Mohon tunggu...
Takas T.P Sitanggang
Takas T.P Sitanggang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Menulis adalah rasa syukurku kepada Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Donna.. Donna..

7 Februari 2016   10:10 Diperbarui: 10 Februari 2016   18:09 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara hiruk-pikuk di sekitar Bandara Soekarno-Hatta semakin membuat otak Angin keruh. Sudah lima belas menit ia duduk di kedai kopi itu tetapi halaman Word di laptopnya masih bersih. Belum ada sepatah kata pun yang ia ketik di situ. Angin merasa mood menulisnya sedang loyo. Sudah seminggu novel yang tengah dikerjakannya belum beranjak dari halaman enam puluh enam.

Angin mendengus, lalu meraih secangkir kopi hitamnya di meja. Disesapnya pelan-pelan kopi yang masih beruap itu. Dipejamkannya mata dan diresapi betul rasa pahit dan manis yang tercecap di lidahnya sebelum tertelan ke tenggorokan. Biasa, setelah Angin melakukan ‘ritual pembangkit mood’ itu imajinasinya akan meliar, lalu dengan spontan apa pun bisa dijadikannya cerita. Namun, kali ini, ritualnya itu tidak ampuh. Angin merasa otaknya benar-benar sedang tersumbat bak selokan di pasar. 

“Angin?”

Terdengar suara perempuan menyebut nama Angin dengan ragu-ragu. Dari volume suaranya, Angin menerka perempuan itu berada tak jauh darinya. Angin membuka mata, lalu  tercekat! Seperti berada di acara talk show yang sering memberi kejutan dengan mendatangkan seseorang yang memiliki hubungan dekat dengan sang bintang tamu. Begitulah yang dirasakan Angin saat Donna Christy - mantan kekasihnya yang telah lima tahun menghilang  - kini ada di depannya. 

Dengan perasaan kaget dan gugup, Angin buru-buru membetulkan posisi duduknya yang tengah berselonjor, lalu menawarkan bangku kosong di depannya.

“Hey! Duduk.” 

Donna menarik bangku itu dan mendudukinya. Segaris senyum membayang di wajahnya. Matanya berkaca-kaca, tampak terharu oleh karena pertemuan yang tak disengaja ini. Mata Angin pun tak kalah berkaca-kaca. Ada rindu yang lama membeku dan kemudian meleleh.

“Tak kusangka bisa bertemu denganmu di sini. Apa kabar?” 

“Yang kau lihat seperti apa?”

Senyum Donna melebar. “Kau terlihat sehat dan semakin tampan dengan kumis dan jenggot tipis itu.” 

Angin terkekeh. Sedikit salah tingkah juga ia dipuji Donna seperti itu. Diteguk lagi kopi hitamnya yang tinggal setengah cangkir. Sepintas, diliriknya Donna yang tengah memalingkan pandangan ke kasir – menanti pesanan diantar.

Donna tampak anggun memakai kemeja ungu yang ukurannya pas di tubuhnya yang sintal. Rambutnya dikuncir konde sehingga siapa pun bisa melihat lehernya yang jenjang. Kulit Donna yang dulu hitam manis kini putih mengkilap. Wajahnya mulus dan kencang. Ingin sekali Angin membelainya, merasakan seperti apa kelembutan wajah Donna yang sekarang. Wajah yang dulu sering ia ciumi ketika mereka bermesraan.

“Kau sibuk apa sekarang?” secangkir cokelat panas yang baru diantarkan pelayan diaduk Donna pelan.

“Menulis,” jawab Angin sambil berpantomim.

Donna tersenyum lalu mencondongkan wajahnya kepada Angin. “Aku suka novel perjalananmu ke Tibet. Indah sekali,” desisnya.

“Kau membacanya?” mata Angin membulat. 

Donna mengangguk dan tertawa geli. Puas sekali ia melihat Angin terkejut. Ada letupan bahagia yang berbeda, yang dirasakan Angin sewaktu Donna memuji karyanya. 

Harus Angin akui, Donna adalah mantan kekasihnya yang terindah. Dibandingkan mantan-mantannya yang lain, Donnalah yang meninggalkan kesan paling dalam. Angin masih ingat. Dulu, Donnalah orang pertama yang membaca dan ia mintai pendapat sebelum puisi dan cerpennya dikirim ke media massa. Penilaian Donna sangat berarti bagi Angin kendati Donna bukan penulis atau editor. Dan memang,  setiap tulisan-tulisan Angin yang dinilai Donna bagus, selalu terbit. Donna juga bisa menjadi teman yang menyenangkan ketika Angin pergi ke sudut-sudut kota untuk menulis. Bersama Donna, Angin merasa, hidup jadi terasa mudah. Menjalin kasih dengan Donna serasa menjalin kasih dengan kesegaran buah semangka. Menjalin kasih dengan Donna serasa piknik tak habis-habis ke hutan lindung yang hijau. Menjalin kasih dengan Donna serasa bersembunyi sepanjang hari dari keruwetan dunia.

“Kau sendiri apa kabar? Sibuk apa sekarang?” tanya Angin.

Donna merebahkan badannya ke sandaran bangku. Kedua tangannya menyilang tepat di bawah gunung kembarnya yang menonjol. Dua kancing kemeja atasnya tak terkait sehingga tampaklah belahan gunung kembarnya yang bergaris vertikal. Tiba-tiba hasrat Angin berdesir. Otaknya menerka-nerka seperti apa rupa gunung kembar Donna yang sekarang? Sepertinya, gunung kembar itu tak seelok yang dulu. Dulu kencang kini tampak kendur.

“Kabarku baik. Sekarang aku sibuk mengurus anak.”

“Kau sudah menikah? Kapan? Dengan siapa?” cecar Angin penasaran.

Donna tertawa. “Siapa yang bilang aku sudah menikah?”

“Lalu, anak itu?” dahi Angin mengerut.

Donna mengangkat kedua pundaknya. “Entahlah anak siapa?”

Dalam diam Angin tertohok mendengar jawaban Donna. Bisa ia simpulkan kalau Donna telah bercumbu dengan banyak lelaki sampai tak tahu siapa yang menanam benih di rahimnya. Namun, Angin tak mau mendesak Donna untuk bercerita siapa kira-kira ayah dari anak itu. Angin pikir, ia bukan ayah, atau kekasih Donna lagi. 

Angin hanya bisa menarik nafas. “Mungkin, memang, itulah kelemahan Donna. Ia sangat mudah dimabuk cinta. Dulu misalnya, baru sebulan berpacaran, Donna telah memberikan tubuhnya untuk kujejali meski tak sampai merenggut keperawanannya. Ya, keperawanan yang akhirnya membuat hubunganku dengannya kandas,” kenang Angin.

Sore itu, saat mereka bercumbu dengan kondisi setengah telanjang di sofa apartemen Angin, saat mereka seperti diterbangkan malaikat-malaikat kecil dengan sayap-sayap warna pelangi ke langit tak bernama, entah mengapa Angin tergelitik menanyakan perihal keperawanan Donna. Mungkin nalurinya terusik karena sifat Donna yang sangat agresif. Waktu itu, Angin terkejut bukan main ketika Donna secara terbuka mengatakan bahwa keperawanannya telah direnggut mantan kekasihnya (sebelum Angin). Sekejap berahi Angin yang tengah meninggi langsung amblas. Diangkat Angin tubuhnya yang sedari tadi menindihi Donna, dan dipakai lagi bajunya lalu duduk di tepi ranjang. Donna pun memakai bajunya dan duduk di sebelah Angin. Kepalanya menunduk. Ia tahu Angin tengah kecewa, sedih, dan marah.

Setelah tahu kenyataan itu, Angin menghilang sejenak dari kehidupan Donna. Ia tak ingin bertemu atau berkomunikasi dengan Donna untuk sementara waktu. Pikirannya tengah kalut. Emosinya masih tinggi. 

“Ngin! Jaman sekarang sudah langka perempuan yang masih perawan. Apalagi kalau dia cantik seperti Donna. Lelaki mana yang tak memutar otak agar bisa cepat-cepat menyesap sari-sarinya? Aku yakin, kau pun sama seperti para lelaki yang kumaksud. Jangan naiflah, Ngin! Jaman sekarang kesucian hanyalah omong kosong. Kesucian hanyalah cermin retak yang senantiasa ingin diutuhkan.” 

Begitulah yang dikatakan Gide, sahabat Angin, ketika Angin menceritakan kegalauannya. Siang dan malam Angin merenungkan kata-kata itu. “Apa benar aku naif? Atau tak bisa menerima kenyataan mendapati Donna yang sudah tidak perawan. Sementara aku – seorang lelaki dan berumur lebih dewasa darinya – masih perjaka.” 

Setelah merenung selama berminggu-minggu akhirnya Angin mengubur dalam-dalam kekecewaannya itu karena sudah kepalang sayang, dan kembali melanjutkan kisah asmara bersama Donna tanpa memedulikan lagi perihal keperawanan kekasihnya itu. 

Namun, saat merayakan hari jadi mereka yang ke satu tahun bersama beberapa kerabat dekat mereka di Bali, Donna mengungkapkan rahasia yang belum dikatakannya kepada Angin. Entah apa yang membuat Donna mengungkapkan rahasia itu di tengah luka hati Angin yang belum sepenuhnya mengering paska mengetahui masa lalunya. Padahal, Donna punya pilihan untuk tak mengungkapkannya agar selamanya Angin tak pernah tahu tentang rahasia itu. Mungkin, Donna merasa harus berterus terang lantaran Angin sempat mengutarakan niat ingin melamarnya. 

Betapa Angin terkejut begitu Donna mengatakan bahwa dirinya pernah dua kali melakukan aborsi dengan menelan pil penggugur janin.  Ya, janin hasil perbuatannya dengan si mantan yang merenggut keperawanannya. Kali ini runtuh sudah dinding pertahanan Angin. Ludas sudah pemaklumannya. 

“Biar saja aku dibilang naif! Biar saja aku dibilang kolot! Toh, aku masih punya logika!” batin Angin menjerit kencang. 

Mereka menangis pada senja di tepi pantai Kuta yang riak ombaknya berdesir membasahi jari-jari kaki mereka. Air mata Angin mengalir bagai anak sungai. Hatinya koyak mendapati kenyataan bahwa kekasihnya tercinta yang usianya masih muda, yang berwajah lugu, yang aktif dikegiatan rohani ternyata pernah melakukan hal yang sedemikian keji. Sambil sesugukan, Donna  menyesali perbuatannya itu dan memohon pada Angin agar tak mengakhiri percintaan mereka.

“Beri aku kesempatan, Ngin. Aku tak bisa mengubah masa laluku. Tapi aku bisa menata masa depanku lebih baik denganmu. Berilah aku syarat untuk tetap menjadi kekasihmu, dan aku bersumpah demi apa pun yang kau mau, aku akan memenuhinya!”

Angin menjawab. “Maaf, aku bukan Tuhan yang bisa menerima segala kekuranganmu, Don.”

Percintaan mereka berakhir di bawah langit yang kelabu, di hadapan matahari yang tenggelam, ditiup angin Kuta yang desaunya mencabik-cabik hati.

“Sejak putus denganmu, aku seperti wanita yang tersesat di hutan, siapa saja yang datang padaku, kuanggap sebagai penolong, tapi nyatanya selama ini yang datang adalah pembohong. Cinta, bagiku sekarang lebih busuk daripada bangkai. Lebih borok ketimbang kelamin paling sipilis,” Donna menatap Angin lekat-lekat, dan berpaling begitu matanya mulai berlinang.

Hati Angin memilu. Tiba-tiba saja ada perasaan bersalah yang merambati sanubarinya karena pernah mencampakkan Donna. Akan tetapi dari dulu hingga detik ini nuraninya berbisik, bahwa keputusannya yang dulu, benar.

“Nama anakmu siapa?” Angin mengalihkan pembicaraan yang mulai membawa perasaan.

“Adam. Umurnya satu tahun.”

“Kalau kau tak bekerja, dari mana kau membiayai kebutuhan hidupmu dan anakmu?”

“Richard yang menafkahi kami. Dia tunanganku. Orang Nigeria tapi sudah sepuluh tahun tinggal di Indonesia.”

“Kenapa mau bertunangan dengan orang asing?”

Donna tersenyum miring. “Karena menurutku cuma merekalah yang mau menerima keadaanku.”

Angin terhenyak mendengar jawaban itu. Ia melirik kalung emas yang melingkari leher Donna. Cincin permata di jari manis kanan Donna dan tas jinjing yang ditaruh Donna di meja. Angin bisa menerka semuanya berharga mahal. Sepertinya Donna tak hanya menemukan lelaki yang bisa menerima apapun keadaannya tapi juga membahagiakannya. Donna melirik jam tangan rantai di lengan kirinya lalu meneguk cokelat panasnya lagi. Diambilnya secarik tisu di meja untuk kemudian mengelap bibirnya yang basah. Dirapikan lipatan baju kemejanya lalu bangkit dari bangku.

“Aku harus cek in. sejam lagi pesawatku berangkat. Aku akan ke Tokyo. Kau?”

“Hawaii.”

“Apa kita bisa bertemu lagi sekembali ke Indonesia? Ada banyak sebenarnya yang ingin kuceritakan padamu, dan mungkin bisa menjadi tulisan cerpen atau novelmu. Kau belum pernah menulis tentangku, kan?” 

Angin tersenyum, lantas bertukar nomor ponsel dengan Donna. Angin pikir, sekadar berteman tentulah tidak salah. Kalau kembali tergoda jelas tidak. Begitu tahu kehidupan Donna yang liar, Angin mati rasa. Lagi pula, kini Angin telah menetapkan hati pada kekasihnya yang sekarang. Dan mereka akan menikah setelah Angin menyelesaikan novel ketiga yang tengah dikerjakannya. 

**

Angin meletakkan secangkir kopi hitam yang masih mengepul di meja. Lalu duduk di kursi balkon, memandangi siluet Gunung Salak yang masih berkabut embun. Tiba-tiba Angin teringat Donna yang ingin bertemu. Namun, sudah seminggu ia kembali ke Indonesia, Donna belum menghubunginya. 

“Apa dia masih di Tokyo? Atau, dia menunggu aku yang menghubunginya? Ah, sudahlah, lagi pula aku tak serius menanggapi ajakannya waktu itu,” desis Angin.

Angin menarik napas sedalam mungkin. Menghirup udara segar yang tak didapatinya di kota. Lalu mengambil koran di samping cangkir kopinya. Dibalik-baliknya halaman-halaman koran itu, mencari berita yang menarik yang mungkin bisa dijadikan ide cerita. Mata Angin berhenti pada berita halaman dua puluh tujuh dalam rubrik kriminalitas. Judulnya menarik maka kemudian ia baca. Sampai pada paragraph ketiga, jantung Angin serasa berhenti berdetak.

Kemarin, Badan Narkotika menangkap Donna Christy, di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, karena memiliki 3 ribu gram sabu yang disembunyikan dalam koper. Wanita berusia 26 tahun itu mengaku untuk menyambung hidup dan membiayai putranya yang berumur 1 tahun, ia terpaksa menjalankan perintah tunangannya, Richard, pria berkebangsaan Nigeria, untuk jadi kurir Narkoba. (*)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun