Mohon tunggu...
Tadzkira Nadia Tsauri
Tadzkira Nadia Tsauri Mohon Tunggu... -

Santri yang mencintai ibu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merawat Sejarah Masa Lalu, Menulis Sejarah Baru

23 Agustus 2017   22:54 Diperbarui: 24 Agustus 2017   15:31 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Puan Maharani, adalah satu diantara sedikit orang di negeri ini yang dilimpahi berkah sejarah luar biasa. Disebut berkah sejarah karena namanya, tak akan pernah bisa dilepaskan dari orang-orang hebat yang ikut memperjuangkan dan mengisi sejarah bangsa ini. Selalu melengket, tak bisa dipisahkan. Sebut saja Soekarno (Proklamator dan Presiden Pertama RI), lalu Fatmawati (penjahit Sang Saka Merah Putih pertama kali), kemudian berlanjut ke Megawati, ibunya, Presiden Kelima RI). Termasuk Alm. Taufiq Kiemas, bapaknya, sebagai politisi yang pernah menjadi Ketua MPR RI.

Romantisme masa lalu Puan Maharani, mungkin lebih "berisi" dari kebanyakan orang, sebab ia menjadi bagian dari proses perjalanan bangsa ini melalui orang-orang yang ditakdirkan untuk mewarnai. Setiap kali, Puan Maharani bersyukur atas anugerah itu.

Satu sisi anugerah itu bisa menjadi modal yang sangat berharga, namun pada sisi yang lain, hal itu merupakan tanggung jawab besar, bahwa setidaknya Puan Maharani tidak merusak nama-nama besar itu dengan perilaku dan tindakan yang merusak. Benar, bahwa Puan Maharani memilih untuk menjaga sejarah hebat-nya, yang sebagian ditulis oleh para pendahulunya, dan sebagian besar lainnya, ia tulis sendiri secara tekun, konsisten, semangat, berintegritas, bekerja dan berprestasi terutama untuk ikut memberikan sumbangsih pada negara.

Dalam konteks mengenang romantisme masa lalu, Puan Maharani tidak lupa untuk berterima kasih pada para pendahulunya melalui perawatan terhadap segala peninggalan dan napak tilas mereka. Suatu kali, untuk menghargai kakek-neneknya, ia berniat untuk memugar rumah pengasingan Soekarno di Bengkulu (sekaligus rumah Fatmawati, neneknya) sehingga tetap eksis dan bertahan digempur waktu.

Termasuk juga ketika pergi ke Malaysia untuk kepentingan Sea Games 2017, Puan Maharani mengunjungi Sekolah Indonesia Kuala Lumpur (SIKL) dan meresmikan Aula Taufiq Kiemas. Bangga terhadap pendahulunya, tentu saja. Tidak hanya yang berupa fisik, Puan Maharani juga konsisten untuk mempertahankan ajaran, nilai, dan ideologi pendahulunya, terutama dalam keterlibatannya di dunia politik praktis alias politik pengabdian, menurutnya.

Namun sejatinya, setiap orang sedang menulis sejarahnya sendiri. Itulah yang disadari betul oleh Puan Maharani. Selain menghormati sejarahnya, Puan Maharani juga melanjutkan sejarah masa lalunya dengan menciptakan sejarahnya sendiri; melalui kerja dan konsistensi pengabdian untuk negeri. Pengalaman politiknya, hingga menjadi seorang menteri adalah bagian dari proses menulis sejarah. Tentu tidak akan sama, sebab memang tak untuk dibandingkan. Tapi setidaknya, Puan Maharani berhasil menjaga "trah" melalui etos kerja dan produktivitas yang membanggakan.

 Puan Maharani mengenang sejarah sebagai batu loncatan dan pijakan untuk menulis sejarahnya sendiri. Begitulah cara Puan Maharani memaknai berkah sejarahnya, dan membangun sejarah yang diciptakannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun