Foto by Tabrani yunis, in Helsinki
Oleh Tabrani Yunis
Â
Hari ini, tanggal 4 Desember 2021, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melakukan kegiatan perayaan hari Milad GAM yang ke 45.  Tanggal 4 Desember merupakan tanggal yang dijadikan atau diperingati sebagai hari atau tanggal milad atau lahirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pagelaran acara milad tersebut banyak tersebar di media, termasuk Serambinews.com yang melaporkan kegiatan itu dari  Meureu, Indrapuri, Aceh Besar dengan mengambil tempat di kompleks makam DR. Hasan Ditiro. Dari laporan live Serambinews.com, bisa kita saksikan pagelaran kegiatan yang diwarnai dengan salawat badar dan berjalan aman itu.Â
Amannya penyelenggaraan kegiatan itu, tidak terlepas dari nikmat kedamaian yang telah disepakati dalam memory of Understanding (MoU) Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005 di Vantaa, Finlandia. Kesepakatan perdamaian yang mengantarkan Aceh kembali menjadi kawasan yang aman dan damai. Damai yang merupakan rahmat Allah yang telah membuka mata hati kedua belah pihak yang bertikai selama puluhan tahun itu, terlaksana dengan baik, lewat ujian Allah berupa tsunami di Aceh.
Tentu sangat kita apresiasi segala inisiasi dan usaha semua pihak yang telah mengantarkan Aceh kembali menjadi daerah yang aman, damai yang ditandai dengan kembali beraktivitas semua elemen bangsa di daerah ini, termasuk untuk melakukan aksi pemberian bantuan pasca bencana tsunami yang telah meluluhlantakan sebagian besar wilayah pesisir Aceh saat itu.Â
Berjalannya acara peringatan Milad GAM hari ini yang berjalan lancar dan damai ini juga menjadi sebuah indikator bahwa damai yang berkelanjutan itu kini masih bisa dinikmati oleh masyarakat Aceh dan juga masayarakat dari luar Aceh. Sejak ditandatanganinya MoU Helsinki, udara damai, hidup tanpa rasa takut, seperti di masa konflik terus berangsur hilang. Hingga tak salah, kalau dikatakan " Damai itu Indah"
Karena damai itu indah, idealnya suasana damai yang sudah kita peroleh, tidak terganggu lagi oleh hal-hal yang merusak perdamaian. Perdamaian yang sudah diperoleh harus dipertahankan secara maksimal oleh seluruh elemen bangsa, baik yang berada di Aceh, maupun yang di luar Aceh. Oleh sebab itu, harus ada upaya-upaya serius, konsisten dan berkelanjutan untuk menjaga dan merawat damai Aceh yang sudah bersemi dan terasa begitu nikmat ini.
Pihak pemerintah, lewat lembaga-lembaga pendidikan, wajib memberikan edukasi berupa peace education,dan program-program atau kegiatan-kegiatan yang bersifat meenjaga dan merawat perdamaian. Hal ini penting agar anak-anak generasi bangsa yang telah merasa betapa pedihnya hidup di masa konflik, tidak mengulangi lagi konflik yang menyengsarakan itu. Begitu juga halnya dengan generasi milenial yang mungkin tidak mengetahui betapa mahalnya harga sebuah konflik, serta betapa menderitanya hidup di daerah konflik, perlu diberi pengetahuan tentang pengalaman hidup dalam konflik. Strateginya tentu bisa banyak, sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini.
Bagi generasi tua, pasti akan dengan mudah mengingat konflik Aceh yang berkepanjangan dan memilukan, selain konflik lain di Papua dan juga konflik berbeda di Ambon. Ya, kebanyakan masyarakat Indonesia selama ini pasti tahu bahwa daerah atau provinsi yang memiliki sejarah konflik berkepanjangan adalah Aceh. Bisa jadi ini adalah sejarah konflik yang begitu kelam di Tanah rencong, Aceh adalah wilayah yang dalam sejarah banyak bergejolak dan bagai unfinished story. Bayangkan lebih 30 tahun daerah ini terlibat konflik yang sangat menyengsarkan rakyat dan seluruh elemen masyarakat di Aceh. Sehingga banyak elemen masyarakat yang merindukan datangnya damai.Â
Banyak yang berdoa agar Aceh menjadi daerah damai. Berbagai inisiasi damai diupayakan, yang melibatkan banyak pihak sebagai mediator, baik dari dalam negeri, maupun luar negeri. Ada dari kalangan pemerintah, dan bahkan organisasi internasional seperti Hendry Dunan Center, UNHCR, UNDP, dari badan PBB. Begitu banyak upaya yang dilakukan, namun damai bagai tak kunjung tiba.
Baru ketika Allah mendatangkan musibah bencana gempa dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004, benih-benih perdamaian yang telah ditaburkan oleh para peace makers yang concern untuk mengembalikan Aceh sebagai daerah yang damai, baldatun taibatun warabbul ghafur, bersemi dengan melibatkan kehadiran organisasi masyarakat sipil dari Finlandia, yakni Crisis Management Inisiative (CMI) yang berada di bawah kepemimpinan President Finlandia, Marthii Ahtisaari.