Mohon tunggu...
Agung Soni
Agung Soni Mohon Tunggu... wiraswasta -

Bismillah...Alhamdulillah Wa syukurillah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kalkun untuk Dosen Penguji Skripsi

20 Juni 2014   16:11 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:00 835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Cerita ini saya dapat dari anak sulung kami yang sudah lulus dari Fakultas Kedokteran Gigi pada sebuah Universitas di Denpasar. Awalnya memang putra sulung kami sering dimintai tolong oleh dosennya yang sudah agak sepuh untuk membooking tiket pesawat secara online. Sudah beberapa kali, dosennya meminta bantuan. Tentu saja, kami sebagai ornag tua agak was-was , uang siapa yang dipakai untuk membayar tiket pesawat tersebut.

"Itu uangnya dosen kok, bi..." , jawab sulung. Oh, lega rasanya. Maklum kalau saya jadi piktor karena sering mendengar cerita dosen yang memanfaatkan mahasiswanya (walau saya juga banyak mengenal dosen yang baik dan bersih dari perilaku kotor).

Melanjutkan pembicaraan dengan anak sulung, akhirnya si sulung tiba-tiba nyeletuk, " Kalau masalah begitu, malah ada yang lebih parah , Abi. Teman saya yang mau maju ujian skripsi disuruh membelikan kalkun untuk dosen pengujinya. ", kisah nya pada saya.

" Karena sadar beberapa hari lagi sudah mau ujian skripsi, akhirnya teman saya mencari kalkun, putar-putar seluruh Denpasar. Dapat yang sudah beku, di supermarket yang biasanya buat grosiran. Memang mahal, tapi kalau gak dibeliin, bakal disusahin buat lulus...".

Tercekat hati saya. Ini sebenarnya bukan barang baru, tentang dosen yang memanfaatkan mahasiswanya. Ada sebuah kisah menarik yang ditulis oleh penulis El Nino M. Husein Mohi yang pernah diceritakan di jejaring sosial.

Mahasiswa : Bang, tolong kami, kami ini dipaksa dosen untuk studi banding ke kota yang jauh. Padahal mayoritas kami tidak punya uang cukup. Sementara pak dosen minta dibayari tiket pesawat PP sekaligus minta uang saku per hari di luar daerah. Tolong kami bang...

Dan El Nino memberi saran untuk menjawab dengan kalimat sebagai berikut : "Bilanglah ke dosennya bahwa kamu tidak punya uang".

Mahasiswa menjawab lagi : "Sudah bang, cuma pak dosen bilang, "Kalau sudah bisa kuliah, pasti punya uang. Mana ada orang miskin bisa kuliah...".

Ini tentu saja mengundang keprihatinan kita sebagai orang tua dari anak-anak yang nantinya juga pasti akan menjadi mahasiswa dan dididik oleh seorang dosen.

Saya pastinya tahu, tidak semua dosen akan saya generalisasikan atau pukul rata sama persis dengan kisah diatas. Nggak banget. Karena selama saya kuliah dulu, saya menemui banyak dosen yang baik, teladan dan bersih. Makanya ini membuat saya kaget setelah lama tidak merasakan jadi mahasiswa.

Belum tentu juga , mahasiswa yang diminta kalkun oleh dosen nya adalah anak orang kaya. Biar setiap hari naik motor bagus atau mobil ke kampus, itu bukan jaminan kalau mahasiswa bisa membelikan semua apa yang diminta oleh dosennya diluar kepatutan. Anak orang kaya, tapi tiap bulannya dikasih uang bulanan terbatas bagaimana ? seperti anak saya. Maklum saya juga bukan orang kaya-kaya sekali, ya cukuplah. Semua urusan keuangan harus dimanage dengan pembagian yang imbang. Bila sepertgi anak saya yang uang bekal bulanan nya pas terus disuruh beli kalkun , lha opo tumon ?

Lagian, apa ya hubungan kalkun dengan ujian skripsi ? Mencibir keterbatasan mahasiswa juga tidak patut. Karena ada mahasiswa yang juga nyambi menjadi pegawai, bahkan pengusaha. Tapi dosen yang minta disuapi mahasiswanya, rasanya kok yo bikin malu nama baik dosen sebagai pendidik terhormat di mata masyarakat. Jadi sebenarnya, korupsi , suap menyuap siapa dong yang mengajarkan kepada para pejabat yang ada di kursi pesakitan sekarang ? Mosok iyo saya mau jawab "pasti dosennya dulu yang minta kalkun".. ah benar-benar penggambaran yang harus saya cerna kembali baik-baik.

Manusia punya budaya dan budaya yang paling banyak dipakai semua orang terutama di negeri timur kita adalah budaya malu. Budaya malu ini memang sering diajarkan orang tua kepada kita yang hidup di Indonesia. "Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Kalau terus menerus tangan ke bawah padahal dia orang berilmu dan mampu, namanya tidak punya malu".

Berat memang kalau pendidik yang ada di universitas di negeri ini ternyata tidak punya rasa malu. Malu pada Tuhan, malu pada jabatan dan gelar yang disandang, malu pada masyarakat, sepertinya membuat "kalkun itu lebih berharga daripada malu".

Salam Kompasiana

Caooo....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun