Mohon tunggu...
Takas T.P Sitanggang
Takas T.P Sitanggang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Menulis adalah rasa syukurku kepada Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Mutiara Hitam di Antara Giok Putih

13 Maret 2016   13:21 Diperbarui: 14 Maret 2016   02:28 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan tak jadi tumpah. Hanya gerimis sebentar, lalu reda. Kelopak mataku memberat karena laju taxi yang tenang lagi lembut. Pun hawa di dalamnya sangat sejuk. Hah, sedari kanak-kanak aku memang mudah sekali mengantuk. Payah! Padahal ibuku selalu bilang kalau ingin jadi orang pintar tidak boleh gampang tidur. Lebih payah lagi kata-kata itu sering luput dari ingatanku. Kubuka kaca jendela taxi, kubiarkan angin malam yang dingin menampar-nampar wajahku.

Setelah menempuh kurang-lebih satu jam perjalanan, taxi yang kusewa berhenti. Tibalah aku di rumah, tempat di mana hatiku akan merapat bersama keluarga. Ayah dan ibuku muncul dari pintu teras begitu aku memasuki gerbang. Aku dan ayahku saling bersidekap. Ibuku mengusap kepala dan pipiku dengan tangannya yang hangat. Ah, sebuah romantisme usang yang telah lama kurindukan.

“Kau terlihat gemuk dan sehat,” mata ayahku berbinar-binar.

“Itu pertanda dia bahagia menjalani kehidupannya. Bukan begitu, nak?” sambung ibu.

Aku tersenyum sembari menatap kerut-kerut di wajah mereka yang melukiskan kesabaran sepasang manusia yang telah mencecapi asam-garam kehidupan. Sebuah desah mengalir dan berlomba bersama air di sudut mataku.

“Itu berkat doa restu kalian. Tanpa itu, jalan hidupku tak akan terang,” jawabku.

Sejurus kemudian, Aling muncul di ambang pintu. “Koh Alung!”

Dia berlari dan menelusup ke dalam pelukanku. Memelukku keras sekali. Kusingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh ke wajahnya lalu kucubit pipi tembamnya. Aku merasakan kasih sayang yang masih sama derasnya sewaktu kami sama-sama tumbuh dewasa. Umur kami hanya beda dua tahun dan itu pula yang membikin kami kompak. Adikku ini cantik. Wajahnya mungil kekanak-kanakan. Aku menganggapnya bidadari yang terbuat dari cahaya karena kulitnya yang putih mengkilap. Badannya selalu wangi. Dari ketiaknya saja tercium aroma bunga. Namun demikian, untuk para lelaki yang belum mengenalnya jangan sekali-kali sembarang menggodanya, karena lidah adikku ini bisa menyobek tajam laik pisau silet, sayatannya bisa masuk hingga ke darah dan menyerang jantung!

***

“Bapak para tikus sebenarnya adalah babi. Sedangkan bapak para babi adalah gajah,” kata ayahku di sela-sela kami asyik barbeque di taman belakang rumah.

Sambil membolak-balik daging ayam cincang yang tengah dia panggang, ayahku melihat satu persatu wajah kami, terbaca olehnya air muka kami yang meragukan argumentasinya tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun