Mohon tunggu...
Diah Ayu Puspita
Diah Ayu Puspita Mohon Tunggu... Wiraswasta - Latihan Menuangkan Isi Hati

Hanya sebatas hiburan dan informasi, yang tidak menyinggung siapapun.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Intoleransi Mengikis Ideologi Bangsa

11 November 2019   23:32 Diperbarui: 12 November 2019   08:08 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Diah Ayu Puspita

Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam

Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara

          

          Indonesia merupakan negara yang besar, negara yang memiliki luas 1.905 Km2 yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dari hasil survey penduduk sensus (Supas) pada tahun 2019 jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai 266,91 juta jiwa. Tidak hanya itu, Indonesia juga memiliki lebih dari 300 kelompok etnik dan tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa di Tanah Air menurut sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010. Selain itu Indonesia menurut Badan Bahasa memiliki 652 bahasa daerah.

          Bonus demografi Indonesia yang begitu luar biasa menjadikan negara Indonesia menjadi ladang dalam berbagai macam paham yang dianut oleh masyarakatnya. Karena di Indonesia juga memiliki berbagai macam agama dan kepercayaan yang dianut oleh masing-masing individu. Oleh karena itu, kekayaan alam, suku, bangsa, budaya, bahasa, dan agama menjadi keunikan tersendiri bagi bangsa Indonesia.

          Banyaknya perbedaan di Indonesia menjadi salah satu faktor yang sangat penting dalam menjaga kesatuan dan ketahanan negara Indonesia. Tantangan di negara yang memiliki berbagai macam keanagaraman memang sangat kompleks. Diantaranya masalah kerukunan atau yang gencar dibicarakan saat ini adalah intoleransi.

          Intoleranssi memang sudah ada sejak zaman reformasi yang tak kunjung surut hingga saat ini. Memang wajar hal ini terjadi, karena kita hidup di dalam negara yang majemuk. Namun, masalah intoleransi harus segera teratasi karena pada dasarnya hal ini dapat merongrong persatuan bangsa yang akan berakibat pada perpecahan.

          Intoleransi sendiri merupakan suatu tindakan ketidakmampuan untuk menahan diri tidak suka kepada orang lain, mencampuri dan atau menentang sikap atau keyakinan orang lain, dan sengaja mengganggu ketenangan orang lain. Dengan demikian sikap intoleran merupakan sikap yang biasaya terlalu fanatik terhadap suatu keyakinan atau agama, suku, maupun pandangan yang dimiliki seseorang  sehingga menimbulkan rasa paling menang sendiri dan merasa paling benar dengan apa yang diyakininya.

          Berbicara mengenai intoleransi memang tidak lah mudah. Kita harus benar-benar memperhatikan kasus-kasus yang sifatnya mendiskrimanasi beberapa golongan ataupun isu-isu yang berkaitan dengan SARA. Diantara contoh kasus yaitu adanya penyerangan Gereja Santo Paulus di Bantul, Yogyakarta oleh masa yang mengatasnamakan Front Jihad Islam dan ormas lainnya. Penyerangan klenteng Tjoe Hwie Kiong di Kediri Jawa Timur. Tidak hanya itu, aksi penolakan oleh ormas Islam yang mengatasnamakan Pembela Ahlu Sunnah (PAS) yang membubarkan acara kebaktian di Gedung Sabuga Bandung.

          Tentunya dari kejadian tersebut kita bisa melihat bahwa ada sekelompok orang yang senang mengganggu acara peribadatan kelompok lain. Jelas sisi intoleransi nya sangat kuat. Apabila hal tersebut tidak segara diatasi dengan tepat dapat menjerumuskan orang-orang yang terlalu fanatik terhadap agamanya dapat masuk ke dalam jurang radikalisme yang dapat merusak ideologi bangsa Indonesia.

          Gus Dur (Abdurrahman Wahid) pernah meberikan pencerahan bahwa para pendiri bangsa sadar bahwa di dalam Pancasila tidak ada prinsip yang bertentangan dengan ajaran agama. Oleh karena itu, melihat kasus diatas tentunya menjadi salah satu bahan evaluasi diri, bahwa keberadaan orang lain di sekitar kita yang berbeda haruslah dihormati dan dihargai hak-haknya. Hal ini seiring yang diungkapkan oleh Din Syamsudin bahwa hubungan negara dan agama di Indonesia bercorak simbiosis mutualisme. Agama membutuhkan negara untuk pelestarian dan pengembangannya dan negara membutuhkan agama sebagai landasan moralitasnya.

          Seperti yang diungkapkan Presiden Joko Widodo dalam Nawacita menggaris bawahi pentingnya toleransi beragama, sebagai modal sosial untuk membangun kedaulatan politik, kemandirian dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam berbudaya. Pada dasarnya intoleransi yang sangat nampak dengan realitas sosial yang ada lebih cenderung terhadap perbedaan agama.

Upaya Menekan Intoleransi

          Dengan demikian intoleransi memang harus ditekan perkembangannya guna mempertahankan ideologi bangsa Indonesia yang pluralitasnya sangat tinggi. Intoleransi bisa dilakukan terlebih dahulu dalam lingkup keluarga dengan menanamkan rasa saling menghormati sesama anggota keluarga. Rukun dengan tetangga sekitar dan saling memiliki simpati dan empati terhadap masalah yang ada. Kepekaan sosial yang tinggi juga harus dibangun untuk menjalin hubungan sosial yang baik.

           Tidak hanya melingkupi hal itu, generasi muda tentunya harus meberikan terobosan dan gebrakan kepada masyarakat dengan melakukan sosialisasi bahwa intoleransi sangat tidak baik dalam kehidupan bermasyarakat. Khususnya dalam kehidupan beragama, maupun dalam menghargai perbedaan yang ada.

          Dari lingkup pemerintahan sekarang masalah intoleransi sangat diperhatikan. Tentunya pemerintah harus memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku-pelaku yang menciderai hak asasi orang lain. Diantara langkah yang dilakukan yaitu dengan mengadakan pendidikan Pancasila dari sekolah formal hingga masyarakat umum guna menguatkan kembali semangat kebhinekaan.

          Intoleransi tentunya sangat erat kaitannya dengan pelecehan Hak Asasi Manusia. Dimana setiap orang bertanggung jawab untuk mengakkan peraturan hukum. Oleh, karena itu cara yang paling ampuh untuk menangkal intoleransi yaitu dari diri kita sendiri dengan menanamkan nilai-nilai Pancasila yang luhur agar tetap Bhineka Tunggal Ika.

          Dengan demikian, sebagai bangsa yang ber-Bhineka kita harus tetap menjaga solidaritas dan perdamain kepada seluruh rakyat Indonesia agar ideologi Pancasila menjadi salah satu falsafah bangsa Indonesia. Jauhkan rasa saling benci, kikis intoleransi untuk mewujudkan Indonesia yang damai dan sejahtera.

img-20191106-131918-5dca04a5d541df22a93cacf2.jpg
img-20191106-131918-5dca04a5d541df22a93cacf2.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun