Penulis mengenal Suparmo sebagai paman dari istri penulis sendiri. Karena setiap lebaran, saya pasti mudik dari Bali menuju Lampung, mau tak mau setiap tahunnya kami bersilaturahmi ke rumah Paklek Parmo.
Suparmo adalah korban dari peristiwa berdarah Talangsari di tahun 1989.
Suparmo berpeci putih kemeja putih saat hadiri Peringatan Konflik Talangsari ke 18 (dok.pri) dr buku
Suatu kali, Paklek pernah berkisah kepada saya tentang peristiwa Talangsari 1989 yang pernah ia alami.
"Saya ini orang yang haus ilmu agama. Bila ada kajian ilmu agama, Paklek pasti akan berusaha datang. Walaupun tempatnya jauh, ora masalah. Yang penting batin ini puas dan tentram karena ilmu dan wawasan bertambah, kenalan juga nambah," Paklek mengawali kisah asal muasalnya mengapa beliau senang datang ke acara kajian agama.
Dulu di tahun 80-an, pengawasan kepada kelompok-kelompok pengajian sangat ketat dan banyak yang melakukan kajian agama dengan secara sembunyi-sembunyi, mengingat resiko yang tidak kecil bakal dihadapi bila ketahuan aparat keamanan saat itu.
Peristiwa Talangsari sesungguhnya adalah penyerbuan aparat militer ke kelompok pengajian yang dipimpin Anwar Warsidi dan sarat dengan pelanggaran HAM. Stigma yang ada ternyata pengajian kelompok Warsidi ini disebut sebagai "kelompok pemberontak" yang nyeleneh, Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK), kelompok makar dan PKI yang akan menumbangkan pemerintah. Fitnah mereka menyebarkan agama Islam sesat dijadikan kondisi dasar untuk penyerangan tersebut.
Padahal dari penuturan Paklek Suparmo pengajian itu benar-benar hanya membahas agama Islam murni berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah Nabi yang mereka coba praktekkan dalam pengajian dan kehidupan sehari-hari. Tidak ada doktrin untuk membangkang kepada pemerintah ataupun makar. Semua kegiatan murni mengkaji ibadah, muamalah, dan aqidah. Terlebih di tahun 80-an, kita mahfum seperti masalah jilbab masih sangat tabu untuk dipakai kaum muslimah (perempuan muslim).
Peristiwa Talangsari bukan semata-mata masalah agama, tapi terlebih pada sikap aparat negara ORBA yang kurang bisa menerima kritik dan perbedaan pendapat. Jamaah Warsidi kebanyakan adalah rakyat biasa yang kecewa kepada pemerintahan Soeharto yang sudah melenceng dari tujuan menyejahterakan rakyat. Orang-orang yang kecewa itu kemudian bergabung dan membuat konsep untuk mendirikan perkampungan Islami, di sebuah tempat yang jauh dari hingar-bingar.
Tapi sayangnya, niat membangun perkampungan islami yang akan menjalankan Al Qur'an dan Sunnah itu langsung direspon aparat dengan dentuman senjata dan bom pada Selasa, 7 Februari 1989. Korban berjatuhan tanpa perlawanan berarti. Mereka ditembaki, ditelanjangi, dibakar hidup-hidup, disiksa dan sebagian dijebloskan penjara.
Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam) mencatat ada 246 korban tewas, sedang pemerintah ORBA hanya mencatat 27 orang saja yang tewas (Sumber : Majalah Tempo, 18 Februari 1989).
Pada saat pecah bentrokan fisik antara kelompok Warsidi dengan tentara, Paklek Parmo baru saja keluar dari lokasi pengajian di Desa Cihideung. Malam hari sebelum kejadian itu lelaki kelahiran Wonogiri Jawa Tengah 27 November 1943 sudah ada di Cihideung mengikuti pengajian. Sebelumnya Paklek sudah sempat dua kali mengikuti pengajian di Cihideung.
Dari Cihideung, Paklek langsung ke Desa Sribhawono ke tempat mertuanya hendak memberi tahu bahwa 2 anaknya, Mursyidin dan Mudiman ikut ditangkap aparat saat meronda di pengajian Cihideung. Belum sempat pulang ke rumah, Paklek mendengar kabar istrinya ditangkap dan dibawa ke markas Koramil Labuhan Maringgai untuk dijadikan sandera agar Suparmo menyerah. Suparmo pun menyusul ke Koramil. Ia ditahan selama 3 bulan. Dari Koramil Labuhan Maringgai, pindah ke Kodim Lampung Tengah, terakhir di Korem 043 Garuda Hitam. Setelah bebas, Paklek tetap diharuskan wajib lapor selama 5 tahun.
Penderitaan tidak hanya sampai di sini, gelar pengikut GPK dan Islam PKI terkadang masih terdengar di telinga Paklek Parmo. Keluar dari tahanan yang penuh siksaan fisik seperti dipukul, ditendang, diinjak-injak, disetrum dan sebagainya tidak menjadikan Paklek terbebas dari siksa sosial yang dirasakan di tengah masyarakat. Kebencian terus mengalir dan ada hak-hak Paklek Parmo sebagai warga negara yang ditindas.
Seperti ditolak dalam hak mendapatkan pendidikan. Anak-anak Paklek Parmo ditolak bersekolah di SD negeri Desa Sidorejo. Hingga terpaksa ada yang sekolah di luar Lampung, dan mendapat cemoohan anak GPK atau PKI.
Hingga kini, Paklek Suparmo hidup sederhana dengan anak-anak yang sudah dewasa dan semuanya bekerja di sektor Informal, akibat gelar yang distempelkan masyarakat kepada keluarga Suparmo.
Sebenarnya tanpa dicetuskan oleh jamaah Warsidi, pemerintah ORBA sendiri sudah tahu kalau kritikan jamaah Warsidi itu memang benar adanya. Tapi di situlah letak permasalahannya. Tidak boleh ada suara yang berbeda. Bila dibiarkan kelompok ini akan semakin membesar sehingga tindakan represif dilakukan sedini mungkin.
Keluarga mertua sebagai bagian dari keluarga Pak Suparmo memahami begitu besar penderitaan yang dialami Paklek. Paklek Suparmo adalah pribadi yang begitu sederhana dan agamis. Penampilannya sehari-hari selalu bercelana cengkrang (di atas mata kaki) dan ke mana-mana mengendarai sepeda tuanya. Ia tidak mempedulikan lagi apa kata orang tentang dirinya. Yang ia pedulikan adalah bagaimana ia bisa hidup bahagia bersama keluarga dan bisa beribadah dengan aman.
Hingga kini pun, kasus pelanggaran HAM Talangsari 1989 seperti menguap begitu saja. Tidak ada yang lebih bisa mengetahui betapa mengerikan ketika di zaman Orde Baru untuk bisa mengaji saja harus berurusan dengan militer. Sebuah harga yang harus dibayar mahal Pakle Parmo untuk bisa hidup menaati agamanya.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H