Jadi kesempatan untuk beribadah sangatlah lapang dan shalat 5 waktu bisa kami lakukan selalu di depan Ka'bah atau seputaran Hijr Ismail. Kedua tempat inilah yang jadi favorit saya dan ayah mertua bila shalat.
Pas setelah thawaf yang saya lakukan selesai, entah mengapa, saya ingin sekali mencium Hajar Aswad. Walaupun tidak mutlak harus dilakukan, saya berpikir, mumpung masih di Mekkah, kapan lagi saya punya kesempatan cium batu hitam itu ? Maka alhamdulillah, saya dipermudah menciumnya.
Setelah itu, karena ayah mertua kelelahan, saya meminta beliau duduk saja dekat pagar beton kecil yang memagari dekat lingkaran terdekat thawaf. Saya ingin sekali berdoa di salah satu tempat dimana doa selalu akan dikabulkan jika kita melakukannya di Multazam, yakni tempat di antara Pintu Ka'bah dan Hajar Aswad.
Saya tidak perduli dengan lautan manusia yang ada di sekitar Ka'bah. Saya harus berjuang mendekati multazam itu. Usaha saya berhasil.
Dengan mengangkat tangan sambil berdoa, tanpa disadari saya seperti diizinkan Allah mendengar suara tangisan seseorang yang sangat menyayat hati. Seorang bapak yang saya perkirakan berumur 55-60 tahun dengan pakaian ihramnya sedang mengangkat tangan dan merintih. Rintihannya menyayat hati.
Dan rintihan itu sangat berbeda dengan rintihan yang berada di sekitar saya, yang rata-rata orang Arab dengan bahasa yang semuanya tidak saya mengerti. Saya seperti mengenal aksen dan logatnya dia menangis. Ya Allah, dia orang Aceh !
Saya melihat dari tas yang menggantung di lehernya adalah tas berciri khas WNI dan ada semacam tanda label tas bertuliskan "Rombongan Biro .... Banda Aceh".
Ia terus menangis di depan Ka'bah tanpa henti. Seperti seorang anak bayi yang menangisi ibunya yang telah tiada.
Lamat-lamat kudengar rintihannya dengan bahasa Aceh yang tak kumengerti. Namun sebentar-bentar ada bahasa Indonesianya juga yang keluar.
"Ya Allah, kemana hamba akan pulang ? Rumah hamba sudah Engkau ambil, aku pasrah. Istri dan anakku juga aku titip PadaMu di sana. Itu KemauanMu. Tapi tolong, hamba sudah tak punya tempat bernaung lagi. Sedang keluarga?"
.... seperti itulah suara bapak itu merintih.