Sore ini aku akhirnya bisa melihat sunset setelah hampir seminggu sibuk dengan urusan pekerjaan. Ada rasa nyaman begitu aku bisa melihat pendaran warna oranye di langit sana, menenangkan. Seolah semua penat hari ini menguap begitu saja.
Ada banyak yang aku sukai dari sunset. Seperti saat ini. Cukup duduk sambil menikmati segelas teh di salah satu cafe terbaik di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, sambil menatap gugusan pulau-pulau yang tertimpa cahaya senja. Siluet kapal-kapal nelayan yang sempurna terlukis di perairan membuatku seolah menikmati lukisan alam yang benar-benar sempurna.
Aku meneguk tehku. Senyumku sedikit mengembang. Aku hampir lupa, tapi tidak benar-benar lupa. Hanya saja, mungkin kenangan itu sudah hampir terkubur dalam berkas-berkas kesibukan yang aku lakukan setiap harinya selama hampir tiga tahun belakangan.
Sore itu, senja pertama yang aku lihat saat aku sampai di Jogja. Hanya berawal dari rasa ingin tahu, banyak orang mengatakan kalau senja di Pantai Parangtritis sangat menawan. Apalagi kalau bisa menaiki delman di tepi pantai sambil ditemani kekasih hati, senjamu benar-benar sempurna. Sayangnya saat itu aku masih belum memiliki seseorang yang bisa dikatakan sebagai 'pacar' atau bahkan sekedar 'gebetan'. Yang setia menemaniku hanyalah sebuah DSLR tipe EOS 6D yang selalu aku bawa dengan sling berwarna jingga. Warna kesukaanku.
Waktu itu masih sekitar 17.15 WIB sampai akhirnya kuputuskan untuk duduk di hamparan pasir hitam yang tak terlalu jauh dari bibir pantai. Deburan ombaknya yang berdebam seolah seperti suara genderang, menandakan bahwa senja akan segera muncul. Aku memutuskan untuk beranjak, memotret sambil duduk tidak akan menghasilkan gambar yang memuaskan. Menurutku.
Saat itulah, ketika kamera DSLR mengarah tepat di arah jarum jam tiga. Di sana, seorang pria dengan kaos putih polos dipadukan dengan celana coklat kayu sebatas lutut yang terlihat begitu fokus dengan pemandangan laut sore di hadapannya. Dan aku sangat bersyukur dengan hal itu karena berkat gradasi warna langit yang menawan, dia terlihat begitu sempurna. Dan untuk pertama kalinya aku mengakui bahwa dia adalah ciptaan Tuhan kedua yang aku kagumi setelah senja.
Senyumku merekah sempurna, ketika lensa kameraku bisa mengabadikan sosok elok itu hingga muncul di layar DSLR hitam milikku. Aku selalu membenci semua aktivitas teman-temanku saat mereka terlihat begitu 'kepo' dengan cowok-cowok keren yang ada di media sosial.Â
Tapi sekarang, aku bahkan harus merutuki diriku karena aku hanya bisa mengambil satu gambarnya. Ini lebih parah dari sekadar 'kepo' tapi aku menikmatinya. Terlebih saat aku bisa melihat pergerakannya dari lensa kameraku. Siapapun dia-dia terlalu sempurna dan aku harap di senja esok aku masih bisa melihatnya.
Sunsetnya. Hampir saja aku melupakan nuansanya hanya karena sosok asing yang sudah benar-benar membuat semua rencanaku bubar seketika. Mengalihkan seluruh perhatian yang awalnya akan kucurahkan pada sunset di Parangtritis. Tapi maaf, karena sepertinya mulai hari ini, alasan lain aku kembali melihat senja bukan karena sunset tapi karena sosok jangkung yang kini tengah tersenyum di bibir pantai sana.
Senja kedua. Aku sedikit terlambat. Mataharinya hampir tenggelam. Sayangnya, entah karena logika yang tidak berfungsi atau memang otakku yang sudah tidak bisa bekerja dengan baik, tapi aku merasa matahari itu menjadi terlihat begitu utuh karena sosoknya. Iya. Dia. Kali ini dia mengenakan jaket hitam dengan lengan tergulung setengah, masih dengan jenis celana yang sama, hanya saja warnanya terlihat begitu tua.
Dia di sana. Berdiri tepat di depan sebuah delman yang bahkan kudanya saja terlihat begitu terpesona pada sosok yang tengah memotretnya. Dan kali ini, aku bahkan harus mengakui bahwa senja di Jogja semakin menarik karena keberadaannya. Dia terlihat seperti siluet pangeran yang dipotret dengan latar senja.
Aku kembali mengarahkan DSLRku ke arahnya. Lagi-lagi aku berterimakasih karena dia berdiri menghadap langit senja. Membuat pemandangan sunset hari ini begitu elok. Sangat elok. Jingga yang sempurna.
Senyumku mengembang. Bahkan mengambil fotonya dari belakang saja sudah terlihat begitu menarik. Dan ini yang aku takutkan. Dia menoleh ke arahku. Saat ini. Dia sedang menatapku, atau hanya aku yang terlalu berimajinasi, entahlah. Yang jelas, aku merasa kalau cowok itu berjalan ke arahku. Dengan sedikit-bahkan sangat sedikit- senyuman menawan yang sumpah demi apapun sudah membuat jantungku jumpalitan.
"Hai." Dia tersenyum ramah. Menurutku. "Suka fotografi juga?" dia menunjuk DSLRku.
Aku mengangguk.
"Orang Jogja?" dia kini mengambil tempat duduk di sebelahku.
"Bukan."
"Liburan?"
"Bisa juga dibilang gitu, cuma ngabisin waktu akhir minggu. Kamu?" aku balik bertanya.
"Sama, cuma ngabisin waktu akhir minggu." Dia lagi-lagi tersenyum. "Suka sunset juga? Atau sama objek di depan sunsetnya?" dia menunjuk ke arah layar DSLRku yang menampilkan fotonya yang sedang mengabadikan sunset.
Aku terkekeh. "Emang boleh suka sama dua-duanya?"
"Aku sih nggak keberatan." Dia mengedikkan bahunya, "Oh iya. Adit." Dia mengulurkan tangannya.
"Niar." Aku membalas uluran tangannya.
Sunset hari itu menjadi latar kami bercengkerama sampai warna langit benar-benar hanya menyisakan garis warna oranye yang didominasi jingga senja. Sunset hari itu juga menjadi sunset terakhir kami di Jogja. Karena setelahnya, aku langsung kembali ke Jakarta dengan penerbangan malam dan dia terbang ke Bali karena urusan keluarga.
***
Aku melirik arloji di tangan kiriku. Sebentar lagi sunset. Sunset pertamaku di Labuan Bajo. Aku kembali meneguk tehku. Bahkan air lautnya sudah seperti cermin kristal yang memancarkan warna senja.
Sudut bibirku sedikit tertarik ke atas begitu bola pijar di horison sana sudah mulai tenggelam. 10-9-8-.. tepat di hitungan delapan, aku menoleh begitu menyadari seseorang menarik kursi yang ada tepat di meja sebelahku.
"Ahh..hampir saja. Ahh..maaf, itu." Dia menunjuk ke arah sunset. "Aku hampir ketinggalan." Dia tersenyum tiga jari.
Aku terdiam. Sungguh. Bukankah ini sama seperti tiga tahun lalu, senja pertama di Jogja yang mempertemukan aku dengan Adit. Dan kali ini, sunset pertama di Labuan Bajo juga yang kembali mempertemukan kami.
Aku mengangguk. "Iya." Dan sepertinya, Adit benar-benar lupa dengan sosok di sampingnya saat ini. Niar...lagipula untuk apa dia mengingatmu. Bukankah kalian hanya dipertemukan oleh senja yang saat itu sedang berbaik hati kepadamu?
Senja hanya ingin memamerkan kalau ada sosok lain yang layak dikagumi selain dia. Dan saat ini, senja pula yang kembali mempertemukanku dengan sosok itu. Yah...ini mirip seperti kisah dari negeri dongeng tentang putri dan pangeran yang bertemu dalam binar senja.Â
Dalam rona jingga senja di Labuan Bajo juga aku bertemu dengan Adit, sosok pangeran dalam dunia nyata yang sempat aku kagumi, tapi sayangnya tidak bisa dimiliki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H