Sesuai dengan kesepakatan awal, uang hasil penjualan kasur akan diberikan pada saat kasur telah sampai kelokasi pemesan, dan akan dititipkan ke supir pickup tadi.
Setelah agak siang, tepatnya menjelang adzan dhuhur. Akhirnya pickup yang ditunggu-tunggu itupun datang. Bu Mardiyeh, mendengar suara mesin berhenti di halaman rumah, langsung beranjak dari tempat tidurnya, tak terkecuali Aba Syafi kecil yang juga langsung ikut berlari kegirangan menyusul ibunya menghampiri supir pickup pembawa kasur tadi pagi.
Tapi sayang, senyum ceria yang sedari kemarin terpatri rapi di bibir Ibu Mardiyeh tiba-tiba lenyap setelah sang supir, dengan suara seraknya mengatakan "Mohon maaf buk, tadi sebelum saya sampai ke lokasi pembeli kasurnya, saya di cegat oleh seseorang. Katanya anak ibuk punya hutang sama dia, jadi kasur-kasur ibuk yang dia ambil sebagai jaminan hutang anak ibuk, sekali lagi saya minta maaf ibuk!". Bak disambar petir siang bolong, Ibu Mardiyeh mendengar hal demikian hanya bisa berdiri kaku, expresinya datar, pandangannya kosong. Beliau sangat tida menyangka kebahagiaan yang dinanti sejak seminggu yang lalu harus musnah bak ditelan samudra.
Berbarengan dengan itu. Dengan suara gemetar, Ibu Mardiyah mengucapkan banyak terimakasih kepada si supir, beliau nampak tegar dan mencoba menerima meskipun sebenarnya hati beliau sangat hancur, sehancur-hancurnya.
Sebelum supir pick up itu pergi Ibu Mardiyeh masih sempat menawarkan makan untuk si supir, begitulah kesabaran ibunda Aba Syafi, di tengah situasi hatinya dan perasaannya yang hancur lebur, tetap bisa memperlakukan orang yang membantunya dengan perlakuan sangat baik.
Setelah supir pickup itu pergi, Ibu Mardiyah duduk di depan teras, sambil termenung karena harus menerima kenyataan yang sangat pahit ini, tanpa terasa air matanya pun tanpa disadari mengalir begitu saja membasahi kedua pipinya. Aba Syafi yang waktu itu masih kecil, sangat terpukul melihat ibunya mendapatkan perlakuan keji seperti itu. Meskipun usianya waktu masih sangat belia, namun kenangan pahit itu sampai sekarang masih membekas di ingatannya.
Sejak itulah, beliau berjanji pada dirinya sendiri bahwa beliau harus menjadi orang kaya, demi kebahagiaan ibunya tercinta. Dengan semangat yang menggelora, beliau belajar mandiri untuk menyelesaikan, setiap tingkat pendidikannya, mulai dari SD, SMP bahkan yang tidak kalah hebatnya, beliau yang notabene adalah anak seorang pedagang kasur kapuk yang hutang nya dimana-mana, berkat kegigihan Aba Syafi untuk membahagiakan ibunya, beliau SMA nya bisa masuk di SMA Negeri 1 Bangkalan, sekolah terfavorit waktu itu. Mustahil rasanya orang desa dengan latar status ekonomi keluarga menengah kebawah, bisa mengenyam pendidikan disana. Tapi Aba Syafi bisa, beliua berjuang hanya untuk satu tujuan yaitu membahagiakan ibundanya.
Setelah beberapa tahun kemudian, Aba Syafi menikah dengan perempuan yang telah lama beliau sukai. Atas tekad dan perjuangan beliau yang sangat luar biasa, akhirnya sedikit demi sedikit beliau bisa mengumpulkan uang, dan uang yang berhasil beliau kumpulkan sepenuhnya diserahkan kepada ibundanya untuk melunasi semua hutang-hutangnya. Sejak saat itulah Bu Mardiyah bisa  terlepas dari jeratan hutang, dan kehidupannya mulai menemukan titik terang untuk merasakan kebahagiaan di masa tuanya.
Begitupun sebaliknya, Aba Syafi yang setulus hati berkorban dan berjuang untuk membahagiakan ibundanya, sejak saat itu perekonomian dalam keluarga kecilnya mulai melejit, beliau sejak saat itu seakan-akan Allah membuka rizqinya dari semua penjuru, mengalir dari segala arah, efek dari barokah ibunda tercintanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H