Aku mengangguk. Lalu tak berapa lama, ibu mengetuk pintu kamar yang berada tepat di depan ruang tamu. "Yudha, ada tamu." tak ada balasan tapi pintu kamar terbuka, menampilkan sosok pria yang umurnya kira-kira empat tahun di atasku. Kami bersalaman, saling berkenalan. Ia adalah lulusan salah satu fakultas hukum di universitas yang ada di Yogyakarta. Hanya obrolan ringan, tapi cukup menyiratkan kalau dia sepertinya tidak terlalu nyaman dengan kehadiranku. Mungkin mengganggu waktu tidurnya? Entah. Hanya dia yang tahu.
Setelahnya bapak datang dan Mas Yudha kembali ke kamar. "Udah ngobrol sama Yudha?" aku mengangguk. "Dia memang gitu, suka sinis sama orang baru, mungkin trauma." bapak tersenyum ramah, aku hanya bisa mengangguk. "Gimana skripsinya, lancar?"
"Belum pak, masih kurang bahan. Baru mau cari lewat bapak." Aku tersenyum kikuk. Ya. Aku adalah salah satu mahasiswa tingkat akhir salah satu jurusan sastra bahasa Korea di salah satu universitas di Jakarta. Karena skripsiku membahas kerjasama antar negara, khususnya Indonesia Korea, akhirnya aku memutuskan kemari. Mengulas kerjasama yang dilakukan oleh Indonesia dan Korea di bidang HAM. Terdengar berat bukan, tapi ya memang itu bahasannya.
Bapak kemudian memulai ceritanya, kalau dia sempat ditahan di salah satu pulau di wilayah Timur Indonesia, selama kurang lebih 10-15 tahun. Cukup untuk membangun satu distrik-kata bapak. Di sana dia dipekerjakan bagai kuda-ungkapan ini aku cuplik dari iklan di tv nasional- tak pernah berhenti, seperti mesin motor yang tak pernah aus. Mirip iron man.
Membangun jalan, membuka lahan, menjadi petani, membangun jembatan. Semuanya-bahkan ia juga sempat menjadi salah satu perancang bangunan di sana. Katanya, di pengasingan itu tak mebutuhkan ijazah arsitek untuk bisa membangun jembatan.Â
Omong kosong apalagi ini. Ya. diasingkan. Itu yang bapak katakan. Tapi ia belajar banyak di sana, membangun banyak gedung-gedung kayu sebagai tempat tinggal. Serupa barak yang malah lebih mirip ke kandang ayam. Mencabangkan sungai secara paksa yang pada akhirnya malah terlihat seperti oase kecil yang kekeringan karena tak pernah terjamah air.
Sampai pada akhirnya, di sana, bapak juga belajar soal kehilangan dan merelakan. Dan yang paling sedih adalah ditinggalkan. Merasa sebagai pembunuh karena tak bisa melakukan apapun saat kawan sendiri sedang meregang nyawa.Â
Membiarkannya hingga nafasnya tak bersisa. Terlatih menjadi pembunuh-itu kata bapak. Makan pun sama. Jika pada hakekatnya manusia adalah omnivora, maka di pengasingan itu, bapak benar-benar menerapkan apa itu omnivora-pemakan segala. Termasuk bangkai. Tikus bahkan sudah serasa daging sapi dan ular itu serasa daging ayam, yang mudah ditemukan di pasaran.
Kisah itu kemudian ditutup dengan latar di salah satu sungai di Jawa Tengah. Katanya, di sana adalah muara terakhir dari kawan-kawannya menuju surga rasa neraka. Sarkas memang, tapi itulah yang dikatakan bapak. Ditodong dengan moncong senapan kemudian dibiarkan terjun bebas dari jembatan. Sangat menggugah adrenalin.
Aku melangkahkan kaki keluar rumah bapak dan ibu sekitar pukul 3 sore. Diantar bapak di bawah rintik hujan dengan payung hitam. Benar-benar suasana yang mendukung. Aku sendiri bingung harus merespon bagaimana. Sejujurnya aku malah tak mendapatkan banyak informasi dari bapak soal kerjasama yang dilakukan tapi setidaknya aku mendapat pelajaran tentang kehidupan yang bapak cecap. Biarlah, mungkin bapak juga perlu meluapkan emosi batinnya dan aku juga masih perlu banyak pembelajaran hidup.
Ada banyak pertanyaan yang muncul, apakah aku harus percaya atau malah menganggapnya angin lalu. Tak yakin jika aku harus percaya tapi untuk abai rasanya terlalu jahat, tak berperikemanusiaan sekali.