Sebetulnya sudah jauh-jauh hari keinginan untuk memancing itu ada, baru terlaksana hari Sabtu kemarin. Awalnya, pertama kali diajak mancing sama Mang Acep dan rupanya seru, jadi ketagihan. Mang Acep adalah penjaga sekolah di sekolah tempat aku mengajar. Mang Acep memiliki pribadi yang ramah, supel, amanah dan memiliki integritas. Belakangan, mang Acep dibujuk oleh warga agar mau menjadi ketua RT.
Pada hari Kamis, ada pesan masuk dari Pak Ujang melalui WhatsApp (selanjutnya disingkat: WA):
"Pren, mancing th ciosna dinten Sabtu. Abdi mantosan heula Neng laporan BOS." (Bro, mancing jadinya hari Sabtu, mau bantu istri dulu bikin laporan BOS)
"Muhun, kin kabaran deui pren." (Iya, nanti kabari lagi ya bro.)
Entah kapan bermula, pak Ujang selalu memanggil rekan-rekan kerjanya dengan sebutan pren (b.Inggrisnya, Frends: teman; kawan; sahabat). Karena kata resapan bahasa Sunda untuk lafal huruf "f" itu suka berubah menjadi "p", orang Sunda konon kesulitan melafalkan huruf "f". Hatta ketika saya di Balikpapan dahulu, orang-orang sana--yang mayoritas pendatang dari berbagai suku--langsung bisa menebak kalau saya suku Sunda, karena dari logat bahasa langsung ketahuan. Saya kira sapaan pren tersebut agar diantara kita (rekan kerja) tidak ada rasa canggung, tidak ada senioritas atau pun junioritas.Â
Saya sudah menganggap pak Ujang sebagai kakak sendiri. Dengan sabar ia mengajariku (menjelaskan sesuatu) mengenai dunia pendidikan. Karena almamaterku tak linier dengan pendidikan, di awal terjun ke dunia pendidikan memang aku agak keteteran disamping masih adaptasi. Itu adalah Pak Ujang, rekan sekaligus 'mentorku' di sekolah. Suami teladan, bisa masak, ngurus anak, pokoknya membantu istri di rumah. Memang sejatinya dalam rumah tangga itu harus saling kerjasama antara suami dan istri. Aku belajar banyak dari Pak Ujang. Setiap kita dapat berguru kepada siapa pun, paling tidak mengambil butir hikmah dari setiap peristiwa, siapapun itu benda mati atau pun hidup. Karena Tuhan sudah membekali kita akal, untuk memilah baik-buruk. Al-Quran selalu menyindir kita dengan ayat, "Afala ta'qilun?."
Lanjut lagi ke cerita. Pada Sabtu subuh, Pak Ujang mengirim pesan: "pren, diantosnya di bumi. Tabu genepan urang berangkat. Mang Acep ngantosan di tambal ban." (bro, ditunggu ya di rumah. Jam enaman kita berangkat. Mang Acep menunggu di tambal ban)
"Muhun, bade siap-siap heula," jawabku (Iya, mau siap-siap dulu)
Saya mengemas segala barang yang diperlukan. Termos yang berisi air panas, air minum, keresek, kopi sachet, gelas cup plastik dan nasi kuning yang beli kemudian karena sebelumnya umi belum masak.
Tujuan mancing kali ini ke daerah Saguling, lokasi berada di daerah Desa Girimukti, Kp. Jalupang. Aku, Pak Ujang, dan keponakan Mang Acep mengikuti komando Mang Acep sebagai orang yang tahu jalan. Perjalanan ditempuh dengan naik sepeda motor. Dimulai dari daerah Purabaya menulusuri jalan ke daerah Gunung Bentang, lalu dari Gunung Bentang--yang kini masuk wilayah kecamatan Saguling--memotong jalur lagi ke daerah Kota Baru Parahyangan.Â
Sebetulnya ada cukup banyak kampung di area Kota Baru Parahyangan hanya saja aku tidak begitu hafal nama-namanya. Sepanjang perjalanan dari Kota Baru Parahyangan tersebut kami kembali lagi masuk ke area perkampungan yang aku tak begitu hafal. Pokoknya area dekat lokasi pemancingan adalah Desa Girimukti Kecamatan Saguling Kp.Jalupang.Â