Mohon tunggu...
Tajudin Buano
Tajudin Buano Mohon Tunggu... -

Pojok Kata

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Dari Maluku, Mereka Menebar Damai Untuk Indonesia

17 September 2015   19:37 Diperbarui: 18 September 2015   10:16 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi penyelesaian masalahnya sama, dengan pemaksaan kehendak. Padahal dialog adalah cara yang paling baik. Ketika kedua belah pihak mendapatkan kepuasan yang sama dalam suatu masalah, maka disitulah perdamaian akan dimulai.

Kehadiran Kiki dan teman-temannya membawa payung anti kekerasan. Itu menjadi penyedaran tersendiri bagi mahasiswa Undana. Melalui refleksi jiwa atas apa yang telah terjadi sebelumnya, melahirkan benih kesadaran murni.

“Dan mereka pun mengaku mendapatkan pelajaran berharga dari kegiatan ini. Yang kami tekankan adalah, bahwa penyelesaian tak bisa dilakukan dengan pemaksaan kehendak dan kekerasan. Melalui dialog dan refeleksi diri, perdamaian bisa mewujud,”kata Kiki.

Pangkal masalah inilah yang menjadi konsern NVSC. Dan, mereka punya persepektif yang berbeda mengenai agama dan manusia sebagai pemeluknya. Manusia, dipandang sebagai mahluk sosial yang sama di mata Tuhan. Perbedaan dengan label agama, suku dan ras, adalah karunia yang justeru harus menjadi pengikat perbedaan itu sendiri.

“Kami melihat manusia sebagai manusia. Karena ketika kita bisa melihat manusia sebagai manusia, maka perbedaan diantaranya tak didapati. Malah perbedaan itu dijadikan kekuatan bersama. Dan itu yang kami sampaikan kepada teman-teman di Undana,”ungkap dia.

Setelah mengikuti kegiatan bersama NVSC, puluhan mahasiswa Undana menyebar ke beberapa pulau di NTT. Virus perdamaian akan disebarkan kepada mahasiswa lain di kampus lainnya. Dengan satu harapan, kekerasan tak lagi terjadi.

 

***

Upaya meretas segregasi antara mahasiswa dengan latar belakang berbeda, ternyata tidak mudah. Stempel ‘liberal’ bagi relawan dan fasilitator Muslim sempat menghiasi gerekan tersebut. Ini pernah dialami  Firman Rahyantel, alumni generasi kedua NVSC.

Keputusan Firman untuk melakukan advokasi perdamaian, baik lewat NVSC maupun atas inisiasi sendiri, mendapatkan penilaian negatif. Oleh teman-temannya yang sebelumnya bergabung dalam salah satu organisasi, Firman dicap sebagai penganut Islam Liberal.

Puncaknya di tahun 2012, ketika dia mewakili NVSC mengikuti intervited  di Yogyakarta, dan masuk keluar gereja dan tempat ibadah lainnya dari agama berbeda.”Saya diklaim sebagai penganut Islam liberal dan terlalu plural oleh teman-teman yang memiliki pemahaman yang agak radikal,”kata Firman, yang saya wawancarai bersama dengan Kiki dan Firdaus Arey di malam itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun