Mohon tunggu...
Tajudin Buano
Tajudin Buano Mohon Tunggu... -

Pojok Kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Negeri Ema yang Ditinggalkan Pemerintah

24 Mei 2015   11:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:40 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kampung Penggagas Puskesmas Itu Masih Terisolir

Ema, Negeri/Desa kecil diatas gunung itu, masih jauh dari sentuhan pemerintah. Mulai dari prasarana jalan, pendidikan hingga tenaga kesehatan yang minim. Sekelompok anak muda pun tersentak menyuarakan harapan orang-orang di tanah kelahiran almarhum dr Johannes Leimena, pengagas Puskesmas Indonesia itu.

Negeri yang dipagari pepohonan rindang ini masuk wilayah Kecamatan Leitimur Selatan. Letaknya hanya sekitar 8 kilometer dari kota Ambon. Belum ada jalan aspal menuju Ema. Untuk mencapai Ema, hanya bisa menggunakan motor atau berjalan kaki melewati jalan menanjak yang berjarak sekira 1,4 kilometer dari jalan raya.

Akses dari Kota Ambon menuju Ema juga cukup sulit. Mulai dari desa Soya masih terdapat jembatan-jembatan kayu yang kondisinya miris. Rawan kecelakaan. Kemudian, badan jalan di Negeri Hatalae dan Kilang menuju Naku dan Ema terputus hingga setengah luas badan jalan.

Pengerjaan jalan aspal telah dimulai sejak 1997. Namun hingga kemarin tak kunjung selesai. Padahal telah masuk tahap lima. Akses dari Kota Ambon menuju Ema juga cukup sulit. Kondisi ini berdampak terhadap sulitnya akses ke Negeri diatas gunung itu.

Untuk pendidikan, misalnya para guru di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) 18 Negeri Ema, jarang datang mengajar. Apalagi kala musim hujan. Maklum, sebagian besar berasal dari luar Ema. Bahkan, pernah selama dua tahun berturut (2005 dan 2006), sekolah tersebut tidak lulus ujian nasional seratus persen.

Kondisi jalan yang menanjak dengan jarak lumayan jauh, membuat masyarakat merasa sulit. Masalah akses jalan ini cukup lama dialami masyarakat Ema. Namun sifat tak mau protes, membuat masyarakat seakan hanya pasrah. Mereka setia menanti realisasi setumpuk janji dari pemerintah yang disampaikan pada setiap kali momentum politik.

"Kalau jalan ini tidak ada, maka kami sangat sengsara jika ke kota. Soalnya harus memikul barang atau hasil hutan menuruni jalan yang terjal dan menikung. Sepulang dari kota, kami memikul lagi barang belanjaan menaiki gunung,”Kata Sekretaris Negeri Ema Mosez A Sariwating (48) kepada saya, seusai mengikuti pertemuan antara Tim Ema Bergerak, Badan Saniri Pemerintah Negri Ema dan Jemaat Gereja Protestasn Maluku (GMP) Sion di gedung Pastoral, Minggu (17/5).

Yang paling memprihatinkan adalah soal pelayanan kesehatan. Di Pusast Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) pembantu Negeri Ema, hanya ada satu bidan. Sehingga tak sedikit, ibu-ibu yang memeriksa kandungan, harus ke Puskesmas Negeri Kilang, desa tetangga yang lumayan jauh atau ke kota Ambon. Kondisi ini kontras dengan apa yang telah dikonsepkan dr Johannes Leimena tentang “Puskesmas”.

Selain itu, menurut Sariwating bidan tersebut tidak profesional melaksanakan tugasnya. Sehingga nyaris menyebabkan anak dari Yona Leimina (29) meninggal saat dilahirkan. Kejadian itu terjadi pada pertengahan 2013.

Kala itu Yona tidak sempat dibawa ke rumah sakit karena kondisinya lemah dan akan segera melahirkan. Karena bidan tersebut kurang pengalaman dan pengetahuan, persalinan pun dilakukan tanpa alat medis memadai.“Bidan ini hanya datang membawa gunting dan menjahit tali pusar bayi yang dilahirkan pakai benang pakaian. Pada saat itu kondisi bayi sudah kejang-kejang,”urainya.

Mosez Maitimu (60) anggota Badan Saniri Negri Ema yang ditemui di tempat yang sama mengatakan, kepedulian kepada masyarakat Ema bukan saja karena akses jalan, pendidikan dan kesehatan. Namun juga sejarah yang masih dibanggakan hingga saat ini.

Pria yang telah beruban ini mengisahkan, Ema adalah salah satu Soa (perkampungan) yang ikut mendirikan Kota Ambon. Soa Ema, Soa Kilang, Soa Silale, Soa Hative dan lainnya, merupakan perkampungan yang mendiami benteng Portugis yang dibangun pada 1557 yang kemudia diberi nama benteng Ferangi di dataran Honipopu. Hal penting lainnya adalah Ema sebagai tempat kelahiran Pahlawan Nasional dr Johanes Leimena.

"Jadi sebelum Ambon terbentuk, orang Kilang dan Ema sudah berada di Kota. Salah satu asset sejarah kota Ambon, sebenarnya juga Ema. Nah, sekarang kita bertanya ke pemerintah kota, apakah yang telah diberikan buat Ema?,”tanya Maitimu, menyindir.

Orang Ema, lanjut dia, bertipikal penyabar. Selama ini tak pernah meminta-minta perhatian pemerintah.”Bayangkan pengerjaan bangunan dua tingkat nan megah ini menggunakan tenaga manusia. Semua material, kecuali pasir, kami memikulnya dari bawa jembatan pembatas Negeri Ema dan jalan raya itu,”ucapnya, sembari menunjuk beton gedung Pastoral yang dipakai sebagai tempat rapat hari itu.

Ema juga memiliki situs sejarah yang tak kalah penting untuk diperhatikan pelestarian dan pemanfaatannya oleh pemerintah. Di desa itu, terdapat benda peninggalan kerajaan Majapahit berupa tombak, tampat siri dan gamelan. Juga ada mata air Majapahit yang biasa dinamai mata air Islam.“Ema punya banyak situs sejarah, namun sulitnya akses bagi orang luar untuk masuk kesini. Sehingga tidak terlalu terkenal,”ungkapnya.

14324419521177853705
14324419521177853705

Ema Bergerak

Setumpuk persoalan itu yang kemudian membuat sekelompok anak muda tersentak . Berdiskusi untuk mendapatkan ide. Paling tidak bisa mengadvokasi dan menjembatani derita orang Ema dengan pemerintah kota Ambon. Mereka tergabung dalam Tim Ema Bergerak. Berasal dari latar agama dan komunitas berbeda.

Komunitas ini berisi, Yani Salampessy (36), ketua Tim Ema Bergerak sekaligus konsultan perencanaan, dan ketua Persatuan Anak Muda Maluku (PAMM), Syamsul Notanubun (aktivis pemuda Maluku (PAMM) dan Glenn Wattimuri (36) dari Mollucan Backpacker Community yang juga IT di The Natsepa Hotel. Ditambah Rudi Fofid sastrawan dan jurnalis senior yang mewakili Bengkel Sastra Maluku (BSM) dan Elsye Latuheru Syauta Pekerja sosial sekaligus direktur Yayasan Parakletos.

“Itu terjadi dalam sebuah diskusi tentang ke-Malukuan, maka terucaplah persoalan di Ema, yakni pengerjaan jalan aspal yang hingga kini belum selesai,” ujar Salampessy saat saya berkunjung ke sekretariat Tim Ema Bergerak, jalan WR Supratman, Tanah Tinggi, Jumat (15/5).


Sore itu, mereka membuat pertemuan untuk kegiatan malam rangka mempersiapkan solidaritas yang direncanakan 29 Mei mendatang di Desa Ema.

Berawal dari perbincangan itu, gagasan Ema Bergerak langsung disosialisasi kepada komunitas masing-masing. Pada 19 April lima komunitas itu ditambah DPD Pemuda Katolik Provinsi Maluku, mereka mengunjungi Ema dan diterima langsung oleh Saniri dan (Pemerintah) Negri Ema.

Konsep Ema Bergerak dirumuskan dengan detail dalam rapat perdana itu. Tujuan mereka sederhana, Ema harus di samaratakan dengan desa-desa lainnya di Maluku. Terutama soal akses jalan, pendidikan dan kesehatan.

Pasalnya banyak keluhan yang disampaikan masyarakat. Terutama soal janji-janji dari pemerintah kota Ambon dan anggota legislatif yang disampaikan dalam setiap perhelatan politik, namun belum terealisasi.

"Lebih baik bendera Merah Putih kita lipat saja dan kembalikan kepada negara,”ujar Notanubun (32), meniru ucapan Gustav Tanihatu Ketua Persatuan Pemuda Pelajar Ihuresi Ambon yang hadir dalam pertemuan kala itu.

Bahkan yang lebih ekstrim, masyarakat juga mau melakukan penebangan pohon yang ada di gunung Ema dan sekitarnya. Dan jika ini dilakukan, dampaknya adalah kurangnya ketersediaan air bersih bagi warga kota Ambon yang sebagian bersumber dari Ema.

Tim Ema bergerak juga mensosialisasikan gerakan tersebut di Facebook dan Fun Page dan lainnya. Setelah itu, tim yang bergarak secara sukarela ini, membuka jaringan untuk mendapatkan dukungan orang Maluku yang berada di Jakarta, Belanda dan beberapa daerah lainnya. Tujuan konsolidasi dan sosialisasi itu untuk mendapatkan dukungan kegiatan malam solidaritas.

Anggota BSM David Yonry Leimena (29) mengatakan, ia berpartisipasi dalam gerekan ini lewat kreatifitas seni yang dimilikinya, selain kegiatan advokasi. Saat ini, David beserta beberapa temannya mengkonsepkan pemantasan seni yang akan mewarnai kegiatan Malam Solidaritas nanti.

"Jadi kami memilih menyampaikan aspirasi melalui kreativitas dan tanpa kekerasan untuk membangun Maluku. Terutama yang saat ini sedang kita lakukan untuk desa Ema. Jadi yang bisa kita kasih adalah puisi yang mungkin bisa menyentuh hati pemerintah untuk membuka mata melihat kondisi Ema saat ini,”kata David yang juga pengajar di Primagama itu.

David yang mengaku pernah berpartisipasi dalam gerakan advokasi, seperti Save Aru dan save Togutil di Halmahera Selatan, Maluku Utara ini mengatakan sejumlah komunitas dan organisasi akan mengisi acaara malam solidaritas. Diantaranya, Penyala Ambon, Pemuda dan pemudi Negeri Ema, Bengkel Sastra Maluku, Baguala Music Project, The Choir (Hip-Hop), Teater Hikayat Tanah Hitu, IPPSA (Ikatan Pemuda Pelajar Samasuru Amalatu).

Kemudian Semestas, Kanvas Alifuru,Ambon Bergerak, P3MH (Persatuan Pemuda Pelajar Mahasiswa Haria) IPPMAP (Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Pelauw) dan beberapa komunitas serta paguyuban lainnya.

Sementara Glenn, menilai pemerintah harus membuka mata melihat kondisi Ema. Sulitnya akses menuju desa itu dapat melumpuhkan aktivitas perekonomian. Apalagi, di Ema banyak terdapat buah-buahan seperti Langsat, Rambutan, Durian dan Salak yang penyokong ekonomi utama masyarakat Ema.

Selain itu, kata pemuda yang sering mengeksplor potensi wisata Maluku dan mengabadikannya di jejaring sosial ini, mengatakan, pemerintah tidak harus memperhatikan wisata alam. Namun juga sejarah dan budaya.

"Itulah yang membuat saya tertarik dengan kegiatan Ema Bergerak ini. Pemerintah mungkin melihat potensi wisata pantai dan laut saja. Di Ema, ada situs-situs sejarah yang bisa diandalkan oleh pemerintah untuk meningkat nilai wisata sejarah dan budaya Maluku,”paparnya.

Benda purbaka peninggalan kerajaan Majapahit berupa Tombak tempat Siri Pinang dan Gamelan serta mata air Majahapit, kata dia, sebagian besar orang Maluku tidak mengetahuinya. Kendalanya, kurang promosi dan sulitnya akses menuju situs-situs tersebut.

“Dan itu juga ada di Ema. Hanya akses jalan menuju kesana yang susah. Pemerintah seperti menganak tirikan Ema. Mereka berpikir, mungkin wisatawan takkan bisa menjangkau Ema. Padahal harusnya diubah,”ujar Glenn yang telah mendatangkan banyak wisatawan di Maluku.

Upaya Tim Ema Bergerak sempat tidak respon oleh warga Ema yang menetap di Kota Ambon. Pasalnya warga Ema sudah apatis oleh janji pemkot dan anggota legislatif yang tak dipatuhi. Sehingga siapapun yang hadir untuk kepentingan Ema dengan niat baik, justru menjadi keraguan bagi masyarakat.

"Misalnya seperti kami yang datang dengan niat baik, masih menjadi suatu tanda tanya besar di benak orang Ema. Namun kami telah mencoba menyelesaikan masalah ini melalui pendekatan dan komunikasi yang baik,”tutur Salampessy.

Pihak Negeri dan Badan Saniri mendukung sepenuhnya gerakan tersebut. Bahkan, Sariwating mengaku, keterlibatan warga Ema di Ambon menjadi tanggung jawab pemerintah Negeri dan Saniri.

"Ini menjadi tanggungjawab Negeri dan Badan Saniri untuk mengumpulkan saudara kami yang di Ambon agar dapat mengikuti pertemuan-pertemuan lanjutan. Kami sudah membicarakan hal ini pada saat rapat di Kodim Ambon beberapa hari lalu,”kata Sariwating.

"Pada intinya, kami tetap mendukung gerakan Tim Ema Bergerak setelah mendengarkam visi dan misinya dalam rapat ini,”tambah Maitimu.

Tim Ema Bergerak akan menggelar malam solidaritas “Suara Ema Suara Indonesia” 29 Mei mendatang. Rencanananya, selain disiarkan langsung oleh Metro TV dan media lTV okal lain, mereka juga menyebarkan pesan kepedulian terhadap Ema melalui Skype di tujuh titik, yakni Belanda, Jakarta, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, Jayapura dan Sorong.

"Kami ingin menyuarakan kepada masyarakat Ambon, Maluku dan Indonesia, bahwa Ema yang merupakan tempat kelahiran Johannes Leimena, tidak sendiri dalam menghadapi deritanya,”ucap Salampessy.

[caption id="attachment_367420" align="aligncenter" width="576" caption="Gerakan Save Ema "]

143244293465847502
143244293465847502
[/caption]

DPRD Bicara

Anggota Komisi II DPRD Ambon Christian Latumahina, Kamis (21/5) mengatakan, fasilitas jalan bukan saja sebagai akses trasnportasi, bagi warga Ema. Tetapi sebagai pemberdayaan ekonomi masyarakat yang menjadilan askes jalan sebagai penunjang.

Namun sebaliknya, kata dia, masyarakat Ema di Kecamatan Leitimur Selatan (Leitisel) hingga kini masih kesulitan tehadap akses jalan yang tak kunjung selesai selama bertahun-tahun. Dampaknya, masyarakat kesulitan dan harus membutuhkan energi yang lebih untuk bisa memasarkan hasilnya hutannya ke Kota Ambon.

“Pesoalan infrastruktur yang selama ini menjadi catatan merah sebetulnya, untuk Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon. Karena ternyata masalah infrastruktur ini sudah bertahun-tahun belum diselesaikan. Sehingga bukan saja rasa ketidaknyamanan, tetapi juga ketidakpercayaan kepada pemerintah untuk memfasilitasi warga daerah Letisel, khuusnya Desa Ema,”ungkap Latumahina di kantor DPRD Kota Ambon.

Menurut politisi Nasdem itu, pemerintah melalui Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Ambon perlu menganggarkan secara bertahap, walaupun Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Ambon rendah.Karena persoalan tidak akan terjawab untuk beberapa tahapan, jika pemerintah tidak serius terhadap masyarakat di Desa Ema.

“Pengawasan DPRD sudah, dan kemarin kita temui bahwa sudah ada proses. Tetapi proses tersebut menurut saya tidak berjalan lancar. Nah, yang disampaikan PU, bahwa proses anggaran secara bertahap itu sudah ada. Namun kendalanya ada pada anggaran. Karena kita tahu persis bahwa ada pembagian jalan, yakni jalan nasional, provinsi, dan kota. Sementara Ema masuk dalam jalan kota. Sehingga membebani anggaran daerah,”jelasnya.

Selain itu, Latumahina mengaku, masalah kesehatan dan pendidikan juga memprihatinkan. Penempatan tenaga media dan guru, perlu segera dilakukan.

“Akses jalan sudah terhambat. Warga butuh waktu dan tenaga menuju jalan raya. Bagaimana dengan kesehatan, kalau ada yang sakit dan harus mendapatkan pelayanan segera ke kota, namun sayangnya belum ada jalan aspal. Itu berarti menambah penderitaan warga di Ema dan sekitarnya,”tandasnya.

Olehnya itu, dia meminta pemerintah secara serius dan terbuka kepada masyarakat untuk melihat hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan vital, sehingga masyarakat Kecamatan Leitisel khususnya Desa Ema bisa sejahtera.

Anggota Komisi II DPRD Ambon Max Pattiapon, yang juga Dapil Leitisel menambahkan, walaupun selama ini warga Desa Ema ada dalam suasana NKRI yang merdeka, tetapi sebenarnya warga Ema masih belum merdeka secara badani. Menurutnya, DPRD Ambon sejak periode 2009-2014 sudah mendorong untuk akses jalan di Ema bisa secepatnya diselesaikan.

“Kami telah berjuang bersama pemkot untuk harus tuntas 2015, karena itu anggarannya itu sudah kita plot dari tahun ke tahun. Ditahun ini, sudah pada tingkat pengaspalan jalan. Dan itu yang kita harapkan. Bila akses sudah dibuka, maka semua hal akan menjadi mudah untuk mobilisasi ke Ema,”terangnya.

Politisi Golkar ini mengaku, permasalahan ini telah sampai ke pemerintah kota bahkan Walikota Ambon sendiri merespon terhadap keinginan akses jalan di Desa Ema. Sehingga jalan sepanjang 1,4 km ini bisa secepatnya terealisasi.

“Jalan sepanjang 1,4 ini sudah bisa direalisasi. Anggarannya ada, cuman tendernya baru mulai kali ini. Saya sudah cek di PU, tendernya baru mulai. Jadi sekitar Juli hingga Agustus baru realisasi anggaran itu bisa berjalan,”bebernya.

Pattiapon berharap, status akses jalan yang bisa menghidupkan kembali Desa Ema ini bisa segera terlaksana. Jalan merupakan kebutuhan dasar bagi masyarkat Leitisel yang merupakan bagian dari Kota Ambon.

“Tidak bisa disebut sebagai sebuah kota, kalau belum dilengkapi dengan lima kecamatan. Dan kami berharap tolonglah pemerintah memperhatikan semua yang menjadi kebutuhan dasar dari Desa Ema. Baik itu pendidikan, kesehatan, transportasi, dan juga hal-hal mendasar lainnya, tolong diperhatikan. Karena seharusnya Kue Pembangunan itu harus dibagi sama rata,”ingatnya

Klarifikasi Pemerintah

Kepala Bina Marga Dinas PU Kota Ambon Ir. Roby Sapulette berjanji tahun 2016 nanti pekerjaan pembangunan Jalan Negeri Ema akan selesai.

Dikatakan, pembangunan jalan di Negri Ema Rp.9.663.806.000. Pekerjaan pembangunan Jalan Negeri Ema dilakukan secara bertahap yaitu tahun 2012 Pagu Anggaran Rp .1.500.000.000 kontrak telah ditanda tangani, proses uang muka dibayarkan sebesar Rp.449.258.700 namun pelaksanaan tidak dapat dilaksanakan karena ada sengketa lahan antara Negeri Kilang dan Negeri Ema, sehingga uang muka dikembalikan ke Kas Daerah.

Tahap 2 tahun 2013 nilai kontrak Rp. 448.076.000 dengan jenis pekerjaan galian tanah untuk pembentukan badan jalan, tahap 3 tahun 2014 nilai kontrak Rp 1.460.882.000 jenis pekerjaan masih pembentukan badan jalan dan lapis Fondasi Agregat kelas C.

Untuk tahap 4 tahun 2014 nilai kontrak Rp.960.433.000 jenis kegiatan fondasi Agregat dan pemasangan saluran, dan tahap 5 anggaran tahun 2015 dengan nilai kontrak Rp.1.447.524.000 dengan jenis kegiatan Lapis Penetrasi Macadam (Lapen) dan pekerjaan saluran. Namun hingga kemarin tak kunjung selesai. Padahal telah masuk tahap lima.

Ema adalah bagian dari Kota Ambon. Dan kita tentu berharap para ibu hamil di kampung Om Jo, teman dekat Soekarno yang dianugerahi Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia itu, tak lagi kesulitan kala melahirkan. (***)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun