Pada saat pecah bentrokan fisik antara kelompok Warsidi dengan tentara, Paklek Parmo baru saja keluar dari lokasi pengajian di Desa Cihideung. Malam hari sebelum kejadian itu lelaki kelahiran Wonogiri Jawa Tengah 27 November 1943 sudah ada di Cihideung mengikuti pengajian. Sebelumnya Paklek sudah sempat dua kali mengikuti pengajian di Cihideung.
Dari Cihideung, Paklek langsung ke Desa Sribhawono ke tempat mertuanya hendak memberi tahu bahwa 2 anaknya, Mursyidin dan Mudiman ikut ditangkap aparat saat meronda di pengajian Cihideung. Belum sempat pulang ke rumah, Paklek mendengar kabar istrinya ditangkap dan dibawa ke markas Koramil Labuhan Maringgai untuk dijadikan sandera agar Suparmo menyerah. Suparmo pun menyusul ke Koramil. Ia ditahan selama 3 bulan. Dari Koramil Labuhan Maringgai, pindah ke Kodim Lampung Tengah, terakhir di Korem 043 Garuda Hitam. Setelah bebas, Paklek tetap diharuskan wajib lapor selama 5 tahun.
Penderitaan tidak hanya sampai di sini, gelar pengikut GPK dan Islam PKI terkadang masih terdengar di telinga Paklek Parmo. Keluar dari tahanan yang penuh siksaan fisik seperti dipukul, ditendang, diinjak-injak, disetrum dan sebagainya tidak menjadikan Paklek terbebas dari siksa sosial yang dirasakan di tengah masyarakat. Kebencian terus mengalir dan ada hak-hak Paklek Parmo sebagai warga negara yang ditindas.
Seperti ditolak dalam hak mendapatkan pendidikan. Anak-anak Paklek Parmo ditolak bersekolah di SD negeri Desa Sidorejo. Hingga terpaksa ada yang sekolah di luar Lampung, dan mendapat cemoohan anak GPK atau PKI.
Hingga kini, Paklek Suparmo hidup sederhana dengan anak-anak yang sudah dewasa dan semuanya bekerja di sektor Informal, akibat gelar yang distempelkan masyarakat kepada keluarga Suparmo.
Sebenarnya tanpa dicetuskan oleh jamaah Warsidi, pemerintah ORBA sendiri sudah tahu kalau kritikan jamaah Warsidi itu memang benar adanya. Tapi di situlah letak permasalahannya. Tidak boleh ada suara yang berbeda. Bila dibiarkan kelompok ini akan semakin membesar sehingga tindakan represif dilakukan sedini mungkin.
Keluarga mertua sebagai bagian dari keluarga Pak Suparmo memahami begitu besar penderitaan yang dialami Paklek. Paklek Suparmo adalah pribadi yang begitu sederhana dan agamis. Penampilannya sehari-hari selalu bercelana cengkrang (di atas mata kaki) dan ke mana-mana mengendarai sepeda tuanya. Ia tidak mempedulikan lagi apa kata orang tentang dirinya. Yang ia pedulikan adalah bagaimana ia bisa hidup bahagia bersama keluarga dan bisa beribadah dengan aman.
Hingga kini pun, kasus pelanggaran HAM Talangsari 1989 seperti menguap begitu saja. Tidak ada yang lebih bisa mengetahui betapa mengerikan ketika di zaman Orde Baru untuk bisa mengaji saja harus berurusan dengan militer. Sebuah harga yang harus dibayar mahal Pakle Parmo untuk bisa hidup menaati agamanya.
Salam