Orang-orang senasib dan sepenanggungan, seperti Abu Jandal, Salamah bin Hisyam, Al-Walid Ibnul Walid dan yang lain pun memutuskan untuk bergabung bersama Abu Bashir di padang pasir yang jauh di luar kota. Jumlah mereka pun akhirnya bertambah banyak sehingga membentuk satu kelompok kecil yang cukup kuat.
Dengan penuh kepercayaan diri mereka berkata, "Ya, sekaranglah giliran kita beraksi, para kaum mustadh'afin."
Beberapa waktu setelah kepergian 'orang-orang lemah' itu dari Makkah, orang-orang Quraisy mendengar berita tidak sedap. Yaitu, para kafilah mereka yang pergi berdagang dari Makkah menuju ke wilayah-wilayah lain dan melewati jalan menuju Madinah ternyata dicegat oleh Abu Bashir dan kawan-kawan.
Tidak hanya itu, mereka juga merampas harta mereka, sebagai konsekuensi dari apa yang mereka derita di Makkah beberapa waktu lalu. Sehingga hal ini pun membuat para pembesar Quraisy memutar otak dan kebingungan. Sehingga mereka pun menggelar musyawarah untuk menyikapi hal ini.
Dalam forum di Darun Nadwah itu ternyata mereka saling menyalahkan, sebab di antara orang-orang yang tergabung di kelompok Abu Bashir tadi ternyata merupakan sanak kerabat dari para pembesar mereka. Sebut saja Abu Jandal yang merupakan anak kandung Suhail bin 'Amr, Salamah bin Hisyam dan 'Ayyash bin Abi Rabi'ah yang merupakan saudara Abu Jahal, dan Al-Walid Ibnul Walid yang merupakan saudara Kalid Ibnul Walid.
Namun, mereka kemudian segera mengesampingkan hal itu dan memikirkan kemaslahatan mereka yang sedang terancam. Ya, saat itu masa depan keamanan dan perekonomian mereka sedang terancam oleh kalangan kaum lemah yang dahulu mereka perlakukan dengan semena-mena. Dan sekarang seakan-akan mereka ingin 'balas dendam' terhadap perlakuan yang mereka terima selama ini.
Para pembesar itu bingung mengambil langkah yang tepat untuk menghadapi Abu Bashir dan kawan-kawan. Di satu sisi, keberadaan mereka sangat menganggu dan mengancam eksistensi ekonomi dan keamanan. Namun, di sisi lain mereka tidak bisa menuntut apa-apa kepada kaum muslimin yang berada di Madinah, sebab kelompok tersebut tidak terikat perjanjian apa-apa dengan pihak manapun, baik Quraisy maupun ummat islam.
Jika mereka mengambil langkah untuk memerangi mereka pun, mereka akan mengalami kesulitan. Sebab keberadaan kelompok ini sangat sulit untuk diprediksi. Mereka bisa muncul dari mana saja di gurun pasir yang membentang luas antara Makkah dan Madinah.
Menghadapi jalan buntu ini, akhirnya mereka pun memutuskan untuk membatalkan salah satu poin perjanjian yang mereka teken pada saat perjanjian Hudaibiyyah, yaitu 'Bahwa setiap orang Quraisy yang datang kepada Muhammad tanpa izin dari walinya dia harus dikembalikan kepada mereka. Dan setiap pengikut Muhammad yang datang kepada kaum Quraisy tidak akan dikembalikan oleh mereka."
Dengan konsekuensi mereka meminta kepada Nabi -shallallahu 'alahi wa sallam- untuk mengutus orang agar menemui Abu Bashir dan menghentikan apa yang mereka lakukan, serta menjamin keselamatan orang Makkah yang akan berdagang melewati tempat mereka.
Tentu saja kabar gembira ini pun disambut dengan penuh suka cita oleh Abu Bashir dan kawan-kawan, serta oleh umumnya kaum muslimin. Akhirnya belenggu yang selama ini membelenggu mereka telah lepas lewat kejadian ini. Selain itu melalui kejadian ini pun mereka telah mempermalukan wibawa para pembesar Quraisy yang dahulu sangat congkak dan berlaku semena-mena terhadap mereka.