Tanpa sadar, air mataku pun ikut jatuh.
Aku baru menyadari karena ia adalah ayah dari sebuah keluarga yang rumahnya hanyut diterjang ombak Tsunami. Ia kebingungan, karena sementara keluarga nya ditinggal di daerah yang sedang bermusibah, sementara ia sendiri sedang beribadah haji dengan hati yang berat dan penuh kegalauan. Kacau balau dalam air mata, tampak terlihat jelas. Nasib keluarganya juga tidak jelas. Ia berangkat ke Tanah Suci sebelum tsunami terjadi. Dan tahu berita itu dari media massa lokal Mekah yang juga ikut menayangkan berita tsunami Aceh.
Aku pun mendekati bapak itu. Kusalami dan kupeluk tubuhnya yang sedang meronta di depan Ka'bah. Saya sempat menangis bersama bapak itu. Hingga akhirnya seorang kepala rombongan mendekati bapak itu dan mengajaknya pulang ke penginapan karena hotel nya sangat jauh perjalanan dari Masjidil Haram. Ia memakai ONH Reguler yang memang kebanyakan, hotel menginap jauh dari Masjidil Haram.
Aku sapu air mata yang terlanjur berderai karena ikut merasakan kepedihan bapak itu tadi.
Ia pergi dengan menyalami dan menanyakan namaku. Ia menyebut namanya. Rupanya menurut beberapa kawan yang paham, bapak ini seorang keturunan bangsawan Aceh.
Inilah sepenggal kisah sedih yang kualami di depan Ka'bah dan tidak pernah terlupakan seumur hidup. Saya yakin pasti bapak itu sudah hidup bahagia kembali bersama keluarganya yang baru sekarang. Menyesalnya, saya tidak meminta nomor telpon dan alamatnya, agar saya bisa kontak ia lagi. Karena ikut larut dalam kesedihan, saya lupa semuanya.
Note :
"Tulisan ini saya susun untuk selalu mengingatkan saya Tsunami Aceh 2004 dimana saya menjadi saksi tangisan bapak yang kehilangan segalanya di Aceh dan ia mengadu pada Allah di depan Ka'bah.. Semoga engkau dikuatkan Allah, wahai bapak, hiks..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H