Namun sudah enam bulan ini anaknya itu sibuk sekali sampai tak punya waktu untuk berkumpul dan makan bersama di rumah. Statusnya yang masih karyawan baru dan kontrak membuatnya bergaji kecil. Karenanya sabtu-minggu atau pada hari libur nasional ia mencari pekerjaan sampingan. Hati Poltak terbelah. Di sisi lain ia kasihan melihat anaknya yang bersusah payah mencari uang tetapi di sisi lain ia bangga karena sudah sepatutnyalah sebagai anak muda giat mengumpulkan harta agar di hari tua tak lagi susah.
Terkembang senyum di bibir Poltak membayangkan anaknya itu. Sihar mengambil semua yang bagus dari orangtuanya, renung Poltak. Ia punya wajah dan sikap sehalus ibunya yang sudah bercampur darah jawa. Tetapi seperti dirinya, anaknya itu mempunyai fisik yang kuat dan jiwa seorang pekerja keras. Bagi Poltak, kelahiran Sihar, yang pada akhirnya menjadi anak satu-satunya yang dapat dilahirkan Tiur adalah harapan bagi manusia renta sepertinya untuk menaikkan derajat keluarga.
Matahari sudah menyeruak di cakrawala. Dengan halus Poltak menghentikan mikroletnya dan dengan pelan menggas kembali setelah penumpang terakhir turun dengan sempurna. Cuaca yang remang kini sudah terang. Dan itu pertanda akan semakin sulit mendapatkan penumpang.
Beberapa kilometer berjalan, di depan sana, samar-samar Poltak melihat puluhan orang berkerumun, di bahu jalan motor-motor terparkir sembarangan, membuat lalu lintas tersendat. Rasa penasaran membuat Poltak terus menjalankan mikroletnya mendekati kerumunan itu, tampaklah sebuah mikrolet dengan trayek yang sama dengannya teronggok sendirian di sana. Kondisi mikrolet itu sudah penyok di sana-sini dengan kaca-kaca jendelanya yang pecah. Poltak terkesiap. Pikirannya jadi demikian kisruh. Itu angkot yang biasa dikendarai Sarpin. Kenapa banyak pula pengemudi ojek online memberingas di sana?
Poltak lekas menepikan mikroletnya dan setengah berlari menuju kerumunan itu. Betapa ia kaget tatkala samar-samar matanya menangkap sosok Sarpin yang tengah dikeroyok massa. Dengan cepat Poltak membelah kerumunan itu lalu melerai mereka. Poltak terperenyak. Dilihatnya wajah Sarpin sudah lebam dan berdarah-darah. Tubuhnya lunglai. Sesekali ia melenguh, lemah. Poltak gegas membentengi Sarpin.
“Ada apa ini?!” tanya Poltak dengan intonasi yang tinggi. Dadanya menggelegak. Ada rasa panas yang membakar hatinya melihat temannya dipukuli hingga babak belur.
“Dia nabrak teman kami, pak!” nada suara salah seorang pengemudi ojek online itu begitu marah hingga membuat Poltak serasa tergiring ke sudut.
Air muka Poltak beriak. Kebodohan apa pula yang dilakukan Sarpin, umpatnya. “Ya, tapi jangan main hakim sendiri, dong! Ini, kan, negara hukum!” balas Poltak tak kalah sengit.
“Ngomong doang gampang, pak! Tuh, lihat teman kami sudah sekarat!” sahut yang lain geram. Tangannya kukuh menunjuk kerumunan yang berjarak sekitar lima meter darinya. Di sana orang berkerumun tak kalah padat.
Sayup-sayup sirine mobil polisi terdengar di kejauhan. Poltak jadi sedikit tenang. Setidaknya suara sirine itu membuat mereka berpikir dua kali jika ingin kembali mengeroyok Sarpin. Ah, Sarpin! Pastilah dia sudah sangat putus asa karena pendapatannya yang tak lagi mencukupi sehingga kedengkian menyumbat akal sehatnya, terka Poltak. Dari tempatnya berdiri, Poltak melayangkan pandangan menyusuri sela-sela kerumunan yang ditunjuk pengemudi ojek online itu. Penasaran juga Poltak dengan korban yang ditabrak Sarpin. Dilihatnya sepasang kaki terkulai bengkok layaknya manikin yang telah patah pada bagian kakinya. Naluri menggerakkan Poltak mendekati kerumunan itu dan perlahan menyusup ke dalam. Dua pengemudi ojek online tengah berjongkok di sisi kanan-kiri si korban, keduanya tengah memberi pertolongan sebisa mereka.
Bulu tengkuk Poltak meriap ketika melihat telapak tangan si korban berlumuran darah hingga berlepotan ke seragamnya yang kotor dan koyak. Helm yang masih dikenakannya dengan hati-hati dibuka oleh salah satu pengemudi ojek online itu. Poltak terguncang. Matanya membeliak. Lututnya mendadak lemas seakan-akan tubuhnya hanyalah seonggok kain berisi kapas. Bukan hanya karena melihat begitu pucatnya wajah si korban seperti tak lagi bernyawa. Akan tetapi betapa ia mengenal seraut wajah yang sudah serupa mayat itu. Poltak berlari dengan perasaanya yang kacau-balau dan berlutut memeluk tubuh si korban dengan erat. Dada dan bahunya berguncang hebat tak beraturan.