Agar dia terus mencintai saya, maka saya memberikan apa saja yang dia minta. Perhiasan, asesoris, bahkan mobil. Namun, entah mengapa saya selalu merasa cemas jika dia tak bersama saya. Apa mungkin karena saya terlampau takut kehilangannya. Terlampau merindukannya. Terlampau mencintainya. Memiliki dia hati saya tidak nyaman. Kerap diserang rasa cemas. Kecemasan itu melata seperti ular yang melilit dan mematuk-matuk tubuh saya. Untuk menghilangkan rasa cemas itu, saya berpikir, alangkah baiknya saya cepat-cepat mempersuntingnya saja.Â
Haris terdiam. Â Menarik napas panjang, dikeluarkan dengan keras, menyerupai dengusan. Siapa pun yang mendengar akan tahu dia sedang gusar.
Pada suatu malam, di sisi taman kota itu, di bawah hujan yang menderas, saya melihat mobil yang saya berikan padanya terparkir di sana. Diapit di antara mobil-mobil yang terparkir berjejer di sisi taman. Saya tahu betul karena saya hapal nomor plat mobil itu.Â
Saya parkir mobil saya tak jauh dari mobilnya, lantas keluar. Di tengah langkah saya yang berjingkat-jingkat saya memetik setangkai tulip putih dari taman. Saya ingin memberikan kejutan kepada dia yang mungkin sedang beristirahat sejenak karena mengantuk. Tapi apa yang saya lihat. Begitu saya dekatkan wajah saya ke kaca samping depan mobil itu, saya melihat bayangan dua orang yang sedang bercumbu. Saya terkesiap. Segera saya ketuk kaca mobil itu. Kedua bayangan itu tampak terkejut dan panik. Saya menyaksikan bayangan orang yang sedang bersolek dengan amat terburu-buru. Begitu kaca mobil dibuka, saya mendapati dia sedang bersama Rudi, atasan saya.Â
Dia membelalak dengan rambut semrawut dan rok mini yang terlipat semakin pendek. Rudi membelalak dengan bibir berlepotan gincu merah dan retsleting jeansnya yang menganga. Sedang saya membelalak dengan hati yang terbelah. Saya terseret dalam arus emosi yang deras yang mengempaskan saya ke tempat yang membuat saya begitu gamang.Â
Saya menarik dia keluar dari mobil dengan kasar hingga dia tersungkur ke aspal. Saya masuk ke mobil lalu menghujamkan pukulan ke wajah dan perut Rudi berkali-kali. Hari itu juga Rudi memecat saya. Sedangkan dia memutuskan cinta saya.Â
Saya pulang ke apartemen dengan perasaan hampa yang membuat saya tak lagi bisa mendefinisikan apa itu dikhiyanati?Â
Malam itu, di atas kasur, saya merasakan sedih dan marah yang menyengat. Tanpa sadar saya menangis. Saya butuh menangis untuk meluapkan kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan yang tak bisa saya curahkan. Mengingat wajah mereka yang membelalak. Ingin rasanya saya ludahi mata mereka, menunjukkan kebencian saya.
Haris tersenyum. Nyinyir. Dia berkata dengan nada sedikit bergurau, namun terasa getir.Â
Hari-hari selanjutnya, tak ada lagi rasa sedih. Air mata itu sudah menjadi bagian dari keseharian hingga akhirnya tak lagi keluar dengan sendirinya. Bukan karena kesedihan telah berlalu, tetapi justru karena telah membatu.Â
Haris membisu. Tak ada suara. Hanya desau angin yang terdengar samar menyusup lewat sela kaca jendela kedai kopi itu.Â