Begitu pula halnya dengan kreativitas seorang Hamka. Sebagai ulama dan sastrawan, ada sekitar 118 karya tulisan (artikel dan buku) yang dipublikasikan Ketua Majelis Ulama Indonesia pertama ini. Temanya mulai dari agama, filsafat sosial, tasawuf, roman, sejarah, tafsir Al-Quran, hingga otobiografi. Masterpiece-nya novel Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Dua-duanya sudah saya baca berikut juga menonton dua filem tersebut. Satu lagi magnum opus-nya yakni Tafsir Al-Alzhar yang dirampungkan saat dia ditahan rezim Soekarno pada 1964.
Ulama yang lahir di Maninjau, Sumatra Barat pada 1 Februari 1908 ini tak pernah merasa berkonfllik dengan Pram. “Aku sendiri sangat yakin, sesungguhnya Ayah [Buya] tidak sedikitpun merasa bermusuhan dengan Pramoedya,” kata Irfan Hamka.
Sama halnya ketika Hamka dijebloskan ke penjara oleh Soekarno selama dua tahun empat bulan karena dituduh subversif merencanakan pembunuhan presiden, Hamka tak dendam sekali pun. “Apa Buya tidak dendam kepada Soekarno yang telah menahan Buya sekian lama di penjara?” tanya orang-orang ketika Soekarno dalam suratnya meminta Hamka menjadi imam shalat jenazahnya bila kelak Sang Presiden wafat. “Hanya Allah yang mengetahui seseorang itu munafik atau tidak. Yang jelas, sampai ajalnya, dia [Soekarno] tetap seorang muslim. Kita wajib menyelenggarakan jenazahnya dengan baik,” kata Buya. “Saya tidak pernah dendam kepada orang yang menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa.”
Kini sudah 52 tahun peristiwa itu berlalu. Dua orang hebat sudah menemui Sang Khalik. Hamka meninggal pada Jum'at, 24 Juli 1981, dalam usia 73 tahun dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta Selatan, sedangkan Pram berpulang pada 30 April 2006 dalam usia 81 tahun dan dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta Pusat.
Suatu kali saya pernah tidak sengaja melihat pusara Pram ketika berjalan menuju kantor dari Stasiun Karet. Tempat kerja saya saat itu diapit dua kuburan umum, TPU Karet Tengsin di sebelah kiri kantor dan sebelah kanan TPU Karet Bivak. Kuburan Pram rapi dengan rumput hijau yang juga tertata dengan baik. Tapi letak makamnya dekat dengan jalanan, sehingga pejalan kaki bisa dengan mudahnya bisa membaca nama di atas pusara hitam makam itu dari trotoar jalan: Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan. Keduanya sudah tiada, tapi warisan mereka memberi arti dalam dunia sastra Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H