Mohon tunggu...
Tajun Nashr
Tajun Nashr Mohon Tunggu... -

Pengajar di Pondok Pesantren Maskumambang, berminat di bidang Pendidikan, sejarah dan Hukum Islam. Selain itu tercatat sebagai mahaiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya dan Aktivis KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Daerah Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Koalisi Ala Rasulullah

28 Desember 2014   15:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:19 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menonton hiruk pikuk politik bagaikan menonton sinetron berseri, jalan ceritanya sulit untuk ditebak. Terkadang juga membuat para penonton bingung, yang dulu kawan jadi lawan, yang tadinya mesra eh kini berpisah karena yang satu tidak setia. Namun sebaliknya, yang dahulu saling serang kini jadi teman seperjuangan, untuk memperjuangkan kepentingan bersama.

Daripada pusing memikirkannya, coba kita rehat sejenak dan marilah kita kembali ke 14 abad yang lalu, lebih tepatnya beberapa tahun sebelum perjalanan hijrah. Untuk melihat suasana perpolitikan waktu itu, pada saat kondisi ummat islam lemah dari sisi kekuatan militer dan politik. Apa inisiatif yang diambil oleh Rasulullah?

Usaha Negosiasi dan koalisi dengan para kabilah

Pada saat itu kondisi ummat islam di Makkah berada dalam tekanan kafir Quraisy, khususnya pasca wafatnya ummul mu’minin, Khadîjah bintu Khuwailid dan paman Nabi -shallahu 'alaihi wa sallam-, Abu Thâlib. Maka siksaan yang diberikan oleh mereka pun semakin menjadi-jadi.

Singkat cerita, sekembalinya Rasulullah-shallahu 'alaihi wa sallam- dari Thâ’if dan mendapatkan penolakan bahkan lemparan batu dari penduduknya, maka beliau pun memikirkan strategi lain guna menyelamatkan dakwah dan agama ini. Akhirnya pada momen tahunan, di musim haji, beliau pun memutuskan untuk meminta bantuan kepada kabilah-kabilah arab yang datang ke Makkah.

Beliau berusaha memperkenalkan dan menawarkan kepada mereka dakwah ini, dengan harapan mereka menerimanya, kemudian beliaumeminta janji setia mereka untuk menolong serta memberikan perlindungan kepada beliau dalam dakwahnya.

Di antara kabilah-kabilah tersebut adalah bani ‘Âmir bin Sha’sha’ah. Alasan Rasulullah -shallahu 'alaihi wa sallam-  memilih kabilah ini adalah karena mereka merupakan kabilah yang disegani dan dikenal sebagaikabilah yang memiliki armada perang yang besar.

Bahkan mereka adalah salah satu di antara 5 kabilah yang tidak pernah kalah dalam peperangan, tidak menginduk ke kekerajaan tertentu serta tidak pernah membayar pajak seperti Quraisy dan Khuzâ’ah.

Alasan lain pemilihan bani ‘Âmir adalah karena adanya permusuhan antara mereka dan bani Tsaqif yang telah mengusir Rasulullah-shallahu 'alaihi wa sallam-  dari Tha’if. Sehingga diharapkan dengan bergabungnya bani ‘Âmir akan bisa melindungi beliau dan ummatnya dari bani Tsaqif yang menyerang dari dalam.

Proses negosiasi pun dilakukan, dengan ditemani oleh Abu Bakar maka Rasulullah-shallahu 'alaihi wa sallam-pun memberikan penawaran kepada para pembesar mereka tentang dakwah yang beliau emban.

Salah satu pembesar bani Amir,Baiharah bin Firâs melihat peluang bagus dalam kerjasama ini, maka ia punberkata kepada kaumnya, “Demi Allah seandainya kita bersama dengan pemuda ini maka kita akan bisa menguasai jazirah arab.”

Lalu dia berkata kepada Rasulullah -shallahu 'alaihi wa sallam-“Jika kamiberbai’at kepadamu dan bersedia menolongmu, kemudian Allah memberikan kemenangan untukmu, apa yang akan kami dapatkan? Apakah kami akan menjadi pemimpin setelah engkau?.”

Ketika melihat motivasi lain dari mereka maka Rasulullah -shallahu 'alaihi wa sallam-  bersabda : “Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa kepada kalian, karena Allah memberikan kepemimpinan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.”

Mendengar hal tersebut maka Baiharah pun marah dan mengatakan“Apakah jika nanti kami mempertaruhkan nyawa kami untukmu guna menghadapi orang Arab, sehingga Allah memenangkanmu atas mereka, namun kemudian kepemimpinan akan dipegang orang selain kami?! Jika demikian, maka kami sama sekali tidak tertarik pada tawaranmu ini!” Maka mereka pun menolak negosiasi tersebut.

Jauhnya Pandangan Rasulullah

Peristiwa di atas menunjukkan kepada kita, bahwa Rasulullah -shallahu 'alaihi wa sallam- adalah seorang ahli politik dan strategi yang handal. Ketika dakwah beliau menemui hambatan besar dan penghalang yang sulit ditembus, maka beliau berusaha mencari jalan lain.

Jalan yang beliau tempuh pun bukan jalan sembarangan. Beliau berusaha menghadapi kekuatan dengan kekuatan. Ketika kaum Quraisy bertindak sewenang-wenang terhadap kaum muslimin yang waktu itu masih lemah dari segi kekuatan militer maka beliau pun berusaha membangun kekuatan yang bisa mengimbangi kekuatan Quraisy.

Namun  yang patut kita perhatikan di sini adalah tentang betapa matangnya pertimbangan dan betapa jauhnya pandangan Nabi -shallahu 'alaihi wa sallam- untuk masa depan dakwah ini. Kita bisa melihat ketika ada indikasi dari bani ‘Âmir bahwa ada motivasi mendapatkan kekuasaan di balik pertolongan yang mereka berikan, maka beliau pun menjelaskan dengan gamblang bahwa beliau tidak bisa menjanjikan hal ini kepada mereka.

Itu beliau lakukan karenahakikat dari dakwah islamiyah ini adalah dakwah kepada Allah. Dan diantara syarat pokok bagi orang yang percayadan mau menolong agama ini adalah harus ikhlash karena Allah dan mencari ridlo-Nya.

Keikhlasan, syarat mutlak dalam berjuang

Inilah sebenarnya poin terpenting dari peristiwa ini. Ya, Keikhlasan dan Pengharapan ridlo Allah  adalah salah satu syarat mutlak diterimanya amalan yang kita lakukan. Hal ini karena tujuan yang diharapkan oleh seseorang berpengaruh terhadap usaha-usaha yang dia lakukan untuk menggapainya.

Memang tidak salah pernyataan yang mengatakan bahwa dengan memiliki kekuatan dan kekuasaan, maka perjalanan dakwah ini akan menjadi semakin mudah, dan cita-cita untuk menegakkan kalimat Allah di seluruh muka bumi akan semakin mungkin untuk diwujudkan.

Namun yang patut kita perhatikan adalah setiap orang yang sudah berniat berjuang di jalan Allah  tidak boleh memberikan syarat bahwa dia harus mendapatkan jabatan atau keuntungan duniawi tertentu. Karena dakwah ini adalah dakwah milik Allah, maka Allah lah yang akan menentukan siapapun yang dikehendaki-Nya untuk ditempatkan di posisi mana pun.

Ketika sudah memasuki ajang dakwah, maka seorang da’i harus memulai niatnya untuk mengharapkan ridlo Allah kemudian beramalsemaksimal mungkin. Karena ketika jabatan menjadi tujuan utama yang menyibukkannya, maka ini merupakan pertanda bahaya yang mengisyaratkan bahwa ada polusi yang mengotori kemurnian niatnya. Untuk itulah maka Yahya bin Mu’âdz Ar-Râzi berkata :“Tidak akan beruntung orang yang tercium darinya bau kekuasaan.”

Nabi -shallahu 'alaihi wa sallam-juga seakan mengajarkan kepada para politisi sekarang tentang kaidah dalam bekerja sama dengan kelompok lain (koalisi)  dalam rangka memperjuangkan syari’at Allah. Bahwa definisi politik itu tidak hanya terbatas pada kesepakatan transaksional ‘kami dukung anda kami dapat apa’. Namun lebih dari itu, definisi dari politik atau dalam bahasa Arabnyaas-siyasah berarti seni mengelola negara dan masyarat. Sebagai pengelola (manajer) tentunya harus tunduk pada pemilik barang yang dikelola agar menghasilkan keuntungan bersama, bukan malah memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi.

Inilah salah satu prinsip politik yang diajarkan islam, berawal dari langkah politik yang di landasi dengan keikhlasan inilah akhirnya Allah memberikan kepada Rasulullah pengganti dan penolong yang lebih baik dari bani ‘Âmir. Ya, merekalah kaum Anshar yang telah berjanji setia kepada Rasulullah dan mengorbankan semua yang mereka miliki di jalan Allah.

Dan berawal dari Madinah inilah akhirnya cahaya islam bisa memancar ke seluruh dunia.

“Sungguh pada diri Rasulullahitu terdapat suri tauladan yang baik bagi kalian, yaitu bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhir, serta orang yang banyak mengingat Allah.” (Al-Aĥzâb : 21)

Referensi :

1. As-Sîrah An-Nabawiyyah. Ibnu Hisyâm. Darut Taqwa – Madinah Al-Munawwarah : 2004.As-Sîrah An-Nabawiyyah, ‘ardlu waqa’I’ wa tahlîl ahdâts. Dr. Ali Muhammad Ash-Shallâbiy. Dâr Ibnu Hazm. Cetakan Pertama. Kairo : 2008

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun