Mohon tunggu...
Tahdi Muhammad
Tahdi Muhammad Mohon Tunggu... Swasta -

sebagai buruh serabutan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dan Kiai Kanjeng

8 Agustus 2017   22:42 Diperbarui: 8 Agustus 2017   22:52 8422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan di bawah ini  merupakan sebagian dari hasil penelitian saya yang tidak dimasukan dalam karya (tesis) saya maupun publikasi ilmiah. Menurut saya mubazir rasanya apabila informasi ini tidak disampaikan kemasyarakat luas, apalagi jika menjadi manfaat di masa akan datang baik untuk para akademisi dan/atau praktisi yang berkaitan dengan hal di bawah. Apabila ada hal-hal yang dirasa kurang lengkap atau berbeda pandangan terhadap catatan di bawah ini dipersilahkan untuk memberikan masukan.

Emha Ainun Nadjib

Setiap manusia melalui proses panjang sebelum menjadi seorang figur yang berpengaruh. Terutama menjadi figur pemimpin. Proses tersebut bisa melalui kehidupan sosial dan juga melalui pendidikan, baik itu formal maupun informal.

Salah seorang figur yang layak diperhatikan adalah Emha Ainn Naidjin (Cak Nun) yang sekarang memimpin kelompok musik Kiai Kanjeng. Menjadi pemimpin dalam kelompok musik Kiai Kanjeng dari awal berdiri hingga sekarang bukanlah hal yang mudah atau begitu saja terjadi. Karena hal itu, maka penulis akan memaparkan secara sederhana tentang riwayat hidup Cak Nun.
     Masa Kecil Emha Ainun Nadjib

Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) lahir pada rabu legi, 27 Mei 1953 di desa Mentero (biasa disebut desa Santri), Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang, Provinsi Jawa Timur. Lahir dan tumbuh besar di desa dengan lingkungan sosial yang kuat serta religius, Emha  Ainun Nadjib hidup   sederhana, bersahaja dan arif.Hal tersebut dimanfaatkan Cak Nun sebagai modal untuk mengembangkan diri. Dalam buku Jalan Sunyi, ia mengatakan :

"Saya belajar banyak dari orang desa yang berhati petani. Mereka hanya makan ayng ditanam, meenuai hasil berdasarkan kewajaran kerja, menjadikan kerja sebagai orientasi hidup.... Saya benar-benar cemburu pada kualitas hidup mereka.

     Pendidikan dan Karir Emha Ainun Nadjib

Emha Ainun Nadjib adalah orang yang menjunjung tinggi aturan semenjak masih mengenyam Sekolah Dasar (SD). Hal tersebut terbukti ketika ia protes kepada salah seorang guru yang terlambat datang untuk mengajar. Kemudian sang guru mengelilingi lapangan sekolah sembari menggendong sepeda Emha Ainun Nadjib (Nadjib, 2015).

Setelah menamatkan Sekolah Dasar (SD), Emha melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren Gontor, yaitu sebuah lembaga pendidikan Islam yang dikenal progresif. Emha hanya bertahan sekitar 2,5 tahun (dua tahun setengah) karena dikeluarkan Pesantren itu sendiri. Alasan dari dikeluarkan Emha dari Pesantren adalah dikarenakan aksi protesnya kepada sistem Pesantren itu sendiri yang dianggap tidak adil (Salam dkk, 2014).

Walaupun Emha tidak menyelesaikan  kesantriannya, namun baginya pengalaman selama di Pesantern tersebut cukup berkesan. Hal tersebut dapat diamatai pada karya-karya tulisannya yang sering menonjolkan tema-tema sosial dalam bingkai tasawuf yang sastrawi (Salam dkk, 2014).

Setelah keluar dari Pesantern Gontor, Emha pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan studi SLTA-nya di SMA 1 Muhammadiyah. Setamat SMA 1 Muhammadiyah, Emha melanjutkan pendidikan formalnya di Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada (UGM). Namun beliau berkuliah hanya kurang lebih 4 (empat) bulan dan memilih untuk tidak melanjutkan studi tersebut. 

Emha lebih memilih kuliah di "Universitas Malioboro" bergabung dengan kelompok penulis muda yang bergelut di bidang sastra, yaitu Persada Studi Klub (PSK) di bawah "mahaguru" Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang sangat memperngaruhi perjalanan hidup Emha (Salam dkk, 2014). Selain itu Emha mengikuti lokarkarya sastra dalam acara International Writing Program di Universitas Lowa, Amerika Serikat pada tahun 1984, festival Penyair Internasionalmdi Rotterdam, Belanda pada tahun 1984 dan festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman pada tahun 1985 (Cahyo, 2014).

Emha merintis kesenian sejak 1970-an berkerjasama dengan Teater Dinasti, ber-basecampdi Bugisan, Yogyakarta. Pada tahun ini juga beliau menjadi pengasuh Ruang Sastra di Haria Masa Kini di Yogyakarta. Namun  pada tahun 1973-1976 beliau menjadi wartawan dan redaktur di harian yang sama (Cahyo, 2014).

     Karya Seni Emha Ainun Nadjib

Kegelisahan sosial dan spritual yang dialami oleh Cak Nun sangat mempengaruhi dan mewarnai karya-karya Cak Nun, terutama dalam karya sastra. Dalam sejumlah penelitian yang pernah dilakukan oleh para sarjana sastra, disimpulkan bahwa kecenderungan puisi berdimensi sosial-relegius dan sosial-mistis terlihat mendominasi puisi-puisi penyair yang bersangkutan  (Salam dkk, 2014).

  • Kumpulan pusisi-puisinya di antaranya :
  • Antalogi 99 untuk Tuhanku (1980),
  • Sajak-sajak Sepanjang Jalan (1977),
  • Tak Mau Mati (1978)
  • Tuhan Aku Berguaru Pada-Mu (1980),
  • Kanvas (1980),
  • Tidur Yang Panjang (t.t), Nyanyian Gelandangan (1982),
  • Iman Perubahan (1982),
  • Isra' Mi'raj Yang Asik (1984),
  • Syair-syair Asma'ul Husna (1984-1990),
  • Syair Lembu (t.t), Minuman Keras Nasibku (1989),
  • Suluk Pesisiran (1990),
  • Syair Lautan Jilbab (1989) dan
  • Sesobek Buku Harian Indonesia (1993).

      Naskah-naskah drama di antaranya :

  • Geger Wong Ngoyak (bersama Fajar Suharrno dan Gadjah Abiyoso),
  • Patung Kekasih (bersama Simon Hate dan Fajar Suharno)
  • Dokorandus Mul, ampas Mas Dukun,
  • Keajaiban Lik Par,
  • Sidang Para Setan,
  • Perahu Retak dan
  • Pak Kanjeng.

     Kumpulan Cerita Pendek (Cerpen), Yang Terhormat Nama Saya (1992) dan BH (2005).

     Buku-buku yang menjadi sarana penyampaian idealisme Cak Nun di antaranya :

  • Dari Pojok Sejarah: Renungan  Perjalanan (1985),
  • Sastra Yang Membebaskan (1984),
  • Indonesia Bagian Dari Desa Saya (1980),
  • Silit Sang Kiai (1991),
  • Kafir Liberal (2005),
  • Istriku Seribu: Polimonogami-monopoligami (2007),
  • Orang Maiyah (2007),
  • M. Frustasi (1976),
  • Indonesia: Markesot Bertutur (2005),
  • Markesot Bertutur Lagi (2005),
  • Gelandang di Kampung Sendiri (2015),
  • Sedang Tuhanpun Cemburu (2015),
  • Arus Bawah (2014),
  • Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996),
  • Buaya Tanding (1995),
  • Ziarah Pemilu, Ziahar Politik, Ziarah Kebangsaan (1998),
  • Keranjang Sampah (1998)
  • Ikrar Khusnul Khatimah (1999),
  • Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997),
  • Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai,
  • Bola-bola Kultural (1996),
  • 2,5 Jam Bersama Soeharto (1989),
  • Mati Ketawa Cara Refotmasi (1998),
  • Cahaya Maha Cahaya (1991) dan
  • Seribu Mesjd Satu Jumlahnya (1990).

Salah satu buku yang jarang di temui di toko buku adalah berjudul "Dari Pokok Sejarah: Renungan Perjalanan Emha Ainun Nadjib. Buku ini merupakan kumpulan dari berbagai tulisan singkat beliau tentang isu-isu solsial-politik-budaya dan hukum yang berkembang di Inodonesia. Contoh dalam pengantarnya beliau menyebutkan (Nadjib, 1992):

"Adapun akar-tanda-tanya: itu  saya maksudkan bahawa tak mungkin seseorang tercabut dari akarnya. Tradisi militer yang mengabad di negeri kita adalah tradisi kepriyaian, tradisi kekurangampunan untuk berbeda, tradisi raja dan abdi dalem serta kawula..."

Selain karya tulis (obeservasi pengajian Macopat Syafa'at, 17 agustus 2015), Cak Nun juga adalah pengarang lagu yang produktif, terbukti dua album lagu yang sudah dipublis dan dijual di pasar dengan judul "Kumpulan Lagu-lagu Sederhana Cak Nundan Kado Muhammad Tombo Ati.

Dalam (Salam dkk, 2014) dari sekian banyak karya tulis Cak Nun, baik berupa puisi, esai, kolom, naskah drama, novel makalah dan buku terdapat 3 (tiga) nilai penting di dalamnya. Pertama, penghayatan-penghayatan religius dan spritual yang selalu menggunakan pendekatan tasawuf(perilaku etika, adab, moral dan kerendahan diri terhadap sesama manusia). Kedua, memperjuangkan nilai-nilai inheren dalam ke-tasawuf-an. Ketiga, pemikiran dan respon dalam konteks sosial-filiosofis berdsarkan analisis kritis-logis. Lagu-lagu karya Cak Nun juga megandung 3 (tiga) nilai tersebut secara tersirat.

Kelompok Musik Kiai Kanjeng

     Kiai Kanjeng

Gemelan Kiai Kanjeng adalah nama sebuah konsep nada pada alat musik tradisional gemelan yang diciptakan oleh Nevi Budiato. Dalam khasanah musik Jawa terutama pada gamelan lazimnya sistem tangga nada yang dipakai adalah laras pentatonis yang terbagi ke dalam dua jenis nada yakni pelog dan slendro, maka gamelan yang digubah oleh Novi ini tidak berada pada jalur salah satunya, alias bukan pelog bukan slendro (http://www.kiaikanjeng.com/about/, akses 12 Juli 2015).

Meskipun bila ditinjau dari segi bahan dan bentuknya gamelan KiaiKanjeng tetaplah sama dengan gamelan Jawa pada umumnya. Namun perbedaan nada tersebut terletak pada jumlah bilahannya serta kenyataan bahwa gamelan KiaiKanjeng tidak sepenuhnya merambah ke wilayah sekala diatonic (http://www.kiaikanjeng.com/about/, akses 12 Juli 2015).

     Sejarah Singkat Beridiri Kiai Kanjeng

Pada tahun 1993 Cak Nun bersama Teater Dinasti akan melaksanakan kegiatan monolog yang berjudul "Pak Kanjeng" atas usulan Totok Raharjo. Pementasan monolog Pak Kanjeng merupakan karakter yang diadabptasi berdasarkan kisah nyata, yaitu Pak Jenggot. Kemudian Cak Nun, Joko Kamto dan tim melakukan pertemuan serta dialog dengan Pak Jenggot bersama berberapa temannya. 

Hasil dari dialog itu adalah Pak Jenggot bersama beberapa orang yang sedang menghadapi kesulitan hidup, yaitu mempertahankan hak mereka atas penggusuran tempat tinggal untuk pembangunan sebuah waduk (Presentasi oleh Pak Joko Kamto, pemusik Kiai Kanjeng dalam dialog perjalanan Kiai Kanjeng, 11 Maret 2016).

Pada awalnya pementasan "Pak Kanjeng" akan dimainkan satu orang, namun pada akhirnya dimainkan oleh tiga orang, yaitu Joko Kamto, Nevi Budianto dan Butet Kartarajasa. Namun Pementasan "Pak Kanjeng" pada saati itu dilarang di beberapa kota, di antaranya Solo dan Surabaya.  (Presentasi oleh Pak Joko Kamto...,)

Kata "Kanjeng" pada saat itu sudah lahir, maka ketika Cak Nun bersama kelompok teater Dinasti mengusulkan ide musik tertentu kepada Nevi Budianto. Ketika Nevi Budianto bergaul dengan Cak Nun, dia merasakan Cak Nun mempunyai unsur-unsur arab. Maka peran Nevi Budianto pada saat itu adalah merangkai notasi tertentu, kemuudian dijadikan nama gamelan, lalu sekarang disebut gamelan Kiai Kanjeng (Presentasi oleh Pak Joko Kamto...,).

     Genre Musik Kiai Kanjeng

Kiai  Kanjeng adalah salah satu kelompok gamelan yang berperan penting dalam dakwah agama Islam. Apalagi di zaman sekarang kesenian adalah salah satu daya tarik yang cukup efektif dalam beberapa hal. Keterkaitan antara dakwah agama dan kesenian adalah sesuatu yang dekat atau dapat disebut dengan simbiosis-mutalisme. 

Seyogyanya demi mempertahankan tujuan berdakwah dan  kesenian adalah sebagai medianya maka Kiai Kanjeng tidak hanya melantunkan musik ber-genre dakwah atau tidak dengan genre tertentu saja, namun juga melantunkan berbagai genre musik lainnya. Seperti genre Barat modern blues, jazz, pop dan dari Indonesia sendiri dangdut, melayu serta jawa (Oktavianti : 2014).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun