Mohon tunggu...
Khairi Kurniawan
Khairi Kurniawan Mohon Tunggu... profesional -

Termotivasi dari sebuah kalimat..... "berbekal Pengalaman saja tidak "CUKUP" harus di imbangi dengan pengetahuan" belajar belajar dan belajar tapi tetap FREEDOM....

Selanjutnya

Tutup

Nature

"Tangkap Pelaku Illegal Logging tanpa Pandang Status Sosial"

20 Maret 2012   16:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:42 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu “illegal logging” saat ini sudah menjadi isu global yang selalu menjadi objek pembicaraan dan kajian oleh berbagai kalangan, baik itu pemerintah, akademisi, NGO dan organisasi masyarakat sivil. Hingga kini belum juga ditemukan pola penangananya yang tepat. Sudah banyak upaya yang dilakukan, namun faktanya kondisi hutan semakin rusak, peraktek perambahan dan penebangan liar masih banyak terjadi.

Hal inilah yang menjadi topic membicaraan dalam diskusi tematik yang dilaksanakan oleh SIMPUL Lombok bekerjasama dengan Gabungan Pemuda Pemerhati Lingkungan (GP2L) bertempat di Aula Kantor Desa Sapit.

Ada banyak factor diyakini memiliki andil sebagai penyebab masih maraknya praktek pencurian kayu dan perambahan hutan. Dari pengalaman dan temuan peserta diskusi teridentifikasi beberapa hal, antara lain: Pertama Masalah ekonomi. Pada umumnya mata pencaharian masyarakat kawasan hutan adalah bertani dan berkebun. Namun, seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk, banyak lahan pertanian dan perkebunan beralihfungsi menjadi permukiman. Hal ini berkonsekwensi pada semakin berkurangnya lapangan pekerjaan yang kemudian berdanpak pada rendahnya tingkat perekonomian masyarakat. Sudah menjadi tabiat manusia, kadangkala dalam kondisi terhimpit ekonomi, akal sehat menjadi tidak berfungsi. Sehingga kecenderungannya berbuat melalui jalan pintas walaupun bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Bagi mereka yang berdekatan dengan hutan kecenderungannya akan nekat menjual kayu hutan. Karena hal ini yang paling cepat bagi mereka untuk bisa memenuhi kepulan asap di rumah. Beberapa kasus yang ditemukan oleh petugas kehutanan ternyata memang masyarakat yang melakukan penebangan kayu mengaku terpaksa karena tidak ada pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari mereka. Ada pula awalnya adalah hanya mengambil kayu bakar yang dilakukan oleh ibu-ibu. Namun kemudian menjadi usaha setelah adanya para cukong kayu sebagai pembeli. Selain itu, banyak juga ditemukan pelakunya ternyata dari kalangan orang kaya secara materi. Mereka ini biasanya melakukanya karena factor kerakusan.

Kedua adalah factor “budaya”. Yang dimaksud di sini adalah kebiasaan – kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat di dalam memperlakukan hutan yang berkonsekwensi pada terancamnya eksistensi hutan. Misalnya saja, ada keyakinan pada masyarakat tertentu bahwa jika membangun masjid atau tempat-tempat umum lainya bahan – bahan kayunya harus diambilkan dari hutan yang disertai dengan ritual-rutual tertentu. Ada pula kebiasaan-kebiasaan secara turun-temurun yang sudah tertanam pada masyarakat tertentu yang kemudian menjadi kebiasaan yang sangat sulit untuk dihentikan. Misalnya kebiasaan mengambil kayu dihutan yang dilakukan mulai dari orang tua kemudian diikuti oleh anak-anaknya secara turun-temurun. Dalam prakteknya, para pelaku kadangkala menggunakan cara-cara licik. Agar terhindar dari hukum, biasanyapohon kayu terlebih dahulu dibuka kulitnya agar cepat mati. Ada pula disuntikkan racun pada pohon kayu.

Sebenarnya factor budaya ini berkaitan dengan memudarnya nilai – nilai “kearifan local”.Dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat kawasan hutan sebagai mahluk berbudaya berkebutuhan untuk mengekpresikan budayanya. Bagi mereka, hutan merupakn tempat sekaligus sebagai sarana terbaik penyelenggaraan ritual. Oleh karenanya, banyak ritual-ritual keselamatan yang penyelenggaraanya dikaitkan dengan keberadaan hutan. Kondisi ini kemudian akan mendorong masyarakat untuk menjaga dan memelihara hutan. Namun, kondisi saat ini nilai-nilai local sudah hampir hilang, tidak lagi diterapkan. Sehingga orang masuk hutan secara serampangan tanpa tatakerama dan merusaknya.

Ketiga adalah pola kemitraan yang dibangun pemerintah dengan masyarakat. Selama ini masyarakat hanya diarahkan untuk menjaga dan memelihara hutan tanpa memikirkan bagaimana agar keberadaan hutan juga memiliki kontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Bahkan lebih ekstrim lagi masyarakat bukanya diberdayakan tetapi diperdaya. Banyak pula program-program pengembangan ekonomi yang dilakukan, namun sayangnya tidak didasarkan pada potensi yang dimiliki masyarakat. Sehingga program-program yang digelontorkan mejadi sia-sia.

Kempat adalah berkaitan dengan masalah penegakan hukum. disinyalir bahwa masih terjadi konspirasi antara pelaku illegal logging dengan aparat. Hal ini dibuktikan dengan masih berkeliaranya para pelaku illegal logging. Masih ada ditemukan Saw Mill yang tidak berizin tetap beroperasi. Pengakuan oknum pemilik Saw Mill, leluasanya dia mengoperasikan mesinnya karena aparat juga mendapatkan jatah dari hasilnya.

Dari ilustrasi pengalamn dan temuan di atas mengindikasikan bahwa masalah hutan saat ini cukup komplek. Namun, bermuara pada 4 hal, antara lain: ekonomi, sosial budaya, pola kemitraan dengan masyarakat dan hukum.

Lalu apa yang harus dilakukan…?

Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan, diantaranya adalah perlunya merumuskan langkah-langkah preventif, mislanya dengan mengoptimalkan peran guru di sekolah dasar, mengintensifkan sosialisasi kepada masyarakat, dan memberdayakan masyarakat kawasan hutan melalui pengembangan usaha ekonomi produktif berbasis potensi yang dimiliki masyarakat.

Selain upaya-upaya diatas, kita perlu menghitung berapa kebutuhan kayu untuk setiap rumah tangga, karena kita tidak bisa mencegah orang butuh kayu.

Namun,harus diperhatikan adalah apakah kesadaran bersama bahwa hutan sudah mulai rusak, air sudah menyusut sudahterbangun atau tidak, Jika kesadaran ini belum terbangun, maka kita tidak bisa melakukan pencegahan. Jika melihat kenyataanya, sepertinya kesadaran bersama itu belum terbangun. Kesadaran tersebut masih dimiliki oleh orang-orang tertentu. Padahal kondisi hutan kita sudah sangat memprihatinkan, berda pada situasi darurat.

Oleh karena itu, upaya – upaya preventif kurang efektif saat ini. Karena kondisi hutan kita sudah dalam kondisi darurat. sehingga, tidak ada waktu lagi untuk berdiskusi. Yang harus dilakukan saat ini adalahHentikan dulu penebangan hutan, tangkap dulu pelakunya baik yang dilakukan oleh orang kaya ataupun miskin.

Bagaimana menghentikanya…?

Sebagaimana yang telah disebutkan, bahwa persoalan hutan ini cukup komplek, banyak factor yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan harus terlibat, mulai dari masyarakat kawasan hutan, pengsaha, pemerintah, kepolisian dan kejaksaan. Ada baiknya dimulai dengan pendekatan kawasan, dan untuk di Lombok Timur sebagai titik mulainya adalah dari kawasan Sub DAS Pohgading Sunggen. Di kawasan ini terdapat 10 desa hulu, yaitu Desa Sapit, Desa Suela, Desa Perigi, Desa Mekar Sari, Desa Jeringo Tran, Desa Beririjarak, Desa Karang Baru, Desa Jineng, Desa Bebidas serta Desa Otak Rarangan, dan 3 desa hilir, yaitu Desa Suntalangu, Desa Selaparang dan Desa Ketangga. Ke-13 desa ini memiliki keterkaitan dan ketergantungan pada hutan. Sehingga desa-desa ini harus saling topang untuk menyelamatkan hutan. Maka lebih kongkritnya adalah harus ada “ Awiq-awiq” kawasan tentang perlindungan hutan.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun