Wajah puluhan orang yang menyaksikan itu sontak dipenuhi tanda tanya. Mulut mereka ribut berbisik-bisik. Menerka-nerka. Menduga-duga. Angin yang silir menambah duka suasana. Sejurus kemudian, dengan mata dan bibir yang bergetar, karena tak sanggup lagi menahan kepedihan, Poltak menyebut nama anaknya dengan jerit tangis yang panjang.
“Sihaaaaaaaarrrr!” (*)
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!