Mohon tunggu...
Tajun Nashr
Tajun Nashr Mohon Tunggu... -

Pengajar di Pondok Pesantren Maskumambang, berminat di bidang Pendidikan, sejarah dan Hukum Islam. Selain itu tercatat sebagai mahaiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya dan Aktivis KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Daerah Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saatnya yang Lemah Melawan

7 April 2015   02:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:27 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekuasaan sering menjadikan beberapa orang lupa daratan dan menganggapnya sesuatu yang kekal abadi dibawa sampai mati -ma'adzallah-. Sehingga orang yang memiliki 'mental sakit' seperti ini pun merasa bahwa orang lain yang tidak lebih berkuasa darinya bisa dia kendalikan semaunya. Bahkan terkadang dengan penuh ketidakadilan dia memperlakukan orang-orang yang lemah lantaran terlena dengan kuasa yang dia miliki.

Tetapi fakta sejarah masa lalu membuktikan secara jujur dan adil bahwasanya tidak selamanya orang yang berkuasa itu bisa terus berkuasa, dan tidak selamanya orang-orang yang lemah itu tidak mampu berbuat apa-apa. Sebab yang menentukan siapa yang berkuasa dan siapa yang lemah tak berdaya adalah Dzat yang menciptakan kehidupan ini, sehingga sangat mudah sekali bagi-Nya untuk merubah yang lemah menjadi para penguasa, atau minimal membuat susah orang-orang yang dulu mendhaliminya.

Kisah kehidupan Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- dan orang-orang yang berjuang bersamanya rasanya tidak pernah habis untuk diambil sari manisnya, bak lebah yang menghisap madu bunga-bunga.

Tersebutlah perjanjian Hudaibiyah, sebuah perjanjian yang pada awalnya banyak mendapatkan sangkalan dari ummat islam sendiri, mengingat poin-poin perjanjian yang secara dhahir terlihat berat sebelah. Namun waktu membuktikan bahwa ternyata perjanjian itu adalah salah satu tangga menuju kemenangan yang nyata.

Salah satu poin yang ada di perjanjian tersebut adalah bahwa jika orang-orang muslim yang datang dari Quraisy dan ingin bergabung bersama Rasulullah -shallallahu 'alahi wa sallam- di Madinah maka mereka wajib di kembalikan ke Makkah jika tidak mendapatkan izin dari walinya. Tetapi sebaliknya, jika ada orang muslim yang datang dari Madinah ke Makkah maka mereka tidak wajib di kembalikan.

Surat perjanjian pun di sepakati dengan ditandatangani beberapa saksi dari masing-masing pihak. Dari Quraisy yang diwakili Suhail bin 'Amr dan Mukraz bin Hafsh. Sementara dari Muslimin diwakili beberapa orang termasuk Abdullah bin Suhail, anak dari Suhail bin 'Amr yang telah masuk islam menyelisihi ayahnya.

Pasca perjanjian itu maka bisa dikatakan bahwa kabilah Arab terbagi menjadi 2 golongan antara kabilah yang mengikat perjanjian dengan kafir Quraisy dan kabilah yang mengikat diri dengan kaum muslimin.

Beberapa saat pasca perjanjian tersebut ternyata dari kejauhan datanglah Abu Jandal, saudara dari Abdullah bin Suhail. Dia melarikan diri dari tahanan ayahnya di Makkah dan ingin bergabung bersama kaum muslimin.

Namun sungguh malang nasibnya, karena momentum kedatangannya kurang tepat. Tentu saja ayahnya, Suhail bin 'Amr tidak mengizinkan anaknya bergabung dengan kaum muslimin. Abu Jandal terus berteriak meminta pertolongan. Tetapi apa daya, kontrak perjanjian telah diteken. Dan mengingkari perjanjian bukan sifat seorang muslim meskipun itu dilakukan dengan orang kafir sekalipun.

Saat itulah Rasulullah berpesan kepada Abu Jandal, "Bersabarlah wahai Abu Jandal, semoga Allah memberikan jalan keluar dan pertolongan untukmu."

Selain Abu Jandal ternyata ada yang mencoba melakukan usaha serupa pasca perjanjian itu. Dialah Abu Bashir yang lari dari Makkah ke Madinah untuk meminta pertolongan dan agar diterima bergabung bersama Kaum Muhajirin dan Anshar. Tetapi sungguh malang nasibnya, jawaban yang diterimanya tidak berbeda dengan jawaban yang diterima Abu Jandal.

Dan pada waktu itu juga keluarganya datang dari Makkah untuk 'menjemputnya' kembali. Hanya saja kegundahan Abu Bashir waktu itu bisa sedikit terobati setelah mendengar sabda Rasulullah -shallallahu 'alahi wa sallam- untuknya :

"Wahai Abu Bashir pergilah, sesungguhnya Allah akan memberikan jalan keluar dan pertolongan untuk engkau orang-orang yang lemah bersamamu."

Tekad Abu Basyir yang sudah lama ingin keluar dari kekangan kaum Quraisy sungguh kuat, bahkan meskipun dia terhalangi bergabung dengan kaum muslimin di Madinah, tetapi dia pun tak mau kembali ke Makkah dalam tekanan. Maka, pada waktu itu di tengah perjalanan kembali ke Makkah dia pun memutuskan untuk melarikan diri dan berhasil. Lalu dia pun menuju ke Madinah kembali untuk menemui Rasulullah -shallallahu 'alahi wa sallam-.

Sesampainya di Madinah, Abu Bashir pun berkata kepada Rasulullah -shallallahu 'alahi wa sallam-, "Wahai Rasulullah, Sungguh do'amu telah dikabulkan oleh Allah. Engkau telah mengembalikanku kepada mereka, kemudian Allah telah menyelamatkanku dari mereka."

Kemudian Nabi -shallallahu 'alahi wa sallam- pun bersabda, "Wahai Abu Bashir engkau adalah orang yang tangguh dan ahli perang, seandainya ada orang-orang yang menolong dan menyokongmu."

Mendengar hal itu, Abu Bashir memahami bahwa jika kaumnya kembali ke Madinah, beliau akan tetap mengembalikan Abu Bashir kepada mereka. Maka akhirnya dia pun memutuskan untuk keluar dari Madinah guna menghindari kaum Quraisy, namun tidak menjadi beban bagi kaum muslimin yang sudah mengikat perjanjian dengan mereka. Dia pun menuju ke padang pasir yang berada di antara Makkah dan Madinah, ke sebuah tempat bernama Saiful Bahr.

Di tempat yang lain, tepatnya Makkah, sebenarnya banyak orang yang bernasib seperti Abu Jandal dan Abu Bashir. Mereka adalah orang-orang yang ingin sekali ikut berhijrah bersama Rasulullah -shallallahu 'alahi wa sallam-, namun mereka tidak mampu melakukannya, karena keluarga mereka menahan mereka, bahkan ada yang diikat dengan tali berantai.

Di antara mereka adalah Salamah bin Hisyam (saudara kandung Abu Jahal), kemudian 'Ayyash bin Abi Rabi'ah (saudara se-ayah Abu Jahal) dan Al-Walid Ibnul Walid (saudara se-ayah Khalid Ibnul Walid yang saat itu belum masuk islam).

Semenjak peristiwa hijrah, mereka harus rela mendekap di tahanan rumah kaumnya sendiri. Sebab kaumnya tidak ingin mereka lari dan bergabung bersama kaum muslimin.

Namun, setelah ditekennya perjanjian tersebut maka kaum mereka pun tidak khawatir lagi terhadap para 'tahanan-nya', karena mereka tahu bahwa Nabi Muhammad -shallallahu 'alahi wa sallam- tidak akan mengingkari janji yang telah dibuat. Sehingga mereka pun melepaskan 'tahanan-tahanan rumah' tersebut.

Hanya saja, rupanya mereka salah sangka dan duga. Para sahabat mustadh'afin (golongan orang lemah) tadi, ternyata merancang strategi yang lain. Setelah tahu bahwa mereka tidak mungkin bergabung dengan ummat islam di Madinah, namun di sisi lain mereka juga merasa berat bertahan di Makkah bersama orang-orang musyrik maka mereka pun merancang strategi lain.

Orang-orang senasib dan sepenanggungan, seperti Abu Jandal, Salamah bin Hisyam, Al-Walid Ibnul Walid dan yang lain pun memutuskan untuk bergabung bersama Abu Bashir di padang pasir yang jauh di luar kota. Jumlah mereka pun akhirnya bertambah banyak sehingga membentuk satu kelompok kecil yang cukup kuat.

Dengan penuh kepercayaan diri mereka berkata, "Ya, sekaranglah giliran kita beraksi, para kaum mustadh'afin."

Beberapa waktu setelah kepergian 'orang-orang lemah' itu dari Makkah, orang-orang Quraisy mendengar berita tidak sedap. Yaitu, para kafilah mereka yang pergi berdagang dari Makkah menuju ke wilayah-wilayah lain dan melewati jalan menuju Madinah ternyata dicegat oleh Abu Bashir dan kawan-kawan.

Tidak hanya itu, mereka juga merampas harta mereka, sebagai konsekuensi dari apa yang mereka derita di Makkah beberapa waktu lalu. Sehingga hal ini pun membuat para pembesar Quraisy memutar otak dan kebingungan. Sehingga mereka pun menggelar musyawarah untuk menyikapi hal ini.

Dalam forum di Darun Nadwah itu ternyata mereka saling menyalahkan, sebab di antara orang-orang yang tergabung di kelompok Abu Bashir tadi ternyata merupakan sanak kerabat dari para pembesar mereka. Sebut saja Abu Jandal yang merupakan anak kandung Suhail bin 'Amr, Salamah bin Hisyam dan 'Ayyash bin Abi Rabi'ah yang merupakan saudara Abu Jahal, dan Al-Walid Ibnul Walid yang merupakan saudara Kalid Ibnul Walid.

Namun, mereka kemudian segera mengesampingkan hal itu dan memikirkan kemaslahatan mereka yang sedang terancam. Ya, saat itu masa depan keamanan dan perekonomian mereka sedang terancam oleh kalangan kaum lemah yang dahulu mereka perlakukan dengan semena-mena. Dan sekarang seakan-akan mereka ingin 'balas dendam' terhadap perlakuan yang mereka terima selama ini.

Para pembesar itu bingung mengambil langkah yang tepat untuk menghadapi Abu Bashir dan kawan-kawan. Di satu sisi, keberadaan mereka sangat menganggu dan mengancam eksistensi ekonomi dan keamanan. Namun, di sisi lain mereka tidak bisa menuntut apa-apa kepada kaum muslimin yang berada di Madinah, sebab kelompok tersebut tidak terikat perjanjian apa-apa dengan pihak manapun, baik Quraisy maupun ummat islam.

Jika mereka mengambil langkah untuk memerangi mereka pun, mereka akan mengalami kesulitan. Sebab keberadaan kelompok ini sangat sulit untuk diprediksi. Mereka bisa muncul dari mana saja di gurun pasir yang membentang luas antara Makkah dan Madinah.

Menghadapi jalan buntu ini, akhirnya mereka pun memutuskan untuk membatalkan salah satu poin perjanjian yang mereka teken pada saat perjanjian Hudaibiyyah, yaitu 'Bahwa setiap orang Quraisy yang datang kepada Muhammad tanpa izin dari walinya dia harus dikembalikan kepada mereka. Dan setiap pengikut Muhammad yang datang kepada kaum Quraisy tidak akan dikembalikan oleh mereka."

Dengan konsekuensi mereka meminta kepada Nabi -shallallahu 'alahi wa sallam- untuk mengutus orang agar menemui Abu Bashir dan menghentikan apa yang mereka lakukan, serta menjamin keselamatan orang Makkah yang akan berdagang melewati tempat mereka.

Tentu saja kabar gembira ini pun disambut dengan penuh suka cita oleh Abu Bashir dan kawan-kawan, serta oleh umumnya kaum muslimin. Akhirnya belenggu yang selama ini membelenggu mereka telah lepas lewat kejadian ini. Selain itu melalui kejadian ini pun mereka telah mempermalukan wibawa para pembesar Quraisy yang dahulu sangat congkak dan berlaku semena-mena terhadap mereka.

Kawanan yang berjumlah sekitar 60 sampai 70 orang itu pun akhirnya datang menemui Rasulullah -shallallahu 'alahi wa sallam- di Madinah, dan Rasulullah -shallallahu 'alahi wa sallam- pun memberikan tempat tinggal kepada mereka di sana. Hanya saja, kedatangan mereka itu tanpa disertai pemimpin kharismatik mereka, Abu Bashir.

Ketika surat Nabi sampai kepadanya, dia sedang berada di ranjangnya untuk menghadapi ajal yang akan menjemputnya, Dia pun menghirup nafas dari lembah terpencil itu, dan menghembuskannya di hati masyarakat nabawi di Madinah. Semoga Allah merahmatinya dan merahmati semua ummat islam yang gugur dalam membela agamanya. Amin.

== SELESAI ==

Jatipadang, 7 April 2015

Tajun Nashr Ms.

Referensi :

========

As-Sîrah An-Nabawiyyah. Ibnu Hisyâm

As-Sirah An-Nabawiyyah - Syaikh Ali As-Shallabiy

Muhammad Rasulullah. Shâdiq ‘Urjûn

Shahih Al-Bukhari - Kitâb As-Syurûth - Imam Al-Bukhari

Shuwar wa ‘Ibar min Al-Jihâd An-Nabawiy fî Al-Madînah

dll.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun