Dari belasan juta hingga ada tawaran mencapai 2,1 Milyar Rupiah per ginjal. Tapi tidak semudah yang dibayangkan. Karena pendonor harus dalam keadaan sehat dan menjalani serangkaian prosedur test kesehatan. Bukan hal yang mudah, karena menurut beberapa informasi , walaupun pendonor tidak merokok, tidak minum alkohol dan tidak pernah terdeteksi penyakit-penyakit berat, belum tentu ginjalnya cocok buat penerima yang sudah atau akan membayar ginjal pendonor. Ini masih untung-untungan, kata beberapa dokter yang pernah saya tanya. Bahkan maut selalu mengintai buat para pendonor ginjal yang notabene keadaan ginjalnya hanya ada 1 dalam tubuhnya.

Lingkaran setan "Jual Beli Ginjal" hampir mirip dengan lingkaran setan perekonomian. Ada penawaran, ada kondisi kebutuhan meningkat, ada kenaikan harga dan kembali lagi manusia-manusia pelaku jual beli ginjal hanyalah pelaku peradaban ekonomi yang sempit dan kondisional.

Meneropong lebih dalam dengan membaca broadcast yang dipasang para penjual ginjal itu membuat hati miris. Dan beberapa penjual ginjal itu rata-rata berkisar di usia 20 tahun hingga 37 Tahun. Artinya itu adalah usia produktif. Dimana mereka masih bisa memberi makna dalam kehidupan dengan bekerja dan mencari rezeki tanpa harus menjual salah satu ginjal mereka.

[caption id="attachment_341003" align="aligncenter" width="591" caption="Komunitas Jual Ginjal Di Medsos (dok.pri)"][/caption]

Mereka adalah warga Indonesia yang sedang berputus asa. Putus asa karena tidak tahu harus bagaimana mendapatkan uang dan nafkah yang baik, yang tidak mengancam keselamatan jiwanya dan tidak melanggar hukum.

[caption id="attachment_341004" align="aligncenter" width="410" caption="Penawaran Ginjal di Medsos (dok.pri)"]

1402131751476894288
1402131751476894288
[/caption]

Putus asa mereka sangat naif, bahkan kalau tidak keberatan jauh lebih pantas lebih kental sisi jiwa “pemalas” dan “radikal”nya keputusan mereka dalam posisi kemalasan. Radikal dalam mengambil keputusan yang di luar nalar dan kemanusiaan dengan menjual organ tubuh yang sudah dianugerahkan pada tiap manusia.

Toch, inspirasi jual ginjal ini pada awalnya adalah sebuah stereotipe budaya instan. Dengan menggaruk akal sehat seseorang karena alasan ekonomi dan keuangan.

Cuma bisa mengelus dada saja. Jual Ginjal karena ingin mengeruk uang ? Mungkin harus berpikir ulang kale ya .

Jangan lupa, "menaruh pundak yang diam itu  berat apalagi berharap mendapat ikan gratis yang besar , tapi menaruh pundak yang berat akan terasa ringan jika digerakkan untuk bekerja memancing ikan".

Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun