Mohon tunggu...
Takas T.P Sitanggang
Takas T.P Sitanggang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Menulis adalah rasa syukurku kepada Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Mutiara Hitam di Antara Giok Putih

13 Maret 2016   13:21 Diperbarui: 14 Maret 2016   02:28 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejurus kemudian giliran ayahku yang bercerita bahwa dulu dia melamar ibu ketika mereka sedang bersantai di taman kota. Semua terjadi tanpa terencana; Ayahku tiba-tiba saja ingin menyatakan niatnya untuk melamar, dan karena tidak ada persiapan apa pun sebelumnya, maka dipetiklah sehelai daun dari sebuah pohon bonsai, satu-satunya tumbuhan yang dekat dengan bangku tempat di mana mereka duduk berdua. Jadilah, ayahku mengungkapkan isi hatinya sembari menyodorkan daun itu kepada ibu. Dan, ibuku tidak memelas oleh karena daun itu, melainkan dengan pikiran jernih menilai lebih dalam arti dari seonggok daun. Ah, ibuku memang bukan hanya wanita pemilik jiwa yang hangat. Tetapi juga manusia yang selalu memandang segala sesuatunya dari sisi yang positif.

“Mau ke mana, Lung?” tanya ibuku begitu aku beranjak berdiri.

“Ke toilet sebentar, bu. Cuci tangan,” jawabku.

Begitu aku melewati ruang keluarga, mataku teralih pada foto-foto kami yang terpajang di dinding. Kuhentikan langkahku sejenak, lalu menghadap foto yang berbingkai kayu cokelat dengan berornamenkan malaikat-malaikat kecil pada piguranya. Di sana kulihat diriku sewaktu bocah berada di sebuah taman. Aku dipangku ibu dan Aling digendong ayah. Betapa bedanya aku dengan mereka. Kulitku hitam, mataku besar, dan rambutku ikal. Sedangkan ayahku, ibuku, dan adikku berambut lurus, bermata sipit, dan berkulit putih pucat. Kontras sekali!

Ah, setiap kali melihat foto keluarga, aku seperti diingatkan bahwa aku hanyalah bayi yang dua puluh empat tahun silam ditemukan ayah dan ibuku di sebuah rumah tua yang tak berpenghuni.

Bangunan reot itu berada di sebelah rumah mereka, ketika mereka dulu tinggal di Sorong, Papua Barat. Pada suatu malam, tangisku yang seperti kucing kelaparan menuntun hati mereka menyambangi rumah itu. Dengan mengandalkan cahaya senter, aku ditemukan mereka di dalam kardus mie instan yang kusam dengan berlapinkan selembar koran. Aku lalu dipungut mereka, diangkat menjadi anak, dan diberi nama Alung. Nama yang jadi kedengaran aneh karena disematkan padaku. Namun demikian, maksud ayah dan ibuku baik, tujuannya agar aku cepat menyatu dengan mereka, dan merasa bahwa aku juga bagian dari mereka. Sebenarnya, sudah lama aku mengibaratkan bahwa aku tak ubahnya seperti mutiara hitam di antara giok putih. Akan tetapi, selama ini, aku tak pernah merasa dibedakan, bahkan dengan Aling, anak kandung mereka sendiri. Aku diperlakukan dengan adil. Dan Aling pun bisa menerima keberadaanku dengan penuh cinta.

“Alung! Kemari, nak! Dagingnya sudah masak! Kau pasti sudah lapar!” kudengar ibuku memanggil.

“Alung! Kau harus jadi orang pertama yang mencicipi betapa lezatnya masakan ayahmu ini!” timpal ayahku.

“Koh Alung! Ayo… cepat ke sini… aku sudah lapar!” pekik adikku setengah merengek.

“Ya, aku segera ke sana!” sahutku. Air mataku menggenang. Kuusap sebelum menyeruak keluar. Hatiku berkata. "Entah dengan apa aku membalas kasih sayang mereka. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun