Mohon tunggu...
taher heringuhir
taher heringuhir Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Karyawan di TV bursa efek Indonesia, IDX Channel. www.tahersaleh.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hati-hati, Namamu Disangka Teroris

25 Juli 2015   12:57 Diperbarui: 25 Juli 2015   13:21 1717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terlepas dari nama orang-orang itu yang melakukan kejahatan, stereotip akan orang Islam saat ini belum hilang walau peristiwa serangan bom 11 September 2001 sudah lewat. Justru sejak serangan yang meluluhlantakkan menara kembar World Trade Center di Manhattan, New York, ketakukan berlebihan terhadap Islam (termasuk nama dan muka-muka Arab) tetap tinggi. Apalagi saat ini kelompok ekstrimis macam Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS)—yang mengedepankan kekesaran yang justru tidak mencerminkan ajaran Islam—kian merajalela.

Bukan hanya AS sebagai salah satu negara dengan ketakutan berlebihan terhadap Islam, negara-negara lain—termasuk di Asia—pun sama dengan kadar apriori yang berbeda.

Di AS, pemerintah berpatokan pada dokumen pantauan teroris bernama Watchlisting Guidance yang dirilis pada 2013 oleh 19 agen federal Amerika, termasuk Central Intelligence Agency (CIA) dan Federal Bureau of Investigation (FBI). Tebalnya 166 halaman, berisi kriteria menempatkan seseorang masuk dalam daftar pantauan teroris dan larangan terbang.

World Socialist Web Site melaporkan bahwa pada 2003, pemerintahan George W. Bush sempat memasukkan ratusan ribu nama dalam database Terrorist Screening Center(TSC), yang dioperasikan FBI. Tapi pada 2013, AS memakai panduan baru yang kopian dokumennya berhasil dipublikasikan The Intercept pada Juli tahun lalu. (Ini linknya: https://firstlook.org/theintercept/document/2014/07/23/march-2013-watchlisting guidance/.

The Intercept adalah publikasi daring yang diluncurkan pada Februari 2014 oleh First Look Media, media yang dikelola pendiri eBay, Pierre Omidyar. Situs ini juga mempublikasikan sejumlah dokumen rahasia yang dirilis Edward Snowden, mantan pekerja CIA dan kontraktor National Security Agency (NSA) yang membocorkan informasi program mata-mata rahasia Amerika. Banyak dugaan, sumber dokumen Watchlisting dari Snowden.

Tapi dokumen ini dinilai berbahaya. Mengapa? Karena seseorang bisa ditandai sebagai ancaman atau berpotensi mengganggu keamanan nasional dengan kriteria versi AS yang kurang valid dalam Watchlisting. Bahkan pada 2013, ada 468.749 orang masuk dalam daftar tersebut lalu diserahkan kepada National Counterterrorism Center. Persentase penolakan nama-nama tersebut hanya 1% dari rekomendasi. Dokumen tersebut akan dikaji ulang setiap dua tahun sekali atau jika dibutuhkan.

Pemerintah AS membagi dua kategori yakni “teroris dikenal” dan “tersangka teroris”. Kalau teroris dikenal itu sudah didakwa tindakan teroris, kriteria tersangka teroris berbeda lagi. Orang yang diduga teroris adalah individu yang disangkakan terlibat rencana, persiapan, membantu kegiatan terorisme. Kriterianya: dianggap sebagai teroris oleh agensi lain—selain milik AS, terafiliasi dengan jaringan teroris global, fasilitator teroris (termasuk pemalsu dokumen, fasilitator perjalanan, pencucian uang, dan penyandang dana), simpatisan atau pendukung organisasi teroris.

Individu yang dituduh terlibat dengan organisasi teroris, lalu dibebaskan di pengadilan, juga masih potensial masuk daftar daftar, begitu pula keluarga dekatnya. Jika kriteria sesuai, seseorang akan digiring masuk daftar Terrorist Screening Database (TSDB) yang dibuat TSC. Padahal faktanya, dokumen itu tidak sempurna, banyak yang tak sesuai karena pengumpulan data kurang akurat.

Dengan kata lain, seseorang bisa dimasukkan dalam daftar hanya dengan kecurigaan bahwa dia mungkin terlibat. Padahal, perlu evaluasi kredibilitas sumber informasi. Verifikasi ini penting mengingat unggahan di media sosial pun tak luput dari perhatian. “[Kriteria itu] jelas mengejutkan dan luas, penuh dengan pengecualian dan pasti akan menjerat orang yang tidak bersalah,” kata Hina Shamsi, Direktur Keamanan Nasional di American Civil Liberties Union, seperti dikutip The Washington Post, 23 Juli 2014. Kendati dikritik publik, otoritas National Counterterrorism Center, maju terus. “Dokumen pantauan ini sangat penting sebagai bagian dari pertahanan berlapis kami dalam melindungi AS dari serangan teroris di masa depan,” kata seorang pejabat lembaga itu.

Saya tidak tahu apakah Hong Kong memakai panduan seperti AS atau tidak. Tapi saya beruntung akhirnya masuk ke negeri itu, tidak ditolak seperti dialami dua orang WNI yang akan menjadi pembicara pada acara Tabligh Akbar di Hong Kong, pertengahan Maret lalu. South China Morning Post melaporkan, polisi setempat meningkatkan kewaspadaan karena selebaran bergambar ISIS beredar di kalangan buruh migran Indonesia pada gelaran Tabligh Akbar tersebut.

Kalau pun Hong Kong menerapkan panduan seperti AS, atau berbagi informasi, kriteria dalam dokumen itu tidak efektif. Dokumen Watchlisting dianggap tidak tepat, tak mampu menyapu ribuan orang sekaligus, bahkan gagal menangkap ancaman serius seperti pembom Boston Marathon, Tamerlan Tsarnaev. Malahan beberapa nama orang salah dimasukkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun