Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bincang Literasi, Buku dan Teknologi Digital di TVRI Aceh

26 Mei 2023   09:20 Diperbarui: 26 Mei 2023   09:27 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto TVRI Aceh

Oleh Tabrani Yunis

Hati ini selalu saja merasa bahagia tatkala diajak diskusi, talk show atau menjadi narasumber mengenai literasi, baik terkait hal minat membaca, mau pun soal menulis. Apabila ada yang mengajak untuk kegiatan-kegiatan itu, tak pernah ada keinginan untuk menolak. Bahkan, sebaliknya mengajak orang -orang untuk mendiskusikan hal itu di mana saja. Sering mengajak mahasiswa atau teman untuk mendiskusikan tema atau topik literasi di warung kopi, cafe dan sebagainya. Ini adalah kegiatan yang sangat penulis suka dan membahagiakan diri. Apalagi semangatnya selain membangun kesadaran bersama, juga sebagai wujud nyata dari indahnya saling berbagi apa yang kita tahu dan bisa, dengan harapan bisa memberikan manfaat sekecil apa pun.

Nah, hari Rabu, 24 Mai 2023 kesempatan emas kembali diperoleh. Rasanya kebahagiaan itu penulis dapatkan lagi, setelah sekian lam tidak muncul dalam acara serupa di TVRI. Nah, kali ini penulis diundang untuk berbincang soal “  minat baca dan olah informasi generasi Milenial” di stasiun televisi, TVRI Aceh yang berlokasi di kawasan Keutapang, Mata Ie, Banda Aceh. Dalam undangan yang penulis terima, acara yang bertajuk, Aceh Bicara” itu menghadirkan tiga narasumber, masing-masing-masing, Dr. Edi Yandra, S. Tp, sebagai kepala Dinas Arsip dan Perpustakaan Aceh, Ayu Ningsih, SH, M,Kn, yang selama ini dikenal sebagai praktisi dan  pemerhati anak, Tabrani Yunis sebagai pengamat pendidikan yang juga pegiat literasi dan dimoderasi oleh presenter TVRI, Ida Fitriani.

Namun, hari ini Pak Dr.Edi Yandra tidak bisa hadir.dan digantikan dengan Pak Zulfadli mewakili Kadis Arsip dan perpustakaan. Kabarnya beliau sedang ada tugas di luar kota. Tentu bukan menjadi masalah karena Beliau mengirimkan wakil untuk memperlancar kegiatan bincang ini.  Posisi duduk kami, pak Zul dengan seragam putih, duduk di samping kanan penulis, karena penulis sendiri duduk di bagian tengah sofa.  Sementara Ayu Ningsih menempati sofa sebelah kiri penulis. Suasananya membuat bincang-bincang menjadi interaktif. Tepat pukul 16.05 WIB bincang-bincang soal minat baca pun dimulai dengan diawali oleh presenter TVRI Aceh, Ida Fitriani.

Sang peesenter, Ida Fitriani mulai memberikan pemanasan perbincangan dengan memaparkan kondisi terkini tentang minat baca di kalangan generasi milenial saat ini. Lalu, kemudian melemparkan pertanyaan kepada Pak Zul yang selama ini bergelut dengan aktivitas dunia membaca, literasi dan perpustakaan dan arsip di Dinas  arsip dan Perpustakaan Aceh. Ada cerita menarik dari bangunan perpustakaan Wilayah Aceh saat ini. Perpustakaan yang konon mengalami proses modernisasi sebagai upaya untuk beradaptasi dengan tuntutan era digital dan kebutuhan generasi abad ini. Benar bahwa secara fisik gedung dan fasilitas  perpustakaan wilayah atau daerah ini berubah pesat. Secara fungsi pun, seperti dijelaskan Pak Zul, kini lebih fungsional yang dahulunya sebagai tempat melayani para pengunjung yang ingin membaca atau meminjam buku-buku, kini fungsi itu bertambah. Tidak lagi sekadar tempat membaca dan meminjam buku, tetapi dikembangkan menjadi mal membaca, rekreasi serta juga lebih inklusif. Pokoknya, perpustakaan milik pemerintah ini mengklaim sudah banyak melakukan kegiatan dan program untuk meningkatkan minat membaca masyarakat. Menarik bukan?

Ya, tentu saja sangat menarik untuk disimak dan didiskusikan. Maka, bagi penulis sendiri kegiatan bincang masalah minat baca dan olah informasi generasi Z atau pun generasi milenial ini terasa sangat menarik  dan sangat penting untuk dibicarakan dan terus digemakan. Mengapa demikian?  Tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi terhadap alasan tersebut.

Pertama, secara pribadi dan organisasi ( institusi), isu literasi merupakan isu yang menjadi concern pribadi dan organisasi yang penulis jalankan. Isu yang menjadi perhatian dan keprihatinan selama bertahun-tahun bahkan puluhan tahun, memotivasi, mengajak kaum perempuan akar rumput, ketika mulai melibatkan diri dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat lewat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Center for Community Development and Education (CCDE ) yang concern dan bekerja memberdayakan dan penguatan perempuan dan anak dari keluarga miskin, marginal dan miskin secara intelektualitas yang menyebabkan perempuan mengalami diskriminasi dalam segala bidang kehidupan. Begitu pula dengan kondisi anak-anak miskin yang marginal.

Kedua, sebagai praktisi pendidikan, yang berlatar belakang pendidikan keguruan, dan menjalankan profesi sebagai guru, dan dosen, penulis terlibat dalam upaya mencerdaskan bangsa dengan menjalani profesi sebagai guru yang mulai mengajar di jenjang SD, SMP, SMA, Akademi dan bahkan level Universitas. Selama menjalankan peran itu, penulis menemukan banyak fakta yang membuat hati merasa galau, desah dan gelisah melihat realitas membaca peserta didik yang terus tergerus oleh banyak faktor, baik internal, maupun eksternal. Minat membaca di kalangan peserta didik yang belum sempat mekar, kini mulai layu sebelum berkembang. Kondisi ini sangat membahayakan masa depan generasi ini. Padahal, sebuah proses pembelajaran atau proses pendidikan akan berjalan dengan baik dan sukses bila semua elemen pendidikan memiliki minat, daya dan budaya membaca yang tinggi. Sebab, bila minat membaca, kemampuan membaca atau daya membaca serta budaya membaca tinggi, pasti kualitas sumber daya manusia (SDM) bangsa Indonesia juga tinggi. Tidak berada pada deretan terendah. Ironisnya, minat membaca bangsa ini jauh tertinggal dibanding bangsa-bangsa lain di dunia. Begitu pula halnya dengan Aceh. Sayangnya tidak ada data mutakhir tentang minat baca yang idealnya data tersebut juga harus ada sesuai dengan perkembangan zaman. Misalnya, perpustakaan daerah punya data yang bisa dijadikan rujukan untuk menilai atau mengukur perubahan minat membaca dan sejenisnya.

Ke tiga, sebagai orang tua yang memiliki anak yang masih tergolong generasi milenial atau bahkan generasi A, merasa sangat khawatir dengan kondisi rendahnya minat membaca dan rendahnya kemampuan literasi serta perubahan perilaku anak yang semakin malas membaca. Kegiatan membaca sudah dikalahkan oleh kehadiran gadgets yang sangat menarik dan memanjakan anak berselancar untuk kepentingan hiburan atau entertainment. Anak-anak semakin sulit diajak membaca. Mereka lebih menggandrungi hiburan, selfie, dan game. Kondisi ini akan memperburuk kualitas SDM generasi milenial yang hanya melek teknologi, tapi miskin dengan kemampuan literasi. Oleh sebab itu, dengan melibatkan diri atau mengadakan kegiatan diskusi atau bincang mengenai minat membaca, dan literasi, mungkin akan bisa membangun kesadaran bersama bahwa rendahnya kemampuan literasi generasi ini akan membawa dampak yang paling besar bagi generasi bangsa ini.

Ke empat, sebagai warga masyarakat yang peduli dan merasa prihatin dengan kondisi ini, maka bincang-bincang ini menjadi menarik dan penting agar sekalian bisa mengajak semua elemen, merasa perlu dan penting membangun kesadaran bersama bahwa rendahnya minat membaca, rendahnya kemampuan literasi itu adalah wajah kebodohan bangsa. Juga wajah rendahnya peradaban anak bangsa ini. Oleh sebab itu menjadi perlu membangun gerakan literasi anak negeri ini, dengan menjadikan literasi sebagai kebutuhan bersama dan rendahnya kemampuan literasi adalah musuh bersama, yang harus dipikirkan bersama dan diupayakan bersama agar anak-anak generasi mendatang tidak menjadi generasi yang kosong ilmu pengetahuan dan akhlak.

Ke lima, sebagai seorang muslim, penulis merasa punya tanggung jawab, sebagaimana halnya umat Islam lainnya ikut taat akan perintah Allah. Bahwa Allah telah memerintahkan Nabi Muhammad untuk ber-iqra. Oleh sebab itu, sebagai bagian dari umat muslim penulis pun sesungguh punya kewajiban untuk menyampaikan kepada generasi bangsa bahwa membaca, membangun kemampuan literasi adalah wajib, bila ingin meningkatkan kualitas diri, keluarga, lembaga pendidikan dan masyarakat umumnya. Dengan demikian generasi milenial bisa menjadi generasi yang berilmu, terampil dan berakhlak mulia.

Nah, bila kita mengidentifikasi landasan pikir mengapa hal itu menarik, penting dan sangat perlu dibicarakan, maka akan banyak alasan yang tergali. Namun, bincang minat baca dalam acara Aceh Bicara ini, tentu tidak semua hal akan terpaparkan. Apalagi durasi waktu untuk acara tersebut hanya satu jam, belum dikurangi iklan dan panjangnya penjelasan yang mungkin saja bisa lari fokus diskusi atau perbincangan.

Namun, dari perbincangan singkat itu kita selayaknya bisa mengambil hikmah, best practice atau pembelajaran baik dari kegiatan ini. Misalnya, kegiatan bincang ini merupakan kegiatan yang dilakukan secara sadar yang disebabkan oleh sikap peduli ( Care) terhadap masalah anak bangsa yang sedang dirundung bahaya kemiskinan literasi. Perbincangan ini juga merupakan bentuk upaya untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya membangun minat membaca yang merupakan bagian dari kemampuan literasi itu. Perbincangan ini, paling tidak telah menjadi lonceng pengingat bahwa bangsa ini, terutama generasi milenial, generasi A atau seterusnya sebagai pemilik zaman ini, sedang dihadapkan pada kondisi yang berbahaya, karena mengabaikan literasi yang sesungguhnya adalah kebutuhan yang menjadi amunisi untuk membangun bangsa atau generasi yang cerdas dan berakhlakul karimah.

Kemudian, sebagaimana disebutkan di atas bahwa masalah rendahnya minat membaca di kalangan generasi sekarang, generasi milenial adalah masalah kita bersama. Oleh sebab itu, diperlukan upaya bersama untuk membangun kesadaran bahwa membangun kemampuan literasi adalah kebutuhan bangsa ini agar bisa menjadi bangsa yang cerdas, terampil dan berakhlak mulia serta mampu bersaing dengan masyarakat dunia atau global.  Tak dapat dimungkiri bahwa rendahnya minat membaca, rendahnya budaya membaca, rendahnya kemampuan literasi pada level literal, analitis dan kontemplatif adalah kondisi yang sangat berbahaya bagi bangsa ini, yang konon mendapat bonus demografi. Apa artinya bonus demografi apabila generasi ini lemah dalam kemampuan literasi?

Oleh sebab itu, selayaknya kuta peduli, sadar, terpanggil untuk bangkit dari keterlenaan tipu daya teknologi yang memanjakan dan mematikan kesadaran akan pentingnya literasi untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Semua pihak harus sadar bahwa penting membangun kembali kesadaran seluruh elemen masyarakat dan pemerintah untuk secara sinergis  membangun  minat baca dan kemampuan literasi, baik pada level leteral, analitik maupun kontemplatif.

Mengingat bahwa masalah literasi adalah masalah kebutuhan dasar setiap orang, dan masalah setiap orang serta menjadi masalah setiap keluarga, suku dan bahkan agama dan negara, maka diperlukan langkah serius untuk upaya ini, kecuali kita ingin dan suka dengan kondisi bangsa yang bakal jadi pecundang kini dan di masa depan. Oleh sebab itu, sekali lagi  diperlukan upaya serius membangun sinergi antar pihak, antara semua pihak mulai di keluarga, sekolah dan masyarakat. Semua bisa mengambil peran dan berpartisipasi secara aktif membangun kemampuan literasi anak bangsa, generasi kini dan esok.

Dengan demikian, ketika kemampuan literasi anak negeri  terbangun dengan optimal, harapan agar generasi milenial mampu bersaing dengan bangsa lain di dunia, akan bisa terwujud. Tentu ada banyak cara atau strategi yang bisa ditempuh, bila semua mau, berkomitmen serta didukung oleh political Will pemerintah yang kuat, paling tidak kita bisa mengantisipasi bahaya kemiskinan literasi yang bakal dihadapi oleh generasi milenial, kini dan di masa depan.

Kita sayang menyaksikan rendahnya minat membaca, yang telah ikut berkontribusi terhadap matinya perpustakaan, taman bacaan serta sepinya pasar buku yang katanya karena perubahan zaman. Padahal, buku dalam bentuk apa pun wujudnya tetap harus ada. Tidak sepatutnya pula toko buku-toko buku serta perpustakaan yang menyediakan buku harus gulung tikar dan tutup.

Di sinilah pentingnya membangun kembali kesadaran untuk membangun minat membaca. Pokoknya, bila kita sadar dan mau, banyak hal yang bisa kita upayakan secara bersama. Kuncinya adalah komitmen setiap orang untuk meningkatkan minat membaca dan kemampuan literasi anak negeri harus selalu diupayakan dan terjaga.

Pihak pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap upaya mencerdaskan bangsa, harus dengan serius membangun gerakan literasi di semua sektor, termasuk sektor pendidikan. Ya, sekali lagi “ kita harus bangkit. Bangkit bersama dari kebodohan, kemiskinan literasi agar mampu membangun bangsa yang cerdas dan bermartabat serta beradab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun