Bukankah aku telah berkata padamu, dengan bibir yang tegas dan mata yang sungguh, kuakhiri petualanganku dan menetap di hatimu. Aku yakin kau ingat pada kata-kata itu, karena itu detik-detik yang paling krusial dalam hidup kita, sebuah janji yang kuutarakan dengan segenap hati sebelum aku bertanya kepadamu, maukah kau menikah denganku?Â
Sebuah janji yang kuutarakan di pasir putih Pandawa tepat pada hari kasih sayang itu. Sebuah janji yang disebar desau angin senja yang ketika itu terdengar lebih merdu dari suara penyanyi seriosa. Sebuah janji yang kuutarakan seiring matahari terbenam, yang kujadikan pertanda kututup masa laluku dan memulai masa depanku denganmu. Aku pikir kau telah mengamini janjiku itu, karena kau mengangguk dengan senyum menyembul dan mata yang bercahaya, kau ucapkan kata; ya, aku mau.Â
Jika tidak, pastilah kau menolak lamaranku, atau mengulur waktu sebelum cincin permata itu kusematkan di jari manismu. Tetapi kau memberi jawabannya seketika itu.Â
Segerombolan gadis berhijab yang tengah bermain riak ombak menjadi saksi. Mereka tersipu, berbisik-bisik, ketika menyaksikan tingkah dan kata-kata manis kita waktu itu.Â
Tetapi, mengapa kau masih mencurigaiku istriku sayang? Masih memandangku sebagai seorang pecandu wanita. Mengapa kau masih menganggapku demikian setelah sudah sekian kali kutegaskan bahwa masa-masa itu telah kutinggalkan di belakang?
Kecurigaanmu padaku berlebihan, sayang. Kau tampak paranoid. Tampak seperti pemakai yang takut kehilangan candunya.Â
Ketika kau mengajakku ke acara reuni SMA-mu, kau menyumpah serapahiku. Kau bilang aku genit sewaktu bertemu Sarah. Mataku, kau tuduh liar melihat sahabatmu yang ketika itu memakai gaun dengan kerah yang rendah.
Bagaimana sebaiknya aku memandang sahabatmu itu di hadapanmu, sayang? Apakah aku mesti berbincang dengan cara memunggunginya agar kau tak berpikir yang bukan-bukan? Atau aku harus mencungkil kedua mataku dan memberinya padamu agar bisa kau simpan?Â
Kau menuduhku tebar pesona saat aku berusaha bersikap cair agar bisa masuk ke dalam obrolan kalian. Istriku, bukankah kau yang menahanku agar tak memisahkan diri dari kalian? Kau ingin aku, sebagai Manager di perusahaan properti, bisa membagi pengalaman pada Sarah yang baru ingin memulai dunia yang sama denganku.Â
Dan ketika Sarah lebih banyak berbicara denganku kau menuduhku mengabaikanmu. Sarah beberapa kali melirikmu, sayang. Dan dari matanya lah awal aku tahu, jika air mukamu diluapi cemburu. Lantas mengapa kau hanya membatu? Membiarkan emosi meremas-remas jantungmu. Harusnya kau menarikku pergi dari Sarah membelah keramaian kemudian berdansa denganku di tengah-tengah seiring lagu Banda Neira, Sampai Jadi Debu, tengah melantun merdu.
Aku akan mendekapmu sayang, mencium bibirmu tanpa malu-malu, melumatnya hingga lidahmu dan lidahku berjumpa dan kita bertukar air liur dan menelannya, agar teman-teman SMA-mu tahu kita adalah pasangan suami-istri yang cinta gila. Tetapi kau tak menarikku dari Sarah. Sedang aku tak kuasa bersikap acuh karena kuatir menyinggung perasaan seorang - yang kau bilang - sahabat terbaikmu di SMA.