Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Diskusi Inspiratif

6 Mei 2020   14:55 Diperbarui: 6 Mei 2020   14:58 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Pribadi Tabrani Yunis

Selama ini, kita asyik menghabiskan waktu membuat dan merespon status teman-teman FB. Isi  atau content statusnya ada bermacam ragam, terserah kita. Apalagi FB selalu bertanya, Apa yang ada dalam pikiran anda, atau what do you think? Pertanyaan itu mendorong setiap orang ingin menulis status, ingin berbagi cerita dan foto yang bisa diakses oleh banyak orang dan bahkan secara global. Isi atau content di laman FB atau media social tersebut juga sangat beragam. Ada yang menulisnya dengan singkat, ada pula yang panjang-panjang.

Ada yang menarik untuk disimak, ada pula yang tidak menarik sama sekali. Bahkan tidak sedikit isi status FB yang membuat sakit hati.  Tidak sedikit pula orang yang menggunakan media social untuk aksi-aksi kejahatan, yang kemudian kita kenal dengan sebutan cyber crime. Ya, itulah mungkin fungsi facebook yang hadir di era digital ini.

Semua orang menggunakan facebook, tua dan muda, bahkan walau pun dilarang, ada banyak anak yang belum diperbolehkan menggunakan facebook, memiliki akun facebook. Biasanya ia mencari berbagai cara untuk juga bisa eksis di media social. Tentu bukan hanya facebook, ada media social lain dengan maksud untuk fungsi social, bisnis dan sebagainya.  

Jadi, tak dapat dipungkiri bahwa kehadiran berbagai media social di era digital ini, memberi banyak manfaat dan juga mudharatnya. Sangat tergantung pada siapa penggunanya. Nah, pagi ini, usai sahur, seperti dilakukan banyak orang, penulis juga membuat status di FB dan ikut merespon status teman-teman.

Sudah pasti, kalau tidak mau memberikan pendapat atau komentar, cukup dengan like atau memberikan tanda emoji, atau kalau itu dianggap penting dan perlu dibagi (share), akan banyak pula yang mau share, apalagi pada persoalan-persoalan sensitive, seperti sensitifitas agama, soal politik, budaya atau kriminalitas, pasti ada dan banyak yang menyebarkannya, tidak peduli apakah itu berita benar atau bohong, alias hoax.

Yang penting, share and share. Bukan hanya di facebook, tetapi juga lewat Whatsapp yang penggunanya semakin banyak. Media social, sesuai dengan namanya menjadi media tempat orang-orang mencurahkan perasaan, masalah dan ide serta apa pun yang diinginkan.

Bahkan tidak jarang digunakan untuk hal-hal negative yang berbau pornografi dan porno aksi, yang kemudian disikapi dengan melakukan control oleh pihak yang berwenang. 

Ketika terlibat merespon status teman-teman di media social, baik facebook, maupun Whatsapp, ada keinginan untuk memberikan inspirasi, mengajak teman-teman berdiskusi yang sifatnya lebih inspiratif dan produktif dan bahkan solusif. Namun, karena teman-teman diskusi di media social begitu beragam dan tidak banyak yang mau menguras pikiran, karena mungkin tidak dianggap penting, diskusi-diskusi yang inspiratif, solusif dan produktif, jarang didapat. Kecuali kalau sudah berisi hal-hal yang menyinggung pribadi dan sensitive agama, suku dan lain-lain.

Itu biasanya ramai, namun bukan dalam bentuk diskusi, tetapi debat yang bahkan tidak jelas lagi ujung pangkalnya. Idealnya, dengan tersedianya fasilitas internet dan media social dengan jangkauan global tersebut, diskusi-diskusi di media social bisa lebih inspiratif, solusif dan produktif, karena para peserta yang terlibat bisa lebih banyak dan beragam.

Selain itu juga lebih mudah. Namun, realitasnya model-model diskusi yang demikian terasa sulit ditemukan. Hal ini mungkin disebabkan oleh perilaku peserta diskusi tidak dapat dikontrol dan tidak dalam bentuk tatap muka. Berbeda dengan diskusi-diskusi yang tidak menggunakan media social. Maka, ketika berbicara soal diskusi yang inspiratif, solusif dan inspiratif, penulis teringat ke masa lalu, kala belum menjamurnya penggunaan media social.  

Ingatan itu kemudian menjelma menjadi sebuah kerinduan akan hangat dan manfaat diskusi-diskusi yang ada. Ya, penulis kala itu, terutama pasca bencana tsunami Aceh, organisasi yang penulis pimpin, Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh yang bekerja memberdayakan perempuan dan anak, banyak mengadakan kegiatan diskusi. Kegiatan diskusi bulanan (monthly discussion series), Focus group discussion (FGD) yang dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan kaum perempuan dan anak, meningkatkan ketrampilan berbicara dan berfikir kritis, serta sikap berani berbicara di depan public. 

Jadi kegiatan diskusi bulanan seperti ini, walau peserta diskusi adalah ibu-ibu rumah tangga, remaja putri dengan latar belakang pendidikan yang tidak begitu tinggi, diskusi-diskusi tersebut terasa sangat inspiratif, solusif dan menjadi sangat produktif, karena peserta diskusi dan penulis sendiri banyak mendapatkan inspirasi dari proses diskusi.  Inspirasi untuk menulis dan sebagainya.

Bahkan di kalangan perempuan yang selalu dilibatkan dalam diskusi tersebut memperlihatkan perkembangan yang sangat berarti, banyak di antara mereka yang sebelumnya sulit berbicara di ruang public, kemudian muncul sebagai sosok yang berani menyampaikan pendapat dan menjadi penggerak di masyarakat. 

Selain itu,  bagi penulis sendiri yang juga  banyak terlibat dalam kegiatan diskusi, sebagai peserta diskusi di berbagai level diskusi, baik di Aceh, maupun di luar Aceh, bahkan dalam diskusi internasional, diskusi-diskusi itu memberikan banyak inspirasi dan alternative solusi. Bahkan, untuk pengembangan diri (self development), membuat penulis menjadi lebih produktif dalam menulis, karena menemukan ide-ide menarik dalam diskusi tersebut.

Apalagi setelah diskusi tersebut mendapat hal-hal baru, sehingga ketika mendapat undangan sebagai nara sumber, bahan-bahan diskusi tersebut menjadi bahan pengayaan dalam kehidupan. Kini, sejalan dengan perkembangan zaman, yang seharusnya kegiatan diskusi-diskusi yang tatap muka tersebut, perlu diperbanyak, karena dengan adanya rangkauan diskusi semacam itu, ada banyak dampak positif bagi peserta. Misalnya, dengan berdiskusi tersebut aspirasi peserta tersampaikan atau tersalurkan.

Juga diskusi tersebut merupakan arena untuk melatih kemampuan public speaking para peserta. Sehingga kegiatan diskusi seperti ini menjadi sangat inspiratif dan mencerdaskan serta membangun keberanian dalam mengeluarkan pendapat secara teratur dan santun. Namun, di era kemajuan teknologi digital ini, perlu dipadukan dengan keberadaan berbagai aplikasi yang berkembang.

Misalnya dengan sesi-sesi Zoom atau yang lainnya. Yang penting, diskusi-diskusi tersebut mampu menginspirasi peserta, sehingga peserta menjadi produktif dalam mengekspresikan pikiran atau ide-ide yang kemudian bisa dibagi kepada khalayak ramai. 

Apalagi  di bulan Ramadhan dan di tenngas gencarnya sebaran wabah covid 19,  penggunaan media sosial dan aplikasi digital adalah kebutuhan untuk menyalurkan aspirasi dan inspirasi masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun