Jika saja waktu itu Aba Syafi tidak menegakkan janjinya untuk sekolah setinggi-tingginya, tidak memegang teguh komitmen pada dirinya untuk belajar sekeras-kerasnya, tidak mematri tekatnya sekuat pondasi menara pizza, untuk memuliakan harkat dan martabat ibunya.
Mungkin saat ini Aba Syafi sedang menyeka keringat yang keluar dari kulit kusamnya, karena terkena paparan terik matahari di pertigaan Tangkel, menunggu datangnya penumpang yang hanya sekedar ingin minta di antarkan ke Pasar Patemmon, yang ongkosnya tidak lebih dari empat ribu. Dengan mobil L300 yang dempul catnya mulai mengelupas, body mobilnya yang sudah banyak keropos dan berlubang, yang apabila ingin menutup pintunya harus menggunakan tenaga super agar bisa benar-benar tertutup dengan rapat.
Atau mungkin saja beliau sedang kehujanan. Sengaja tidak berteduh, meskipun kedinginan. Bahkan ketika petir menyambarpun tidak beliau hiraukan, demi mengejar target setoran dari hasil membajak sawah milik para juragan. Sayang sekali traktornya bukan milik beliau sendiri, beliau hanya tukang mengoperasikan traktor sawah yang upahnya hanya mendapatkan 40% dari total pembayaran, 60%nya mutlak punya juragan traktor. Dimana ketika hujan, juragannya sedang makan gorengan ditemani secangkir kopi dan rokok, atau paling tidak sedang ngorok dikamar berselimut dan bergulingkan istrinya.
Atau beliau saat ini sedang merantau di negeri Jiran. Sedang membalut luka di pangkal kuku ibu jarinya karena terkena hantaman palu yang keras sekali, hingga membuat kukunya mengelupas, mengalirkan darah segar yang tak henti. Karena kurang berhati-hati dalam memaku papan yang akan di jadikan dasar pengecoran loteng, di sebuah rumah milik seorang Datuk kaya raya di pinggir Kota Selangor di Malaysia.
Kemungkinan-kemungkinan buruk itu bisa saja terjadi jika beliau mengabaikan, dan acuh terhadap kebahagiaan ibu tercintanya, Ibu Mardiyah.
Titik awal perjalanan hidup beliau yang sangat luar biasa, hingga bisa mengantarkan beliau menjadi seorang tokoh besar di Madura, khususnya di Bangkalan seperti sekarang ini. Berawal ketika beliau merasa kebingungan karena setiap hari sering beliau temui orang-orang yang silih berganti datang kerumah, mencari ibunya.
Yang membuat beliau semakin heran dan kebingungan adalah ketika orang-orang itu datang seringkali memarahi ibu beliau, bahkan tidak jarang umpatan dan makian keluar dari para tamu-tamu tak di undang itu. Maka tidak jarang untuk menghindari tamu-tamu itu ibu beliau seringkali memilih bersembunyi dibawah tempat tidurnya.
Aba Syafi kecil tidak tahu apa yang harus dilakukan, tapi yang jelas beliau tidak ridho dan tidak terima ibundanya diperlukan seperti itu. Sesekali hati kecilnya bertanya-tanya "Apa salah ibu, sehingga mereka tega marah-marah dan memaki-makinya?" Pertanyaan-pertanyaan itulah yang selalu terbesit di hatinya, yang pada akhirnya, jawaban dari pertanyaan itulah yang nantinya akan merubah alur cerita kehidupan Aba Syafi, hingga beliau menjadi seperti saat ini.
Seiring berjalannya waktu, dan bertambahnya usia beliau, akhirnya beliau bisa mengerti dan faham, maksud kedatangan tamu-tamu itu.
Yah, ternyata mereka adalah kumpulan rentenir yang sengaja datang tak mengenal waktu hanya untuk menagih hutang kepada ibunya.
Di usia empat tahun, Aba Syafi harus kehilangan sosok seorang ayah yang harus lebih dulu menghadap sang Maha Kuasa. Jadi, tulang punggung keluarga waktu itu otomatis berpindah tangan menjadi hak sepenuhnya milik ibu Aba Syafi.
Ibu Mardiyah yang berstatus sebagai singel parent, harus banting tulang demi mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Penghasilan dari berjualan kasur kapuk, salah satu usaha yang digelutinya tidaklah seberapa. Bahkan seringkali, beliau harus kembali ke rumah tanpa satupun kasur buatannya laku terjual.
Situasi ekonomi yang semakin tidak setabil inilah yang membuat beliau terpaksa harus berhutang meskipun itu harus melalui seorang rentenir.
Kesedihan Aba Syafi kecil, ternyata tidak cukup dengan melihat ibunya yang sering dimarahi orang, karena terlambat membayar hutang. Ada sebuah peristiwa kelam yang menimpa ibunya, yang sampai saat ini masih beliau ingat secara jelas dan detail.
Malam itu. Ibu Mardiyah nampak sangat bahagia, dari raut wajahnya yang polos terpancar sebuah senyuman manis menandakan bahwa malam itu beliau sangat senang dan bahagia, jarang sekali Aba Syafi melihat ibunya sebagia itu.
Di teras rumah, ditemani nyala lampu minyak tanah yang sudah tak lagi terang, dengan suara jangkrik yang beradu keras dengan suara burung hantu menghiasi malam yang penuh kebahagiaan untu Ibu Mardiyah. Sambil merapikan tumpukan kasur kapuk, buah dari hasil kerja kerasnya, beliau tidak henti-hentinya untuk mengucapkan syukur.
Kebahagiaan Ibu Mardiyeh malam itu bukan tanpa alasan, rupanya ada orang yang memesan kasur, jumlahnya lumayan banyak yaitu 4 buah. Dengan raut wajah yang berseri-seri, beliau  mengelus-elus kasur yang terbuat dari kapuk itu, senyum nya yang anggun selalu mengembang sambil membayangkan keuntungan yang akan diperoleh dari hasil penjualan kasurnya besok.
Ada orang kaya yang memesan kasur sebanyak empat buah. Biasanya jika kasur beliau laku satu buah, beliau bisa menabung dan uang belanja untuk dua minggu aman. Itulah alasannya kenapa beliau sangat bahagia ketika ada orang yang memesan empat buah kasur kepadanya. Itu artinya selain bisa menabung keuntungan dari penjualan kasur tersebut bisa digunakan untuk membayar hutang.
Banyak sekali rencana Bu Mardiyah dari hasil penjualan kasurnya. Mulai dari membayar hutang, membelikan baju baru untuk anak-anaknya termasuk Aba Syafi, yang sudah dua lebaran tidak sempat membeli baju baru.
Malam semakin larut, tapi nampaknya jarum jam sedang tidak enak badan sehingga enggan untuk berputar, Kokokan ayam yang biasanya saling sahut menyahut, malam itu seakan bersekongkol untuk  tidak bersuara, agar subuh tidak segera tiba-tiba. Rupanya itu hanya perasaan Bu Mardiyeh saja yang tidak sabar menunggu datangnya pagi. Demi untuk melihat kasurnya berpindah ke tuan barunya.
Akhirnya mentari pagi mulai bersinar. samar-samar cahayanya mulai mendominasi warna langit menjadi merah kekuning-kuningan. Tak lama kemudian datanglah mobil pick up berhenti pas di halaman rumah Bu Mardiyeh. Rupanya Pick Up itulah yang akan membawa kasur dagangan Bu Mardiyeh ke si pemesan. Satu persatu kasur mulai dimasukkan ke dalam bak pick up, ridak hanya kennek dan supirnya yang sibuk memindahkan kasur kapuk buatan Bu Mardiyeh. Aba Syafi kecil juga ikut menyibukkan diri meskipun hanya loncat-loncat kegirangan melihat dagangan ibunya laku terjual.
Seiring dengan laju pickup yang mulai menghilang dari pandangan mata, saat itu juga bayangan akan mendapatkan banyak keuntungan semakin nampak jelas didepan mata, sekalilagi ucapan syukur tak henti-hentinya beliau panjatkan beriringan dengan hembusan nafas yang beliau keluarkan.
Sesuai dengan kesepakatan awal, uang hasil penjualan kasur akan diberikan pada saat kasur telah sampai kelokasi pemesan, dan akan dititipkan ke supir pickup tadi.
Setelah agak siang, tepatnya menjelang adzan dhuhur. Akhirnya pickup yang ditunggu-tunggu itupun datang. Bu Mardiyeh, mendengar suara mesin berhenti di halaman rumah, langsung beranjak dari tempat tidurnya, tak terkecuali Aba Syafi kecil yang juga langsung ikut berlari kegirangan menyusul ibunya menghampiri supir pickup pembawa kasur tadi pagi.
Tapi sayang, senyum ceria yang sedari kemarin terpatri rapi di bibir Ibu Mardiyeh tiba-tiba lenyap setelah sang supir, dengan suara seraknya mengatakan "Mohon maaf buk, tadi sebelum saya sampai ke lokasi pembeli kasurnya, saya di cegat oleh seseorang. Katanya anak ibuk punya hutang sama dia, jadi kasur-kasur ibuk yang dia ambil sebagai jaminan hutang anak ibuk, sekali lagi saya minta maaf ibuk!". Bak disambar petir siang bolong, Ibu Mardiyeh mendengar hal demikian hanya bisa berdiri kaku, expresinya datar, pandangannya kosong. Beliau sangat tida menyangka kebahagiaan yang dinanti sejak seminggu yang lalu harus musnah bak ditelan samudra.
Berbarengan dengan itu. Dengan suara gemetar, Ibu Mardiyah mengucapkan banyak terimakasih kepada si supir, beliau nampak tegar dan mencoba menerima meskipun sebenarnya hati beliau sangat hancur, sehancur-hancurnya.
Sebelum supir pick up itu pergi Ibu Mardiyeh masih sempat menawarkan makan untuk si supir, begitulah kesabaran ibunda Aba Syafi, di tengah situasi hatinya dan perasaannya yang hancur lebur, tetap bisa memperlakukan orang yang membantunya dengan perlakuan sangat baik.
Setelah supir pickup itu pergi, Ibu Mardiyah duduk di depan teras, sambil termenung karena harus menerima kenyataan yang sangat pahit ini, tanpa terasa air matanya pun tanpa disadari mengalir begitu saja membasahi kedua pipinya. Aba Syafi yang waktu itu masih kecil, sangat terpukul melihat ibunya mendapatkan perlakuan keji seperti itu. Meskipun usianya waktu masih sangat belia, namun kenangan pahit itu sampai sekarang masih membekas di ingatannya.
Sejak itulah, beliau berjanji pada dirinya sendiri bahwa beliau harus menjadi orang kaya, demi kebahagiaan ibunya tercinta. Dengan semangat yang menggelora, beliau belajar mandiri untuk menyelesaikan, setiap tingkat pendidikannya, mulai dari SD, SMP bahkan yang tidak kalah hebatnya, beliau yang notabene adalah anak seorang pedagang kasur kapuk yang hutang nya dimana-mana, berkat kegigihan Aba Syafi untuk membahagiakan ibunya, beliau SMA nya bisa masuk di SMA Negeri 1 Bangkalan, sekolah terfavorit waktu itu. Mustahil rasanya orang desa dengan latar status ekonomi keluarga menengah kebawah, bisa mengenyam pendidikan disana. Tapi Aba Syafi bisa, beliua berjuang hanya untuk satu tujuan yaitu membahagiakan ibundanya.
Setelah beberapa tahun kemudian, Aba Syafi menikah dengan perempuan yang telah lama beliau sukai. Atas tekad dan perjuangan beliau yang sangat luar biasa, akhirnya sedikit demi sedikit beliau bisa mengumpulkan uang, dan uang yang berhasil beliau kumpulkan sepenuhnya diserahkan kepada ibundanya untuk melunasi semua hutang-hutangnya. Sejak saat itulah Bu Mardiyah bisa  terlepas dari jeratan hutang, dan kehidupannya mulai menemukan titik terang untuk merasakan kebahagiaan di masa tuanya.
Begitupun sebaliknya, Aba Syafi yang setulus hati berkorban dan berjuang untuk membahagiakan ibundanya, sejak saat itu perekonomian dalam keluarga kecilnya mulai melejit, beliau sejak saat itu seakan-akan Allah membuka rizqinya dari semua penjuru, mengalir dari segala arah, efek dari barokah ibunda tercintanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H