23 Desember 2004
Saya bersama istri menghadiri Upacara Wisuda dan Yodisium Sarjana Universitas Lampung. Adik istri paling bungsu berhasil menyelesaikan program sarjana pertanian di Unila dan sebuah kebanggaan buat adik, bila kakak tersayangnya bisa menghadiri wisuda tersebut. Jadilah kami "terbang" ke Lampung, berempat. Jadi sebenarnya ayah dan ibu mertua sudah ada di Bali karena persiapan manasik haji bersama-sama harus dilakukan di Denpasar. Tapi, demi adik, akhirnya seperti mudik, kami berempat ke Lampung tanpa persiapan.
Setelah wisuda selesai, barulah kami berempat harus balik lagi ke Bali untuk persiapan manasik haji dan umroh. Dan karena libur akhir tahun, kami dapat tiket pesawat ke Bali pada tanggal 26 Desember.
26 Desember 2004 Pkl.19.00 Wita
Di atas pesawat, inilah peristiwa yang tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Malam itu cuaca sangat buruk. Pesawat berkali-kali bergetar seperti seorang manusia yang menggigil kedinginan. Kami penumpang di dalamnya ikut bergetar. Kulihat raut wajah ibu mertua sudah pasrah dan ada sedikit garis ketakutan di wajahnya yang renta. Kuraih tangan ibu, dan mengajaknya mengangkat tangan untuk berdoa dalam hati. Segera saya, istri dan ibu mertua mengangkat tangan dan berdoa agar diberi keselamatan sampai di Bali. Ayah mertua mungkin sudah terlalu lelah, beliau tertidur sepanjang perjalanan dari Jakarta menuju Bali.
Rupanya memang tanggal 26 Desember 2004 cuaca buruk yang kami alami di atas pesawat adalah "sambungan" dari cuaca Aceh yang juga tidak bersahabat. Bahkan bukan itu saja, kami baru menyadari ketika gempa Aceh terjadi, kami sedang berada di atas pesawat dengan gangguan hebat cuaca buruk itu.
Syukurlah, walau diguncang agak keras di atas udara, pesawat kami berhasil mendarat dengan selamat di Bandara Ngurah Rai.
29 Desember 2004, Pkl.09.00 WITA
Sesuai jadwal keberangkatan, ayah ibu mertua dan saya bersama istri sudah harus berada di Bandara Ngurah Rai untuk berangkat menuju Jakarta, tempat rombongan biro haji kami berkumpul. Kami menggunakan Ibadah Haji plus mengingat saat itu ada kesempatan kuota kosong dan inilah peluang emas yang tidak boleh disia-siakan mengingat bisa jadi, tahun depan atau beberapa tahun mendatang kami belum tentu mendapat jatah kuota. Alhamdulillah, perjalanan pesawat dari Bali-Jakarta-Jeddah lancar. Sesampainya di King Abdul Aziz kami sudah berganti pakaian ihram menuju kota Mekah.
30 Desember 2004, Pkl.09.00 waktu Mekkah
Hotel Sobra, tempat kami menginap sangat dekat jaraknya dengan Masjidil Haram. Berbicara perumpamaan jarak seperti hotel Santika di TMII dengan lokasi Kompasianival berlangsung yakni Gedung Sasono Budoyo. Sangat dekat.
Jadi kesempatan untuk beribadah sangatlah lapang dan shalat 5 waktu bisa kami lakukan selalu di depan Ka'bah atau seputaran Hijr Ismail. Kedua tempat inilah yang jadi favorit saya dan ayah mertua bila shalat.
Pas setelah thawaf yang saya lakukan selesai, entah mengapa, saya ingin sekali mencium Hajar Aswad. Walaupun tidak mutlak harus dilakukan, saya berpikir, mumpung masih di Mekkah, kapan lagi saya punya kesempatan cium batu hitam itu ? Maka alhamdulillah, saya dipermudah menciumnya.
Setelah itu, karena ayah mertua kelelahan, saya meminta beliau duduk saja dekat pagar beton kecil yang memagari dekat lingkaran terdekat thawaf. Saya ingin sekali berdoa di salah satu tempat dimana doa selalu akan dikabulkan jika kita melakukannya di Multazam, yakni tempat di antara Pintu Ka'bah dan Hajar Aswad.
Saya tidak perduli dengan lautan manusia yang ada di sekitar Ka'bah. Saya harus berjuang mendekati multazam itu. Usaha saya berhasil.
Dengan mengangkat tangan sambil berdoa, tanpa disadari saya seperti diizinkan Allah mendengar suara tangisan seseorang yang sangat menyayat hati. Seorang bapak yang saya perkirakan berumur 55-60 tahun dengan pakaian ihramnya sedang mengangkat tangan dan merintih. Rintihannya menyayat hati.
Dan rintihan itu sangat berbeda dengan rintihan yang berada di sekitar saya, yang rata-rata orang Arab dengan bahasa yang semuanya tidak saya mengerti. Saya seperti mengenal aksen dan logatnya dia menangis. Ya Allah, dia orang Aceh !
Saya melihat dari tas yang menggantung di lehernya adalah tas berciri khas WNI dan ada semacam tanda label tas bertuliskan "Rombongan Biro .... Banda Aceh".
Ia terus menangis di depan Ka'bah tanpa henti. Seperti seorang anak bayi yang menangisi ibunya yang telah tiada.
Lamat-lamat kudengar rintihannya dengan bahasa Aceh yang tak kumengerti. Namun sebentar-bentar ada bahasa Indonesianya juga yang keluar.
"Ya Allah, kemana hamba akan pulang ? Rumah hamba sudah Engkau ambil, aku pasrah. Istri dan anakku juga aku titip PadaMu di sana. Itu KemauanMu. Tapi tolong, hamba sudah tak punya tempat bernaung lagi. Sedang keluarga?"
.... seperti itulah suara bapak itu merintih.
Tanpa sadar, air mataku pun ikut jatuh.
Aku baru menyadari karena ia adalah ayah dari sebuah keluarga yang rumahnya hanyut diterjang ombak Tsunami. Ia kebingungan, karena sementara keluarga nya ditinggal di daerah yang sedang bermusibah, sementara ia sendiri sedang beribadah haji dengan hati yang berat dan penuh kegalauan. Kacau balau dalam air mata, tampak terlihat jelas. Nasib keluarganya juga tidak jelas. Ia berangkat ke Tanah Suci sebelum tsunami terjadi. Dan tahu berita itu dari media massa lokal Mekah yang juga ikut menayangkan berita tsunami Aceh.
Aku pun mendekati bapak itu. Kusalami dan kupeluk tubuhnya yang sedang meronta di depan Ka'bah. Saya sempat menangis bersama bapak itu. Hingga akhirnya seorang kepala rombongan mendekati bapak itu dan mengajaknya pulang ke penginapan karena hotel nya sangat jauh perjalanan dari Masjidil Haram. Ia memakai ONH Reguler yang memang kebanyakan, hotel menginap jauh dari Masjidil Haram.
Aku sapu air mata yang terlanjur berderai karena ikut merasakan kepedihan bapak itu tadi.
Ia pergi dengan menyalami dan menanyakan namaku. Ia menyebut namanya. Rupanya menurut beberapa kawan yang paham, bapak ini seorang keturunan bangsawan Aceh.
Inilah sepenggal kisah sedih yang kualami di depan Ka'bah dan tidak pernah terlupakan seumur hidup. Saya yakin pasti bapak itu sudah hidup bahagia kembali bersama keluarganya yang baru sekarang. Menyesalnya, saya tidak meminta nomor telpon dan alamatnya, agar saya bisa kontak ia lagi. Karena ikut larut dalam kesedihan, saya lupa semuanya.
Note :
"Tulisan ini saya susun untuk selalu mengingatkan saya Tsunami Aceh 2004 dimana saya menjadi saksi tangisan bapak yang kehilangan segalanya di Aceh dan ia mengadu pada Allah di depan Ka'bah.. Semoga engkau dikuatkan Allah, wahai bapak, hiks..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H