Mohon tunggu...
Takas Sitanggang
Takas Sitanggang Mohon Tunggu... -

pria berdarah batak bershio kelinci berzodiak sagitarius yang masih setia menyandang status jomblonya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kami Bangga Punya Anak Autis

6 November 2011   03:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:00 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah 13 tahun Om Rei dan Tante Gita menikah, namun mereka belum juga dikaruniai seorang anak.  Padahal, Om Rei dan Tante Gita sudah tak lagi muda.  Usia mereka sudah menginjak kepala empat, dan tentu kesempatan untuk memiliki seorang anak semakin kecil atau bahkan sudah pupus.  Tetapi Om Rei dan Tante Gita tak pernah berhenti berharap.  Mereka percaya Tuhan akan mengabulkan permohonan hambanya yang sabar dan setia dalam memanjatkan doanya.

Setahun berlalu, tepat di ulang tahun pernikahan Om Rei dan Tante Gita yang ke-14, Tuhan akhirnya menjawab doa mereka.  Tante Gita dinyatakan Dokter sedang mengandung.  Kabar itu jelas membuat Om Rei sangat bahagia, begitu juga Tante Gita yang tak percaya jika ia masih bisa melahirkan disaat usianya sudah 43 tahun.  Kesehatan janin itu mereka rawat begitu baik.

9 bulan berselang, Tante Gita melahirkan secara normal seorang bayi laki-laki, yang kemudian diberi nama, Gusti Nugroho (Anugerah Tuhan).  Om Rei dan Tante Gita berjanji akan mendidik Gusti menjadi anak lelaki yang sehat dan pintar.  Namun hingga usia Gusti dua tahun, Gusti tak mengalami perkembangan seperti anak normal lainnya.  Justru semakin banyak kejanggalan yang dilihat Om Rei dan Tante Gita dari tingkah laku Gusti.  Gusti acap kali tak merespon ketika di panggil atau diajak bicara.  Ia lebih asik bermain dengan dirinya sendiri ketimbang dengan Om Rei dan Tante Gita, atau bahkan anak-anak sebayanya.

Karena bingung, apa yang harus mereka lakukan kepada Gusti yang tingkah lakunya semakin hari semakin aneh, Om Rei dan Tante Gita kemudian membawa Gusti ke Psiokolog.  Saat menerima hasil pemeriksaan Gusti, Om Rei dan Tante Gita luar bisa terkejut, sekejap air mata mereka meleleh lantaran tak kuasa menahan rasa haru yang begitu dalam saat Gusti dinyatakan AUTIS.

Kendati demikian, namun saat Gusti menginjak usia 5 tahun, Om Rei dan Tante Gita tetap menyekolahkan Gusti di sekolah umum.  Mereka ingin Gusti dapat bersosialisasi dengan anak-anak normal lainnya.  Namun tak demikian kenyataannya.  Di sekolah, Gusti tak memiliki seorang pun teman karena tingkahnya yang aneh, bahkan para guru pun tak jarang memarahi Gusti karena terlalu hiperaktif di kelas.  Sikap lingkungan sekolah yang tak bersahabat, membuat Gusti tersisihkan, dan tak jarang membuat Gusti sedih.

"Siang, Bu," sapa Om Rei, menemui wali kelas Gusti, di Sekolah.

"Ya, siang, Pak.  Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya ke sini karena ada yang ingin saya tanyakan kepada Ibu,"

"Mengenai?"

"Gusti," ujar Om Rei.  "Saya ingin bertanya, kenapa Gusti selalu dimarahi oleh gurunya dan membuatnya hampir selalu menangis setiap kali pulang sekolah?" tanya Om Rei.  Saat itu Gusti turut serta.  Ia duduk di samping Om Rei.

"Pak, para guru memarahi Gusti bukan tanpa alasan.  Tingkah Gusti yang terlalu hiperaktif sering kali mengganggu jalannya pelajaran dan itu membuat gurunya gusar dan akhirnya memarahi Gusti,"

"Tapi apa tidak ada cara lain selain harus memarahinya, karena kalau Gusti merasa tidak disayangi oleh gurunya, siapa lagi yang menghibur Gusti di sekolah, karena tak ada satu pun temannya di sekolah yang mau bermain dengannya,"

"Maaf, Pak, kami tidak bisa berbuat apa-apa, sekolah ini memang diperuntukkan untuk anak-anak normal, sedangkan Gusti autis,"

"Cukup!" potong Om Rei.  "Gusti memang autis, Bu, tapi bukan berarti dia bisa diperlakukan dengan tidak baik, dia masih punya perasaan! Dan saya minta jangan pernah mengucilkan anak autis, karena mereka juga bisa menjadi anak yang berguna untuk banyak orang!" tegas Om Rei.  "Baik, mulai hari ini Gusti tidak lagi bersekolah di sini.  Terimakasih," tukas Om Rei, bergegas membawa Gusti pergi.  Semenjak itu, Om Rei dan Tante Gita sepakat untuk menyekolahkan Gusti di rumah (home schooling).

***

Suatu pagi, sekitar pukul 5, Gusti bangun lebih awal dari biasanya.  Ia ingin memberikan kejutan untuk Om Rei dan Tante Gita dengan membuatkan mereka sarapan pagi.  Gusti bergegas ke dapur, mengambil dua butir telur dari kulkas lalu memecahkannya ke dalam penggorengan, setelah itu ia memasukkan minyak goreng.  Gusti berdiri menunggu di depan kompor gas yang apinya belum ia nyalakan.  Ia hanya menunggu sampai dirasa telur di dalam penggorengan itu sudah masak.

Selang lima menit, telur yang masih mentah itu dipindahkan Gusti ke piring.  Selanjutnya Gusti bergegas menyiapkan dua gelas susu.  Gusti memasukkan bubuk susu ke dalam gelas sesuka hatinya, kemudian memasukan air keran ke gelas itu tanpa dimasaknya lebih dulu.  Gusti tersenyum, ia merasa hidangan yang dibuatnya tak ada yang salah.  Dengan sigap Ia segera mengantarkan hidangan sarapan pagi itu.

Om Rei dan Tante Gita segera terbangun ketika mendengar suara Gusti memanggil mereka dari depan pintu kamar.  Tak biasanya Gusti bangun sepagi ini, pikir mereka.  Om Rei dan Tante Gita segera beranjak dari tempat tidur lalu membuka pintu kamar.  Pada saat bersamaan, Gusti segera masuk sembari membawa hidangan yang ditaruhnya di atas nampan dan ditutupi kain.

Om Rei mengernyit.  "Apa itu yang kamu bawa, Gusti?"

Gusti pun segera membuka kain yang menutupi hidangannya itu.  Kontan Om Om Rei dan Tante Gita terkejut saat melihat dua telur mentah yang masih mencair di atas piring serta dua gelas susu yang masih menggumpal.

"Ini sarapan buat Mama sama Papa," ujar Gusti.

Om Rei dan Tante Gita tersadar dari ketertegunannya lalu saling tersenyum memandang.  Mereka menunjukkan sikap seolah tak ada yang salah dari hidangan tersebut.  Telur dan susu itu pun segera mereka santap habis.  Gusti bertepuk tangan, ia bahagia melihat Om Rei dan Tante Gita yang begitu lahap menghabiskan hidangan sarapan pagi buatannya itu.

"Enak sekali," ujar Om Rei, mengacungkan jempolnya.

"Gusti, supaya kamu tambah pintar, nanti kita masak telur dan bikin susu sama-sama, yah," imbuh Tante Gita, tersenyum.  Gusti mengangguk kemudian memeluk erat Om Rei dan Tante Gita.

"Tuhan, kami tidak memandang telur dan susu yang dihidangkan oleh anak kami, yang kami pandang adalah ketulusannya yang ingin menyenangkan hati kami," ujar Om Rei dan Tante Gita, meneteskan air matanya.

"Gusti, kamu harus tahu.  Papah sama Mamah bangga sama kamu," tutur Om Rei, tersenyum.  Keluarga kecil itu pun kembali berpeluk sayang.

***

foto by : inginsekalisehat.wordpress.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun