Mohon tunggu...
Takhsinul Khuluq
Takhsinul Khuluq Mohon Tunggu... -

Mahasiswa FIB UGM

Selanjutnya

Tutup

Politik

Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara (Tulisan Bung Karno, 1940)

6 September 2013   14:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:16 3966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wajah mukanya yang berseri-seri itu nampak makin sedaplah karena rambutnya yang berombak-ombak dan panjang, tersisir rapih ke belakang, sampai setinggi pundaknya. Sorot matanya yang indah itu seakan-akan “mimpi”, – seperti memandang kesatu tempat yang jauh sekali dari alam yang fana ini, melayang-layang di satu alam-gaib yang hanya dikenali Tuhan.

Maka datanglah orang-orang tamunya, orang-orang Madinah atau luar ­Madinah, yang sudah masuk Islam atau yang mau masuk Islam. Mereka semuanya sederhana, semuanya membawa sifatnya zaman yang kuno itu. Rambutnya panjang-panjang, ada yang sudah sopan, ada yang belum sopan. Ada yang membawa panah, ada yang mendukung anak, ada yang jalan kaki, ada yang naik onta, ada yang setengah telanjang. Mereka datanglah minta keterangan dari hal pelbagai masalah agama, atau minta petunjuk ditentang pelbagai masalah dunia sehari-hari. Ada yang mena­nyakan urusan ontanya,

ada yang menanyakan urusan pemburuan, ada yang mengadukan hal pencurian kambing, ada yang minta obat, ada yang minta didamaikan perselisihannya dengan isteri di rumah.

Tetapi tidak seorang­pun menanyakan boleh tidaknya menonton bioskop, boleh tidaknya mendirikan bank, boleh tidaknya nikah dengan perantaraan radio, tidak seorang­pun membicarakan hal mobil atau bensin atau obligasi bank atau telegraf atau kapal-udara atau gadis menjadi dokter …

Nabi mendengarkan segala pertanyaan dan pengaduan itu dengan tenang dan sabar, dan mengasihlah kepada masing-masing penanya jawabnya dengan kata-kata yang menuju terus ke dalam rokh-semangatnya semua yang hadir.  Disinilah syari’atul Islam tentang masyarakat lahir kedunia, disinilah buaian wet kemasyarakatan Islam yang nanti akan dibawa oleh zaman turun-temurun, melintasi batasnya waktu dan batasnya negeri dan samudra.

Di sinilah Muhammad bertindak sebagai pembuat wet, bertindak sebagai wetgever, dengan pimpinannya Tuhan, yang kadang-kadang langsung mengasih pimpinannya itu dengan ilham dan wahyu. Wet ini harus cocok dan mengasih kepuasan kepada masyarakat di waktu itu, dan cukup “karat”, – cukup elastis, cukup supel, – agar dapat tetap dipakai sebagai wet buat zaman-zaman di kelak kemudian hari. Sebab Nabi, di dalam maha-kebijaksanaannya itu insyaflah, bahwa Ia sebenarnya tidak mengasih jawaban kepada si Umar atau si Zainab yang duduk di hadapannya di bawah puhun kurma pada saat itu sahaja, – Ia insyaf, bahwa Ia sebenarnya mengasih jawaban kepada Seluruh Peri-kemanusiaan.

Dan seluruh peri kemanusiaan, bukan sahaja dari zamannya Nabi sendiri, tetapi juga seluruh peri kemanusiaan dari abad-abad yang ke­mudian, abad kesepuluh, abad keduapuluh, ketigapuluh, keempatpuluh, kelimapuluh dan abad-abad yang masih kemudian-kemudian : Lagi yang masyarakatnya sifatnya lain, susunannya lain, kebutuhannya lain, hukum perkembangannya lain.

Maka di dalam maha-kebijaksanaan Nabi itu, pada saat Ia mengasih jawaban kepada si Umar dan si Zainab di bawah puhun kurma hampir seribu empat ratus tahun yang lalu itu, Ia adalah juga mengasih jawaban kepada kita. Kita, yang hidup ditahun 1940! Kita, yang hajat kepada radio dan listrik, kepada sistim politik yang modern dan hukum-hukum ekonomi yang modern, kepada kapal-udara dan telegraf, kepada bioskop dan universitas! Kita, yang alat-alat penyenangkan hidup kita berlipat­-lipat ganda melebihi jumlah dan kwaliteitnya alat-alat hidup si Umar dan si Zainab dari bawah puhun kurma tahadi itu, yang masalah-masalah hidup kita berlipat-lipat ganda lebih sulit, lebih berbelit-belit, daripada si Umar dan si Zainab itu. Kita yang segala-galanya lain dari si Umar dan si Zainab itu.

Ya, juga kepada kita! Maka oleh karena itulah segala ucapan-ucapan Muhammad tentang hukum-hukum masyarakat itu bersifat syarat-syarat minimum, yakni tuntutan-tuntutan “paling sedikitnya”, dan bukan tuntutan-tuntutan yang “musti presis begitu”, bukan tuntutan­tuntutan yang mutlak. Maka oleh karena itulah Muhammad bersabda pula, bahwa ditentang urusan dunia “kamulah lebih mengetahui”.


Halide Edib Hanum kira-kira limabelas tahun yang lalu pernah menulis satu artikel di dalam surat-surat-bulanan “Asia”. Yang antaranya ada berisi kalimat: “Di dalam urusan ibadat, maka Muhammad adalah amat keras sekali. Tetapi didalam urusan yang lain, didalam Ia punya sistim masyrakat, Ia, sebagai seorang wetgever yang jauh penglihatan, adalah menga­sih hukum-hukum yang sebenarnya “liberal”. Yang membuat hukum-­hukum masyarakat itu menjadi sempit dan menyekek nafas ialah con­sensus ijma’ ulama.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun