Ibu Mardiyah yang berstatus sebagai singel parent, harus banting tulang demi mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Penghasilan dari berjualan kasur kapuk, salah satu usaha yang digelutinya tidaklah seberapa. Bahkan seringkali, beliau harus kembali ke rumah tanpa satupun kasur buatannya laku terjual.
Situasi ekonomi yang semakin tidak setabil inilah yang membuat beliau terpaksa harus berhutang meskipun itu harus melalui seorang rentenir.
Kesedihan Aba Syafi kecil, ternyata tidak cukup dengan melihat ibunya yang sering dimarahi orang, karena terlambat membayar hutang. Ada sebuah peristiwa kelam yang menimpa ibunya, yang sampai saat ini masih beliau ingat secara jelas dan detail.
Malam itu. Ibu Mardiyah nampak sangat bahagia, dari raut wajahnya yang polos terpancar sebuah senyuman manis menandakan bahwa malam itu beliau sangat senang dan bahagia, jarang sekali Aba Syafi melihat ibunya sebagia itu.
Di teras rumah, ditemani nyala lampu minyak tanah yang sudah tak lagi terang, dengan suara jangkrik yang beradu keras dengan suara burung hantu menghiasi malam yang penuh kebahagiaan untu Ibu Mardiyah. Sambil merapikan tumpukan kasur kapuk, buah dari hasil kerja kerasnya, beliau tidak henti-hentinya untuk mengucapkan syukur.
Kebahagiaan Ibu Mardiyeh malam itu bukan tanpa alasan, rupanya ada orang yang memesan kasur, jumlahnya lumayan banyak yaitu 4 buah. Dengan raut wajah yang berseri-seri, beliau  mengelus-elus kasur yang terbuat dari kapuk itu, senyum nya yang anggun selalu mengembang sambil membayangkan keuntungan yang akan diperoleh dari hasil penjualan kasurnya besok.
Ada orang kaya yang memesan kasur sebanyak empat buah. Biasanya jika kasur beliau laku satu buah, beliau bisa menabung dan uang belanja untuk dua minggu aman. Itulah alasannya kenapa beliau sangat bahagia ketika ada orang yang memesan empat buah kasur kepadanya. Itu artinya selain bisa menabung keuntungan dari penjualan kasur tersebut bisa digunakan untuk membayar hutang.
Banyak sekali rencana Bu Mardiyah dari hasil penjualan kasurnya. Mulai dari membayar hutang, membelikan baju baru untuk anak-anaknya termasuk Aba Syafi, yang sudah dua lebaran tidak sempat membeli baju baru.
Malam semakin larut, tapi nampaknya jarum jam sedang tidak enak badan sehingga enggan untuk berputar, Kokokan ayam yang biasanya saling sahut menyahut, malam itu seakan bersekongkol untuk  tidak bersuara, agar subuh tidak segera tiba-tiba. Rupanya itu hanya perasaan Bu Mardiyeh saja yang tidak sabar menunggu datangnya pagi. Demi untuk melihat kasurnya berpindah ke tuan barunya.
Akhirnya mentari pagi mulai bersinar. samar-samar cahayanya mulai mendominasi warna langit menjadi merah kekuning-kuningan. Tak lama kemudian datanglah mobil pick up berhenti pas di halaman rumah Bu Mardiyeh. Rupanya Pick Up itulah yang akan membawa kasur dagangan Bu Mardiyeh ke si pemesan. Satu persatu kasur mulai dimasukkan ke dalam bak pick up, ridak hanya kennek dan supirnya yang sibuk memindahkan kasur kapuk buatan Bu Mardiyeh. Aba Syafi kecil juga ikut menyibukkan diri meskipun hanya loncat-loncat kegirangan melihat dagangan ibunya laku terjual.
Seiring dengan laju pickup yang mulai menghilang dari pandangan mata, saat itu juga bayangan akan mendapatkan banyak keuntungan semakin nampak jelas didepan mata, sekalilagi ucapan syukur tak henti-hentinya beliau panjatkan beriringan dengan hembusan nafas yang beliau keluarkan.