Mohon tunggu...
taher heringuhir
taher heringuhir Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Karyawan di TV bursa efek Indonesia, IDX Channel. www.tahersaleh.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

"Incredible Love", Kisah Anak Hiperleksia di Pasar Modal

18 Januari 2018   17:57 Diperbarui: 20 Januari 2018   14:07 2893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel Incredible Love (Dokumentasi Pribadi)

Hendra Martono memulai debutnya sebagai penulis fiksi Indonesia dengan novelnya berjudul Incredible Love. Daya tarik buku ini begitu kuat meski sampulnya amat sederhana. 

Dikatakan kuat lantaran latar belakang Hendra Martono atau biasa disapa Pak Hokwan, adalah seorang analis, trader, investor, dan direktur perusahaan sekuritas di Bursa Efek Indonesia.

Semenarik apa novelnya?

Novel setebal 250 halaman itu berkisah tentang seorang anak berkebutuhan khusus atau berkemampuan berbeda, bernama Abinaya yang mengidap hiperleksia, kelainan seorang anak yang mampu membaca secara cepat di usia dini dan amat terobsesi dengan kode, huruf, dan angka, tapi sulit berkomunikasi dengan baik. Dengan bimbingan dan cinta kasih sang ibu, Abinaya berhasil menjelma menjadi seorang broker atau pialang saham paling andal di pasar modal.

Dari sudut tema cerita, sebagai perbandingan, ada beberapa novel yang mengulas soal autis, hiperleksia, disleksia, skizofrenia, atau semacamnya. Tapi tak banyak buku fiksi di Indonesia atau bahkan dunia yang mengupas seluk beluk dunia pasar modal dengan balutan cerita cinta yang menarik. Yang ada di pasaran, hanya buku-buku non-fiksi jenis biografi atau memoar tentang pasar modal yang kemudian difilmkan.

Beberapa di antara buku non-fiksi itu sebut saja Too Big to Fail karya jurnalis Amerika Andrew Ross Sorkin yang difilmkan pada 2011, bercerita tentang krisis finansial 2008, termasuk bangkrutnya Lehman Brothers. 

Buku lainnya yakni Rogue Trader, autobiografi karya Nick Leeson yang difilmkan pada 1999. Ini buku yang ia tulis saat mendekam di penjara karena kasus fraud, lalu difilmkan pada 1999. Kemudian ada buku Enron: The Smartest Guys in the Roomyang ditulis dua reporter majalah Fortune, Bethany McLean dan Peter Elkind, tentang skandal di balik bangkrutnya Enron, perusahaan energi AS, pada akhir 2001.

Ada juga novel American Psycho karangan penulis Amerika, Bret Easton Ellis, 1991, tapi ini bukan drama cinta di pasar modal, melainkan cerita seorang psikopat pembunuh yang juga seorang pebisnis di Wall Street (New York Stock Exchange). 

Dan, barangkali yang memorable yakni buku memoar Jordan Ross Belfort berjudul The Wolf of Wall Street (2007) dan memoar Chris Gardner  berjudul The Pursuit of Happyness(2006), keduanya juga difilmkan dan sangat menarik.

Di Indonesia, sepengetahuan saya, belum ada novel murni soal pasar modal. Hanya ada satu dua novel yang menyinggung dunia keuangan dan pasar modal seperti Pulang(2015) karya Tere Liye di mana porsinya cukup besar. Lainnya barangkali Critical Eleven (2015) karya Ika Natasha, meski tidak spesifik pasar modal.

Novel Incredible Love terbitan Januari 2017 sejauh ini adalah yang pertama memadukan dua unsur tadi, cerita anak berkemampuan berbeda dan pasar modal. Alasan ini yang memicu saya melahap buku ini lembar demi lembar dengan segera.

Alur cerita novel ini mengalir dengan baik dan enak dibaca mulai bab pertama hingga akhir. Tak banyak membuat kita akan berfikir atau sesekali kembali ke halaman-halaman awal sekadar memastikan atau mengonfirmasi teka-teki cerita sebagaimana kalau kita baca novel-novel berat macam Pramoedya atau Eka Kurniawan. 

Jalan cerita yang sederhana itu yang membuat waktu membaca novel ini tidak terlalu lama. Tentu ide cerita itu menjadi poin utama kelebihan novel dengan gaya penulisan orang ketiga ini.

Hendra cukup piawai memainkan deskripsi suasana dan sosok, memilih diksi yang amat puitis termasuk mengutip sajak Sapardi Djoko Damono. Meski kadang puitis, tapi Hendra cenderung memakai gaya bahasa keseharian, jadi tak perlu membuka kamus Bahasa Indonesia untuk mencari tahu beberapa kosa kata yang belum kita tahu. 

Yang menarik, Hendra terampil memasukkan unsur nakal dan humor dalam dialog-dialog tokoh utama sehingga pembaca kadang geli, senyum-senyum sendiri.

Namun sebuah karya mana pun tentu ada celah yang bisa dikritisi, begitu juga dengan novel ini. Sayang, novel ini tampaknya dipersiapkan kurang matang dalam editing dan terlalu cepat baik dari sisi penceritaan maupun teknis penulisan. 

Banyak salah ketik (typo), salah orang saat dialog, keterangan waktu belum jelas, dan pembaca seolah-olah bisa menebak ending cerita sejak di bab awal karena penulis terlalu cepat 'menjahit' keterkaitan antara tokoh utama, tokoh pembantu, dan antagonis sehingga kurang memberikan sensasi twist.

Hendra juga kurang mendramatisasi peristiwa, padahal ada beberapa plot yang bisa dikembangkan untuk menguras lebih dalam emosi pembaca, salah satunya di bab awal ketika ayah Abinaya meninggal.

Angle cerita pun berkembang menjadi beberapa kesimpulan: pertama, kisah Abinaya, seorang pemuda hiperleksia yang sukses di pasar modal dan dibalut dengan kisah cinta dengan Niken, sahabat kecilnya. Kedua, kisah seorang pialang saham bernama Greg, rekan Abinaya, yang berhasil menjadi seorang pialang paling ulung di Bursa Efek Indonesia dengan bantuan Abinaya.

Satu kekurangan lain khususnya soal pasar modal. Bagi pembaca yang kesehariannya berkutat di pasar modal tentu tak akan banyak mengernyitkan dahi membaca istilah-istilah di novel ini. Tapi bagi pembaca yang belum banyak mengenal dunia pasar modal pasti bingung. Apa itu go public, tugas sekuritas, broker, banteng wulung, tickersaham, auto reject atas (ARA), mekanisme perdagangan saham, dan istilah lainnya.

Meski begitu di luar kekurangan, novel ini menjadi karya yang patut diapresiasi oleh insan sastra di Indonesia, apalagi cerita ini terbilang baru dan mendorong masyarakat untuk berinvestasi sejak dini, nabung saham.  

Ceritanya pun terinspirasi dari kehidupan masa kecil Hendra Martono yang termasuk anak autis. Jadi, selain mendorong investasi saham, novel ini memberi edukasi positif betapa anak yang memiliki kemampuan berbeda itu harus dibimbing, diarahkan dengan baik sehingga mereka menemukan jati diri. Faktanya, banyak orang-orang terkenal saat kecil termasuk autis, tapi berkat arahan yang tepat dari orang tua akhirnya mereka bisa sukses.

Salut untuk Pak Hokwan yang masih bisa menelurkan karya sastra bagus ini di tengah kesibukan sebagai direktur PT Henan Putihrai, salah satu perusahaan sekuritas anggota bursa. Luar biasa Pak. 

Dan kabar baiknya, novel ini akan segera difilemkan. Proses syuting sudah dimulai sejak November 2017 yang digarap oleh Lingkar Film. Lokasi syuting di Jakarta dan New York dengan bintang utama di antaranya Roy Marten dan Ira Wibowo. Semoga film-nya sukses ya Pak. Amin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun