Mohon tunggu...
Tajudin Buano
Tajudin Buano Mohon Tunggu... -

Pojok Kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merawat Merah Putih di Hitumessing

8 Januari 2015   01:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:35 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Potret Nasionalisme di Ujung Timur


Nasionalisme orang Maluku, beda dengan mereka yang di Pulau Jawa atau daerah lain. Nasionalisme orang Maluku tak bergantung kesejahteraan. Sejahtera atau tidak bagi orang Maluku, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati. Potretnya ada di Hitumessing, Kecamata Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah. Disana merah putih dirawat. Tonggaknya selalu diabadikan pada 27 Desember.

Catatan: Tajudin Buano-Ambon

Pukul 09.00 wit, pagi itu, sejarah seperti kembali dalam porosnya yang penuh gejolak, ketika bendera Merah Putih secara perlahan dikibarkan di atas langti Negri Hitumessing, 27 Desember. Indonesia Raya dan lagu perjuangan mengiringi detik demi detik prosesi yang sangat bersejarah itu itu.

Para veteran Jazirah Leihitu, TNI, Polri danmasyarakat dengan semangat menyanyikannya lagu sebagai bentuk peringatan pengakuan kedaulatan NKRI dari Belanda di Den Haag. Peringatan ini menandakan 65 tahun Merah Putih berkibar untuk pertama kali di langit Maluku, 27 Desember 1949. Kala itu, penaikan bendera, hanya ada di tiga lokasi, Hitumessing (Maluku), Yogjakarta dan Belanda.

Tanggal 27 Desember 1949 adalah masa yang bersejarah bagi masyarakat Jazirah Leihitu dan Maluku pada umumnya. Perjuangan para pejuang kemerdekaan merasa bangga saat NKRI diakui secara juridis. Meski, untuk mempertahankan kemerdekaan penuh darah.

“Ini warisan para pejuang. Kami diwajibkan untuk menjaga dan terus membumikan di tanah Hitumessing ini,”ujar pejabat Hitumessing, Etwhin Slamat, pekan kemarin.

Setelah kemerdekaan di Proklamirkan pada 17 Agustus 1945, cerita panjang perjuangan belum berakhir, meski nafas kebebasan sudah mulai di hirup. Indonesia masih terus berperang melawan penjajah Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan. Semua wilayah di Indonesia, tak terkecuali Maluku, angkat senjata menumpas sisa penjajah dan antek-anteknya.

Berdasarkan catatan sejarah yang diperoleh dari Legion Veteran Republik Indonesia (LVRI) Provinsi Maluku dan Ranting LVRI Leihitu yang biasanya dibagikan saat upacara, dijelaskan, para pemuda Maluku sudah menentukan sikap untuk tetap mempertahankan kemerdekaan. Dengan tekad dan semangat juang yang tinggi, para pemuda kemudian membentuk Partai Indonesia Merdeka (PIM) sebagai motor penggerak perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Sementara Di Ambon dan sekitarnya juga telah terbentuk satu partai yang kontra revolusi yang bernama Partai Timur Besar (PTB) di bawah pimpinan para pencinta kolonial yang kemudian menggunakan kesempatan membentuk Negara sendiri yang diberi nama Republik Maluku Selatan (RMS) yang di pimpin DR Chris Soumokil.

Pembentukan Negara boneka  tidak disetujui sebagian besar rakyat Maluku. RMS mulai bekerja sama dengan kolonial Belanda dan memanfaatkan tenaga-tenaga seperti Baret Merah, Baret Hijau, dan KNIL yang masih aktif di tarik untuk menjadi tentara Republik Maluku Selatan (RMS).

Para pemuda yang tadinya berjuang di bawah tanah, mulai menampakan diri secara terbuka mempertahankan kemerdekaan. Mengingat KMB nantinya akan menghasilkan pengakuan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia, maka diinstruksikan kepada para pejuang untuk menaikan Bendera Merah Putih sebagai suatu penghormatan terhadap peristiwa tersebut.

Dari catatan yang didapatkan, terjadi perbedaan tentang penaikan bendera Merah Putih. Sumber dari LVRI menyebutkan, rapat untuk penentuan lokasi pengibaran Merah Putih dilaksanakan di Tulehu (Maluku Tengah). Sementara dari riwayat perjuangansejarah Komandan Pemuda Barisan Pemuda Leihitu, Muhamat Slamat, perundingan berlangsung di Waihaong.

“Sebelum penaikan bendera merah putih 27 Desember 1949, bapak dan pasukannya melakukan kongres penentuan lokasi pengibarannya. Dalam pertemuan di Waihaong itu, mereka bersepakat penaikan Bendera di Hitumessing. Alasannya Legion Veteran Leihitu jumlah anggotanya lebih banyak dari daerah lain di Maluku,” ujar Abdurahman Slamat/Pelu, anak Muhamat Slamat sambil menunjukan riwayat perjuangan yang ditulis Osamamri menggunakan mesin tik.

Begitu juga dengan sosok yang menjahit bendera berukuran226 x 143 Cm tersebut. Dari data LVRI dinyatakan,bendera merah putih di jahit tangan oleh pejuang wanita yakni Istri mantan Raja Negeri Hitumessing, Jainab Pelu. Sementara menurut Abdurahman Slamat/Pelu, anak Muhamat Slamat (Komandan Barisan Pemuda Leihitu, di Hitumessing), kakak mantan raja Hitumessing (Abdul Gafar Slamat) yakni Onya Slamat yang menjahit dengan tangan. Kini benderanya masih tersimpan baik dan rapi dalam sebuah “Peti kayu jati” di rumah Raja Hitumessing.

Tetap Berkibar

Sejak dinaikan pertama kalinya di tahun 1949, lambang negara itu tidak dikibarkan secara rutin hingga 1989. Atas prakarsa cucu Muhamat Slamat, Hasan Slamat upacara penaikan bendera kembali dilakukan dan pada saat peresmian tugu perjuangan 1990. Namun tidak berlangsung lama. KonflikMaluku 1999-2004, membuat pengibaran merah putih dihentikan lagi.

Barulah pada 2006, atas dorongan pejuang veteran dan seluruh masyarakat Hitumessing, bendera bersejarah itu kembali dinaikan dengan rutin sampai saat ini. Mantan Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu pernah menjadi inspektur upacara selama dua kali di tahun 2003 dan 2005. Kemudian mantan Pangdam XIV Pattimura Eko Wiratmoko pada tahun 2012, Said Assagaff (saa itu menjabat wabub) pada tahun 2006 dan 2007.

Dengan keterbatasan dana, masyarakat Hitumessing tetap kukuh melaksanakan upacara 27 Desember yang sudah menjadi ritual penting untuk menjaga bangunan nasionalisme dan patriotisme para pejuang kemerdekaan. Apa yang dilakukan oleh pemerintah selama ini dinilai tidak sebanding dengan perjuangan mereka.

“Penaikan bendera Merah Puith bukan sebagai ajang pertunjukan bahwa Hitumessing atau Jazirah adalah negri perjuangan, akan tetapi harus kita pahami maknanya. Sehingga lilin perjuangan yang sudah dibakar oleh pejuang kita, tidak akan pernah padam di Jazirah dan di wilayah Maluku pada umumnya,” tandas Etwhin yang bdi angkat menjadi pejabat negri Hitumessing dua tahun lalu.

Tidak semua mantan pejuang (veteran) dari daerah Jazirah Leihitu mendapatkan buah manis dari pengorbanan mereka merebut dan mempertahankan NKRI. Yang bernasib baik, akan mendapatkan bantuanberupa tunjangan dari pemerintah. Tapi sebagian lainnya, hanya bisa ditengah ketidakpastian.

Kondisi ini yang dialami almarhum Muhamat Slamat (Komandan Barisan Pemuda Leihitu) pada waktu itu, dan anak cucu yang ditinggalkannya. Meski diangkat dan didaftarkan sebagai tentara pejuang di Markas Besar TNI, namun pejuang yang sudah bergelut dalam rancangan Indonesia merdeka sejak 1937 itu tidak mendapatkan bantuan dalam bentuk apapun.

“Kita ini kan anak pejuang, kok orang lain yang tidak berjuang malah di perhatikan. Kita ini tokoh perjuangan. Selama ini tidak ada perhatian dari pemerintah untuk kami. Yang kami bawah sampai saat ini hanya selembar riwayat perjuangan bapak,” tutur Abdurahman Slamat anak dari Muhammat Slamat dengan air mata membasahi pipinya yang sudah menua itu.

Kakek kelahiran 1942 ini menuturkan, ayahnya (M Slamat) sudah berkecimpun dalam rangkaian perjuangan sejak 1937 jauh sebelum kemerdekaan Indonesia 1945 hingga diakui kedaulatannya 1949 di Den Haag, Belandadalam Konferensi Meja Bundar (KMB).

Penderitaan ayahnya bersama pejuang lainya, ikut dirasakan Abdurahman. Saat gejolak peperangan sudah tidak bisa dibendung di Hitumessing, Dia bersama ibunya atas perintah bapaknya, alhamrhum M Slamat, mengungsi ke Desa Hila untuk mengamankan diri. Saat itu rumahnya yang ada di Hitu Lama sudah dibakar oleh penjajah.

Suatu hari, bersamanya ibu, Abdurahman yang kala itu baru berumur 6 tahun diperintahkan oleh Kopral KNIL (het Koninklijke Nederlands Indische Leger) atau Tentara Kerajaan Hindia-Belanda, untuk menjemurkan badandi bawah tiang bendera.

“Kalau saya bicara mengenai sejarah, rasanya sangat pedih dan sedih penderitaan kami waktu itu.Coba bayangkan, gejolak bangsa ini mungkin mencapai puncaknya di tahun 1949 sampai 1950, semtara saya1942. Jadi penderitaan orang tua, saya juga turut rasakan,”kenangnya.

Semangat Abdurahman dan seluruh masyarakat menjaga dan merawat Merah Putih agar tetap berkibar di langit Hitumessing tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Rasa nasionalisme mereka sudah kokoh,seperti Tugu perjuangan berbentuk angka 7 dengan patung manusia diatasnya yang gigih membawa bendera Merah Putih di halaman rumah Raja Hitumessing itu.

“Pada tahun 1967, dari pusat datang ke bapak untuk memberikan tunjangan pensiun, tapi beliau menolak dan mengatakan perjuangan kami bukan untuk imbalan,” papar Abdurahman yang dengan rapih menyimpan lembaran-lembaran sejarah perjuangan milik ayahnya itu.(**)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun