Di sudut kedai kopi itu, di dekat jendela kaca yang dipenuhi titik-titik sisa air hujan, Ivana duduk berhadap-hadapan dengan Haris. Dua cangkir Black Coffee yang masing-masing ada di depan mereka masih menguarkan uap - menggeletak di atas meja kayu hitam bundar. Sejenak, Ivana mengaduk pelan kopi itu dengan sendok teh. Lalu meneguk dan menyesapnya lembut. Dengan pelan dia meletakkan kembali kopi itu ke tempatnya semula dan menatap lekat mata Haris. Ivana menghela napas. Dalam. Lalu berkata.
Saya mencintai dia melebihi saya mencintai diri saya sendiri.Â
Ivana terdiam. Sekilas dia melarikan pandangan ke luar jendela, ke arah taman di seberang kedai kopi itu. Sementara, gemuruh dalam dadanya bertalu dan bergema di seluruh ruang ingatan, mencungkil-ungit semua yang pernah terkubur dalam kenangan.Â
Bagi saya dia adalah segalanya. Segala yang indah. Segala yang terpenting dan yang terutama dalam hidup saya. Saya amat yakin dia adalah pelabuhan terakhir tempat di mana hati saya akan menetap.Â
Saya yakin, seyakin-yakinnya, karena saya tak pernah memiliki perasaan sedalam ini.Â
Perasaan yang saya punya kepadanya begitu hebat. Begitu bergemuruh. Kuat. Rasa itu tumbuh serupa pohon yang demikian rindang, menghujamkan akar-akarnya jauh ke kedalaman rasa yang tak pernah bisa saya ukur seberapa hasta. Sehari saja tanpa dia bersama saya, saya merasa bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Saya merasa kecil seperti sebutir debu yang diempas angin. Rapuh laik kayu yang telah menjadi abu. Atau tak ubahnya setangkai bunga yang layu dan tinggal menunggu untuk patah. Dia ibarat tulang dalam tubuh saya. Bagaimana mungkin tubuh sanggup berdiri tanpa tulang yang menyangga? Begitulah arti dia bagi saya.Â
Bersama dia, masa depan yang saya angan-angankan tampak menjadi nyata.
Di depan bapak, saya selalu membanggakan dia. Membeberkan jabatan dalam pekerjaannya.Â
Di samping ibu, saya sering memuji-muji dia. Menceritakan bagaimana dia memperlakukan saya dengan sangat istimewa.Â
Di tengah berkumpul bersama kakak dan adik saya, saya acap mencurahkan perasaan saya terhadap dia. Saya katakan bahwa saya sangat beruntung memilikinya. Begitu beruntungnya saya sampai-sampai saya takut kalau-kalau suatu hari nanti saya bakal kehilangan dia. Saya tak kuasa membayangkan itu terjadi. Bagi saya, dia se-penting air. Se-esensi udara.Â
Bapak dan ibu bilang, saya terlalu mencintai dia. Dan kata mereka, itu tidak baik. Semua yang serba terlalu, kata mereka, tidak baik. Terlalu manis sekalipun bisa menyebabkan penyakit. Terlalu terang membutakan. Terlalu besar memberatbebankan. Terlalu dalam menenggelamkan. Terlalu tinggi sakit bila jatuh. Begitu kata mereka.Â