Mohon tunggu...
Takas T.P Sitanggang
Takas T.P Sitanggang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Menulis adalah rasa syukurku kepada Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Hilangnya Burung-burung Tito

18 Desember 2016   22:07 Diperbarui: 19 Desember 2016   21:37 1382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (kfk.kompas.com/Dwi Setya Putranta)

Matahari masih menggeliat di ufuk timur saat kedua mata Tito membelalak seperti hendak mental keluar dan mulutnya menganga lebar sebesar kepalan. Betapa Tito kaget mendapati sangkar burungnya yang kosong. Padahal baru kemarin ia beli seekor murai batu dan dimasukkan ke sangkar itu, tetapi kini burung itu lenyap bagai disulap.

Tito mengusap matanya berkali-kali, tetapi pemandangan di depannya tetap sama, sangkar itu kini hanya sangkar yang kosong. Tak berpenghuni. Tito heran bagaimana bisa burung itu kabur sedang kondisi sangkarnya masih bagus? Tidak ada salah satu dari batang kayunya yang merenggang ataupun patah, pintunya pun terkunci kuat oleh kawat. Kalau dicuri, kenapa maling itu tidak membawa kandangnya sekalian? Kenapa mesti repot-repot mengeluarkan burung itu dari sangkar? 

Digondol kucing, tikus, atau musang? Tidak-tidak, agar bisa memangsa burung itu, pertama-tama mereka harus merusakkan sangkarnya terlebih dulu untuk kemudian masuk. Tetapi kondisi sangkarnya itu masih utuh. Apa mungkin burung itu ditelan siluman? Masa iya di zaman teknologi sekarang masih ada siluman? Tito menduga-duga dengan pikirannya yang kacau. Perasaan Tito tak keruan. Kaget, kesal, bingung, dan penasaran bercampur-aduk. Pasalnya, murai batu bukan jenis burung yang murah. Ia beli dengan harga satu setengah juta, itu pun belum berkicau karena masih anak.

Tito merasa malang sekali. Belum sempat menikmati burung itu, tahu-tahu sudah lenyap. Seperti ada pisau yang mengiris-iris tipis hatinya memandang sangkar burungnya yang sekarang. Dengan perasaan kecut, dibiarkan Tito sangkar itu teronggok di lantai teras, lalu masuk ke rumah, menemui Tuti yang masih tidur di kamar.

“Bu, Ibu....”

Tuti yang masih mengantuk menyahut sekenanya saja. Antara sadar dan tidak sadar ia bergumam, "Hmm."

“Ada yang mau Bapak tanya, Bu,” kata Tito sambil menggoyang-goyangkan lengan istrinya itu.

“Tanya apa to, Pak?”

“Burungku hilang! Ibu ada lihat?”

“Hilang?" Tuti terkekeh. "Bukannya baru tadi subuh Ibu mainin burung Bapak?”

Tito mengernyit. Kedua alisnya nyaris saling tubruk. “Maksud Bapak burung yang murai batu lho, Bu! Hilang! Tidak ada di sangkar!” terang Tito. "Ibu ada lihat?"

“O... burung Bapak yang itu,” Tuti mengulum senyum, menggeliat, lalu mengubah tidurnya menjadi telentang. Kini ia bisa melihat wajah Tito secara utuh di tengah matanya yang masih mengantuk. Samar-samar diperhatikannya ada kepanikan di wajah suaminya itu. “Ya, sudah, Pak. Kalau sudah hilang mau bagaimana lagi?”

“Ya tidak segampang membalikkan telapak tangan to, Bu. Burung mahal, lho, itu!”

“Ya, lalu bagaimana? Ikhlaskan saja to, Pak. Soalnya Ibu juga tidak tahu,” tandas Tuti. “Lagi pula burung itu dikasih teman Bapak, to? Bapak tidak beli. Bapak beli sangkarnya saja. Sangkarnya hilang tidak, Pak?”

Tito menggeleng.

“Yo, wess. Berarti Bapak tidak rugi sepeser pun, to?”

Dengan santai Tuti bangkit dan menguncir sembarang rambutnya, lalu ke toilet, meninggalkan Tito yang berdiri termangu di tepi ranjang. Tito tak bisa bersikap kesal melihat Tuti yang sedikit pun tak menunjukkan rasa prihatin kepadanya. Tito mengerti, Tuti begitu karena tidak tahu duduk persoalan yang sebenarnya. Ialah yang tidak berkata jujur saat membawa burung itu ke rumah.

Pada Tuti, Tito bilang burung itu diberikan teman kantornya. Ia membeli sangkarnya saja yang sebenarnya seharga empat ratus ribu pun dikatakannya hanya seratus ribu. Tito merasa harus berbohong, sebab kalau jujur Tuti pasti akan marah karena uang sekian juta dihabiskan hanya untuk membeli seekor burung. Tentu itu akan dianggap Tuti sebagai pemborosan. Dan emosi Tuti pastilah makin meledak-ledak jika mengingat peristiwa bulan lalu, saat mereka jalan-jalan ke pasar malam berdua. Waktu itu, Tuti merajuk minta dibelikan tas jinjing seharga tiga ratus ribu saja Tito keberatan.

“Janganlah, Bu. Baiknya kita berhemat dulu. Karena Agus, kan, sebentar lagi masuk SMP,” demikian kata-kata penolakan Tito. Tuti kecewa sekali waktu itu, itu tampak dari air mukanya yang mendung saat Tito menolak membelikan. Hanya saja, Tuti tak sampai hati mengungkapkan perasaannya, karena apa yang menjadi alasan Tito benar. Ketika sudah berkeluarga keperluan anaklah yang harus mereka utamakan. Tapi, kini, Tito merasakan akibat dari ketidakjujurannya. Sekarang ia nelangsa sendirian. Merasa susah sendirian. Padahal ia punya istri yang bisa saja, dengan berbagai cara, mengurangi sedih yang tengah ditanggungnya.

“Pak....”

Tito menoleh. Dilihatnya Tuti sudah berdiri di muka pintu kamar.

“Agus bilang, Bapak tidak usah mengantarnya ke sekolah. Mulai sekarang dia mau berangkat sendiri. Biar mandiri katanya,” ujar Tuti dengan nada bangga. Tito mengangguk saja tanpa ekspresi. Mukanya datar. Tatapannya mengambang. Tubuhnya ada di situ tapi jiwanya tidak. Tuti lantas mendelik dan melipir dengan muka yang cemberut. Tadinya ia berharap sekali akan mendapat tanggapan positif dari Tito mengenai anak tunggal mereka yang sudah berani berangkat sekolah sendiri. Tapi harapan tidak sesuai kenyataan. Tuti tahu apa yang masih berkecamuk di benak suaminya. Apalagi kalau bukan soal burung yang hilang itu.

Tuti sesungguhnya keberatan jika Tito memelihara hewan, apa pun jenisnya, termasuk burung. Sebab akan membuat rumah kontrakan mereka sumpek dan cepat kotor. Andai kediaman mereka berhalaman luas, Tuti akan memberi pengecualian. Tetapi kenyatannya hanya cukup untuk satu motor dan sepasang kursi rotan. Jika ditambah dengan sangkar burung yang bergantungan tentu akan jadi semakin sempit.

Akan tetapi, Tuti mengalah sejak Tito diterima bekerja sebagai wartawan di majalah KICAU. Tito yang masih buram mengenai dunia burung merasa harus menambah wawasannya, tak hanya secara teori dengan membaca beragam artikel tentang burung, tetapi juga secara praktik dengan langsung memelihara burung di rumah. Dan, sebagai bentuk dukungan dari seorang istri, Tuti mengijinkan Tito memelihara burung, dengan syarat, tidak lebih dari seekor. Selain untuk menghemat biaya karena hewan juga perlu makan dan minum, Tuti kuatir keluarganya terjangkit flu.

**
Ingatan Tito pada murai batunya yang hilang, berikut uang satu setengah juta yang raib bersama lenyapnya burung itu, mulai pudar.

Itu karena Tito membeli burung lagi. Sehingga pikirannya tak lagi terpaku pada kejadian yang silam. Wajahnya pun kini segar, sesegar tomat merah yang baru dipetik dari dahan.

Kali ini Tito membeli cucak ijo. Jenis burung ini memang tidak sebagus murai batu, baik dari segi kicau maupun penampilan. Tetapi cukup menjaga gengsi Tito di kalangan penghobi burung. Lagi pula, Tito masih menyisakan trauma karena pengalaman pahit tempo hari. Ia kuatir mendadak serangan jantung lagi lantaran membeli burung mahal tapi akhirnya hilang. Karenanya, Tito memutuskan membeli burung yang masih terbilang bagus dengan harga yang tidak terlampau mahal, dan cucak ijo dirasa Tito yang paling tepat. Tetapi, untuk itu, Tito harus berdusta lagi pada Tuti. Ia bilang burung itu diberikan oleh teman kantornya yang lain. Padahal ia beli di pasar burung Pramuka dengan harga enam ratus ribu, itu pun harus lebih dulu melewati proses tawar-menawar yang sangat melelahkan.

“Lho, burungnya beda, Pak. Waktu itu murai batu?”

“O, burung yang itu sudah dikasih ke saudara saya di kampung, Pak,” kilah Tito.

Tanpa harus menoleh pun Tito tahu siapa gerangan yang bertanya. Itu bisa ia terka dari logat khas Jawa si penanya. Siapa lagi kalau bukan Basuki. Duda separuh baya yang tinggal bersebelahan dengannya.

Tetangga Tito yang satu ini penggemar burung. Itu ditandai dengan ada enam jenis burung yang ia pelihara dan semuanya berharga mahal. Karena keberadaan tetangganya inilah mengapa Tito merasa harus menjaga gengsinya. Menurut Tito, apa kata tetangganya itu kalau pelihara burung cuma seekor dan berharga murah. Pasti bakal dicibir dan dipandang sebelah mata. Diam-diam Tito juga menaruh curiga kepada Basuki mengenai burungnya yang hilang tempo hari. Karena tak menutup kemungkinan ia takut tersaingi, lalu berbuat culas. Di depan ramah, tapi di dalam hati siapa yang tahu? Pikir Tito.

“Cucak ijonya sudah gacor, Pak?”

“Belum, Pak. Masih anak,”

“O... memang lebih bagus beli selagi anak, Pak. Jadi nanti variasi kicaunya bisa Bapak atur sesuka hati.”

“Maksud saya juga begitu,” tandas Tito masih terus memandangi burungnya sambil bersiul-siul.

Perhatian Tito baru teralihkan ketika dilihatnya Agus pulang dengan wajah yang muram. Sekilas diliriknya ke barat, Basuki sudah tidak ada di tempat. Mungkin sudah masuk ke rumah atau pergi mencari makan. Entahlah.

“Kamu kenapa, Gus?”

“Aku sedih, Pak. Tasya dilarang ibunya bermain denganku dan yang lain. Tasya bilang, ibunya selalu menyuruhnya belajar jadi tidak punya waktu untuk bermain.”

“Mungkin ibunya Tasya kuatir, Gus, kalau Tasya main nanti malah keasyikan, kalau sudah keasyikan main nanti lupa belajar.”

“Tapi ibu guru bilang anak-anak juga butuh bermain, Pak. Aku suka bermain tapi masih ingat belajar.”

Tito tersenyum. “Itu karena kamu anak yang baik, Gus,” kepala Agus diusap-usap Tito, lembut.

“Bapak beli burung lagi?”

“Iya, ini namanya cucak ijo, Gus,” Tito kembali mengalihkan perhatian ke burungnya. “Masih anak, jadi belum bisa berkicau, tapi sengaja Bapak beli selagi anak, biar…” Tito terdiam. Suaranya nyangkut di tenggorokan karena tak dilihatnya lagi Agus ada di tempat. Tito menoleh ke belakang, anak itu sudah melipir ke rumah. Punggungnya yang mungil makin menjauh hingga menghilang di balik pintu. Tito tersenyum melihatnya.

**

Seperti orang kesurupan, Tito kalap. Pengalaman pahit yang silam terulang lagi. Cucak ijonya hilang. Tidak ada di sangkar. Tito gegas ke dapur menemui Tuti sambil menahan batok kepalanya yang terasa kebat-kebit.

“Bu! Burungku hilang lagi! Ibu ada lihat?”

Tuti yang tengah jongkok dan sibuk mengulak cabai, balik bertanya tanpa mengalihkan pandangan ke Tito yang berdiri di belakang. “Kok, hilang-hilangan terus, to, Pak?”

“Ya, manaku tahu, Bu,”

“Apalagi Ibu. Yang mengurus burung, kan, Bapak,”

Tito mendengus. Kepalanya digaruk meski sebetulnya tidak gatal. “Kenapa hilang-hilangan terus ya, Bu?”

“Barangkali Bapak tidak cocok memelihara burung,” jawab Tuti. “Bukan maksud Ibu melarang lho, Pak. Tapi memang ada yang begitu. Contohnya si Sri, adik Bapak, cocok sekali dia pelihara kembang. Di tangan dia semua kembang bisa tumbuh subur. Tapi giliran si Mulyani, adik Bapak yang satunya lagi, selalu gagal. Semua kembang di tangan dia layu sebelum berkembang. Lain lagi si Joko, adikku, pintar sekali dia masak, kan, Pak? Apa saja makanan yang dimasaknya selalu enak. Padahal kalau dilihat dari bumbu dan caranya memasak sama saja seperti umumnya. Tapi coba abangku, Widodo, masakannya selalu hambar. Bapak pernah rasain sendiri, kan, masakan mereka? Ah, pokoknya begitulah, Pak. Karunia-karunia yang dianugerahkan Tuhan terlampau sulit dijelaskan dengan kata-kata,” papar Tuti. “Sama sulitnya seperti memahami hidup yang mirip kotak kubisme ini.”

Tito merenung. Apa yang dikatakan Tuti masuk akal. Tetapi ia masih sangat ingin memelihara burung. Bahkan kini penasaran, seiring dengan kecurigaannya kepada Basuki yang makin meradang.

Di tengah masa traumanya yang belum benar-benar pulih, Tito kembali membeli burung setelah mendapat peneguhan dari teman-temannya yang penghobi burung. Mereka bilang, apa yang dialaminya adalah hal biasa. Mula-mula, seseorang yang baru memelihara burung memang akan mengalami dulu kehilangan. Entah karena burungnya mati, atau lepas dari sangkar. Istilahnya semacam ritual. Dan ritual itu biasanya terjadi satu hingga tiga kali kehilangan, setelah itu barulah burung yang dibeli berikutnya akan awet. Dan niat Tito membulat usai mendengar petuah dari salah seorang temannya yang penyair.

“Sama seperti orang yang sakit hati karena cinta, To. Ya, obatnya jatuh cinta lagi. Sakit hati, jatuh cinta lagi, begitu seterusnya sampai menemukan yang sejati. Nah, kau pun begitu. Burungmu hilang, kau belilah lagi, hilang belilah lagi, sampai kau mendapatkan yang berjodoh denganmu. Dengan catatan, kau belajar dari kehilangan-kehilanganmu yang sebelumnya.”

Atas saran dari teman-temannya pula, Tito kemudian membeli burung yang lebih murah dari dua jenis yang sebelumnya agar kelak jika hilang lagi dampaknya tidak terlampau dahsyat. Kenari menjadi pilihan Tito. Tito beli dengan harga tiga ratus ribu. Bedanya, kali ini sangkar burung itu digantang di tempat yang jauh dari jangkauan tetangganya, Basuki. Dan Tito harus berdusta lagi kepada Tuti. Tapi dustanya kali ini agak dipaksakan. Katanya, burung itu ditemukannya di tengah jalan pulang. Burung itu sedang sakit sehingga dengan mudah ia tangkap. Dengan narasi, deskripsi, dan dibumbui metafora yang sempurna, Tito bisa membuat Tuti percaya kepada kata-katanya.

Kendati begitu, Tito masih penasaran sekali pada apa yang membuat burung-burungnya hilang. Maka malam itu ia begadang demi menemukan jawaban. Tito sembunyi di dalam rumah, duduk bersandar pada kursi di samping jendela. Dari balik gordeng hitam yang tipis ia bisa memperhatikan burungnya di luar. Sebungkus rokok dan tiga gelas kopi dihabiskan Tito dalam semalam. Juga se-sachet obat oles nyamuk. Tidak ada gerak-gerik mencurigakan hingga subuh menjelang, baik itu dari manusia maupun hewan pemangsa. Tito tersenyum lebar. Burungnya aman di sangkar.

Tito berangkat kerja dengan wajah yang cerah pagi itu, kantuk di pelupuk tak membuatnya lemas. Bedanya, kali ini, sebelum pergi, ia meminta tolong pada Tuti agar sesekali memperhatikan burung kenarinya. Tuti berjanji menyanggupi.

**

Hari sudah agak gelap ketika Tito pulang. Dan kedatangannya disambut oleh pemandangan yang menohok jantungnya. Sangkar burungnya tergeletak di lantai dengan keadaan kosong. Tito masuk ke rumah. Sepatu tidak dilepas. Hatinya sudah dikuasai amarah.

Di sela mencari Tuti, sekilas Tito melihat Agus tengah berdiri di depan kamarnya dengan satu kaki dengan masing-masing tangan menjewer kuping. Pikir Tito, paling-paling Agus berbuat salah sehingga Tuti menghukumnya.

“Tut, kau ini bagaimana, to? Kan aku sudah pesan tolong perhatikan burungku. Kau malah enak-enakan tidur di kamar. Sekarang apa kau tahu? Sangkar itu jatuh dan kenarinya sudah lepas?”

“Bapak ini jangan langsung menuduh-nuduh aku, to! Tanyakan pada Agus soal burung Bapak itu!”

Tito mengernyit. “Maksudmu?”

“Iya, tanyakan saja langsung pada Agus. Aku malas menjelaskannya,” Tuti telanjur kesal karena Tito datang-datang langsung menyalahkannya begitu saja.

Dari tempatnya berdiri Tito berpaling ke Agus. “Gus, coba jelaskan apa maksud Ibu.”

Agus merunduk. Wajahnya pucat. Tampak ia sedang berupaya keras menyembunyikan dentam jantungnya yang bergemuruh hebat.

“Gus, Ibu selalu mengajarimu untuk berani berkata jujur. Sekarang ayo katakan yang sebenarnya pada Bapak,” desak Tuti.

Agus masih takut. Tapi ia merasa tersudut. Dan itu membuat dadanya terasa sesak. Dengan kepala yang tetap merunduk, Agus pelan-pelan membuka mulut. “Agus, Pak, yang lepasin burung-burung Bapak,”

“Astagfirulloh, Gus! Jadi kamu pelakunya!" Tito tersentak. "Gus, Gus, asal kamu tahu, uang Bapak habis sekian juta buat beli burung-burung itu! Kenapa kamu lepasin? Kenapa? Lagi pula burung-burung itu masih anak, Gus, belum berkicau, Bapak belum sempat nikmatin!”

“Justru karena masih anak, Pak,” kata Agus. “Kata Ibu Guru. Anak-anak perlu kebebasan. Anak-anak tidak boleh dikungkung. Apalagi kalau disakiti. Makanya anak-anak burung itu tidak boleh dikurung,” terang Agus, lantas bagai anak panah yang melesat ia berlari ke kamar.

Tito tak bisa berkata-kata. Ia tertegun mendengar anaknya yang masih berusia sepuluh tahun bisa berkata seperti itu. “Kenapa kamu, Bu, melihat aku seperti itu? Memangnya aku salah ngomeli Agus?” tanya Tito yang mendapati Tuti tengah melototinya.

“Barusan Bapak bilang apa, to?! Uang Bapak habis sekian juta untuk beli burung-burung yang hilang itu?!” jawab Tuti setengah berteriak.

Tito tergeragap. Pertanyaan itu seperti mendorong Tito ke suatu sudut yang membuatnya tak bisa lagi bergerak. (*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun