Di kampus-kampus itu, mereka melaksanakan program Generation of Peace (generasi damai). Program ini lahir atas inisiasi fasilitator NVSC. Melalui seleksi ketat dengan ratusan program lainnya di salah satu badan di Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) yang bergerak di isu sosial dan konflik.
“Tidak hanya memberikan materi. Tapi, kami dapat berbagi pengalaman. Kami menggali apa yang mereka punya, setelah itu akan diidentifikasi dan solusi apa yang perlu ditempuh dengan mediasi,”kata Kiki.
Tak sebatas di ruang kelas, mereka juga menebar kegiatan yang sudah, sedang maupun yang akan dilaksanakan di media sosial. Banyak respon positif. Bahkan, mahasiswa di daerah lain meminta agar kegiatan serupa dilakukan juga di kampus mereka.
“Kalau di saya, ada teman-teman dari Jambi dan Kalimantan Barat menelepon dan meminta agar kegiatan yang sama juga kami lakukan di sana,” akui Firman, duta Maluku untuk kegiatan National Interfaith Student Peace Camp dan Youth Interfaith Peace Camp Conference di Yogyakarta, 14-24 Agustus 2014.
Di sisi lain, upaya perdamaian dari pemerintah harus diapresiasi. Realitasnya, saat ini Maluku mulai menemukan dan membangun citranya kembali sebagai daerah yang damai dan rukun di tengah pluralisme. Akan tetapi, tentu ada hal-hal yang perlu diperbailki kedepan. Karena banyak upaya tolerensi yang hanya dilakukan diranah publik.
Salah satunya pemerintah sering melakukan dialog publik, namun sentuhan langsung ke masyarakat terkesan minim. Perdamaian hanya sebagai diskusi elit. Bahkan upaya pardamain justeru menjadi project yang dijual untuk mendapatkan perhatian pemerintah pusat.
Bagi Firman dalam kondisi seperti ini, anak muda mesti mengambil peran aktif. Sebab kata dia, anak muda juga punya andil dalam upaya rekonsiliasi dan rekonstruksi perdamaian di Maluku. Dalam forum-forum nasional tentang perdamaian, maupun kegiatan lainnya, selalu yang disampaikan adalah pesan perdamaian dari negeri seribu pulau ini.
Ini dikarenakan, kebutuhan dasar bagi Maluku untuk hidup bersama dalam bingkai kerukunan dan perdamaian adalah, menyatukan dua komunitas. Dan itu bisa dimulai dari anak muda. Baik di lingkungan kampus, tempat tinggal maupun hubungan sosial kemasyarakatan.
Firman, Daus dan Kiki serta teman-teman mereka, berharap suatu saat nanti, cita-cita Maluku dan Indonesia yang benar-benar aman dan damai dapat terwujud. “Karena, tak seorang pun lahir untuk membenci orang lain hanya karena beda warna kulitnya, atau beda latar belakangnya, atau beda agamanya,”ucap Firman, mengutip kalimat dari tokoh Perdamaian Afrika Selatan, Nelson Mandela (***).