Aku pernah mendengar sebuah cerita. Tentang kehidupan. Tapi aku sendiri tidak mengenal bahkan mendengar namanya barang sepotong pun tak pernah. Tapi temanku, iya, temanku ini, dia begitu bersikeukeuh bahwa aku harus mendengarkan cerita ini.Â
Ya, cerita yang katanya akan membuatku sadar kalau di negeri ini tak sepenuhnya indah. Atau mungkin bahwa keindahan negeri ini tercipta karena pengorbanan dari orang-orang terdahulu. Entahlah, mungkin semua bisa terjawab setelah cerita ini selesai aku narasikan.
Suatu siang di daerah Tangerang,
Aku melirik arlojiku, pukul 11.35 WIB. Menatap jalanan di depanku, serupa gang yang kanan kirinya dipenuhi bangunan-bangunan sederhana yang kadang masih berdinding triplek ataupun sekadar bata ala kadarnya. Ya-alakadarnya karena separuh dari bata dan di atasnya disambung dengan kardus-kardus rokok yang biasanya di 'sebat' para ojek pangkalan.
Tiba di satu rumah yang terletak hampir di ujung salah satu gang. Lebih luas dari rumah lainnya, juga ada warung di sana. Seorang ibu yang kira-kira berusia pertengahan 60 tahun tengah sibuk memungut sampah-sampah plastik sisa jajanan yang dibeli anak-anak. Aku tersenyum, menyapa. "Permisi buk..."
Dia tersenyum, ramah. "Nyari bapak nduk?" sapanya lembut, ya, panggilan khas yang dilontarkan wanita jawa pada anak gadis yang ditemuinya.
"Iya bu."
"Baru saja pergi, katanya mau ke atm. Tunggu aja dulu, mau minum, tak buatin ya?" tanyanya yang malah terkesan seperti keharusan dan harus aku terima.
"Nggak usah bu, saya puasa." Agak aneh memang, tapi ya bagaimana, aku memang sedang menjalankan ibadah.
"Walah..kok rajin banget puasa. Ya udah, tunggu di dalem. Ngobrol sama Yudha saja, anak ibu."
Aku lagi-lagi tersenyum lalu mengekor di belakang beliau setelahnya duduk berdua di ruang tamu. Ada piano di sudut ruangan, cukup tua tapi masih bisa berfungsi. Ibu bilang bapak dulu sempat menjadi guru les piano setelah keluar dari tahanan. "Bapak dulu ngajar piano sebelum jadi guru, sebelum ada pemutihan."
Aku mengangguk. Lalu tak berapa lama, ibu mengetuk pintu kamar yang berada tepat di depan ruang tamu. "Yudha, ada tamu." tak ada balasan tapi pintu kamar terbuka, menampilkan sosok pria yang umurnya kira-kira empat tahun di atasku. Kami bersalaman, saling berkenalan. Ia adalah lulusan salah satu fakultas hukum di universitas yang ada di Yogyakarta. Hanya obrolan ringan, tapi cukup menyiratkan kalau dia sepertinya tidak terlalu nyaman dengan kehadiranku. Mungkin mengganggu waktu tidurnya? Entah. Hanya dia yang tahu.
Setelahnya bapak datang dan Mas Yudha kembali ke kamar. "Udah ngobrol sama Yudha?" aku mengangguk. "Dia memang gitu, suka sinis sama orang baru, mungkin trauma." bapak tersenyum ramah, aku hanya bisa mengangguk. "Gimana skripsinya, lancar?"
"Belum pak, masih kurang bahan. Baru mau cari lewat bapak." Aku tersenyum kikuk. Ya. Aku adalah salah satu mahasiswa tingkat akhir salah satu jurusan sastra bahasa Korea di salah satu universitas di Jakarta. Karena skripsiku membahas kerjasama antar negara, khususnya Indonesia Korea, akhirnya aku memutuskan kemari. Mengulas kerjasama yang dilakukan oleh Indonesia dan Korea di bidang HAM. Terdengar berat bukan, tapi ya memang itu bahasannya.
Bapak kemudian memulai ceritanya, kalau dia sempat ditahan di salah satu pulau di wilayah Timur Indonesia, selama kurang lebih 10-15 tahun. Cukup untuk membangun satu distrik-kata bapak. Di sana dia dipekerjakan bagai kuda-ungkapan ini aku cuplik dari iklan di tv nasional- tak pernah berhenti, seperti mesin motor yang tak pernah aus. Mirip iron man.
Membangun jalan, membuka lahan, menjadi petani, membangun jembatan. Semuanya-bahkan ia juga sempat menjadi salah satu perancang bangunan di sana. Katanya, di pengasingan itu tak mebutuhkan ijazah arsitek untuk bisa membangun jembatan.Â
Omong kosong apalagi ini. Ya. diasingkan. Itu yang bapak katakan. Tapi ia belajar banyak di sana, membangun banyak gedung-gedung kayu sebagai tempat tinggal. Serupa barak yang malah lebih mirip ke kandang ayam. Mencabangkan sungai secara paksa yang pada akhirnya malah terlihat seperti oase kecil yang kekeringan karena tak pernah terjamah air.
Sampai pada akhirnya, di sana, bapak juga belajar soal kehilangan dan merelakan. Dan yang paling sedih adalah ditinggalkan. Merasa sebagai pembunuh karena tak bisa melakukan apapun saat kawan sendiri sedang meregang nyawa.Â
Membiarkannya hingga nafasnya tak bersisa. Terlatih menjadi pembunuh-itu kata bapak. Makan pun sama. Jika pada hakekatnya manusia adalah omnivora, maka di pengasingan itu, bapak benar-benar menerapkan apa itu omnivora-pemakan segala. Termasuk bangkai. Tikus bahkan sudah serasa daging sapi dan ular itu serasa daging ayam, yang mudah ditemukan di pasaran.
Kisah itu kemudian ditutup dengan latar di salah satu sungai di Jawa Tengah. Katanya, di sana adalah muara terakhir dari kawan-kawannya menuju surga rasa neraka. Sarkas memang, tapi itulah yang dikatakan bapak. Ditodong dengan moncong senapan kemudian dibiarkan terjun bebas dari jembatan. Sangat menggugah adrenalin.
Aku melangkahkan kaki keluar rumah bapak dan ibu sekitar pukul 3 sore. Diantar bapak di bawah rintik hujan dengan payung hitam. Benar-benar suasana yang mendukung. Aku sendiri bingung harus merespon bagaimana. Sejujurnya aku malah tak mendapatkan banyak informasi dari bapak soal kerjasama yang dilakukan tapi setidaknya aku mendapat pelajaran tentang kehidupan yang bapak cecap. Biarlah, mungkin bapak juga perlu meluapkan emosi batinnya dan aku juga masih perlu banyak pembelajaran hidup.
Ada banyak pertanyaan yang muncul, apakah aku harus percaya atau malah menganggapnya angin lalu. Tak yakin jika aku harus percaya tapi untuk abai rasanya terlalu jahat, tak berperikemanusiaan sekali.
Dari sinilah sejarah itu diperlukan, supaya kami tak hilang arah. Tahu mana sejarah yang benar-benar terjadi atau sejarah yang sengaja dirangkai tanpa dilandaskan sejarah yang ada. Kami, sebagai generasi muda hanya ingin mendapatkan pijakan yang tepat dan pegangan yang mampu menopang kami agar kuat, agar tak mudah disingkirkan atau digeser oleh asing. Agar kami bisa berperang dan mempertahankan sejarah yang ada tanpa terpengaruh oleh asing yang semakin mendominasi.
Maka dari itu, beri kami sejarah yang benar, agar kami bisa meneruskan dan mengembangkan bangsa ini lebih maju lagi, supaya kami tak hilang arah dan kita tetap satu jalan, menuju Indonesia yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H