[caption caption="rumah-astri.com"][/caption]“Sudah tiga tahun kau tidak pulang. Ibu, ayah, dan adikmu sangat merindukanmu. Minggu depan natal. Kami berharap sekali tahun ini bisa merayakannya bersamamu. Ayahmu bilang, kalau natal tahun ini kau lagi-lagi tak punya waktu untuk pulang. Dia meminta ibu mengutukmu menjadi patung seperti si Malinkundang. Katanya lagi, kalau kau tak bisa menikmati hidup karena pekerjaanmu itu, mengundurkan diri sajalah dari pekerjaanmu dan berkerja di perusahaan kita. Kau akan langsung diangkat ayah jadi direktur,” ujar ibuku tadi siang, di telepon.
Aku bisa merasakan kata-kata ibuku itu bukanlah bentuk dari luapan amarahnya, melainkan seperti bujukan dari sebuah kerinduannya yang telah memekat. Lagi nada suaranya yang setengah merajuk membuatku sulit menolak permintaannya kali ini.
Aku termenung di balik meja kerjaku usai menerima telepon itu. Setelah kupikir-pikir betapa ayah, ibu, dan Aling (adikku) sudah begitu pengertian terhadap profesiku sebagai wartawan yang nyaris tak punya hari libur. Sampai-sampai tiga tahun sudah aku tak pernah mengunjungi mereka. Sungguh keterlaluan betul! Batinku mengutuki diriku sendiri.
Selama ini kami hanya bertukar kabar lewat teknologi komunikasi. Barangkali itu pula yang membuatku sukar memimpikan mereka belakangan ini. Maksud hati sekadar bermimpi untuk meredam rindu. Akan tetapi bayangan mereka makin lama makin jauh. Mungkin memang sudah saatnya aku harus mengunjungi mereka. Bernostalgia, berbagi kisah, dan menciptakan baku-canda yang baru, yang akan kubawa sebagai kenangan yang segar dan menjadi pelipur disaat aku kembali sibuk dalam rutinitas pekerjaan.
Mungkin bulan ini memang bulan rindu, bulan untuk pulang, dan bertemu orang-orang tersayang. Pemimpin redaksiku memperbolehkanku mengambil cuti selama dua minggu. Alamak-jang senangnya hati. Untunglah selama tiga tahun bekerja aku tak pernah mangkir barang sehari pun. Juga jatah cuti tiap tahun belum pernah sekali pun kupakai. Itulah yang membuat beliau legowo ketika aku mengajukan cuti panjang tahun ini.
Matahari mulai lenyap di batas hari ketika aku sampai di bandara Kualanamu. Kulihat dari kaca jendela taxi, mall, restoran, dan cafe telah dihiasi pernak-pernik natal.
Hujan turun rintik-rintik. Menitik-nitik di kaca jendela taxi. Membuat pandanganku samar. Entah kenapa, bagiku hujan selalu membuat suasana menjadi syahdu. Apalagi disaat perasaanku tengah melankolis begini. Aku pernah bilang begitu kepada ayah, dan dia tersenyum mendengarnya.
“Air hujan itu sebenarnya tembang rindu. Rindu langit kepada bumi,” kata ayahku, kala itu. Aku terpesona oleh kata-katanya.
Barulah belakangan aku tahu, bahwa kata-kata itu dikutip ayahku dari cerpen ‘Nenek Grendi Punya HP, Tapi Berharap Sungai’ karangan Arswendo Atmowiloto.
Ayahku memang menggemari buku-buku sastra. Dia senang sekali membaca tapi tak terampil menulis. Kukatakan demikian karena berpuluh-puluh cerpen dan puisi yang dikirimkannya ke media massa tak ada satu pun yang terbit. Itu juga yang membuat ayahku kemudian banting stir, yang sebelumnya ingin menjadi penulis, bertolak menjadi pengusaha di bidang penerbitan. Usahanya kini sukses gilang-gemilang. Aku mengenal dan menyukai dunia sastra itu pun karena beliau. Bahkan kemudian menekuninya. Begitu masuk perguruan tinggi, dengan hati yang mantap aku memilih Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, dan kini menjadi wartawan. Untuk semua itu, ayahku mendukung penuh.
Aku sering merasa beruntung memiliki ayah yang dari dirinya banyak hal positif yang bisa kuteladani. Dia bukan cuma ayah yang pekerja keras, tetapi juga bisa menjadi guru dan kawan bermain untuk anak-anaknya. Darinya aku bisa mengerti bahwa, tak ada yang lebih baik dari nasihat panjang-lebar selain contoh lewat perilaku.