Apa yang dikemukakan oleh Yuswohadi di atas, fakta-fakta nyata bisa kita temukan saat ini di kalangan kaum milenial yang masih berada dan belajar di lembaga- lembaga pendidikan di berbagai tingkat atau level.
Kaum milenial yang tengah berada di Universitas, sudah memperlihatkan fenomena dan realitas ekstrim dalam budaya belajar. Mereka kuliah, tetapi tidak membaca.
Bagaimana bisa dikatakan mereka belajar, apabila aktivitas membaca tidak dilakukan? Bila begini tarah papan, maka ke barat juga akan condong, kalau begini perilaku mahasiswa sekarang, menganggur jugalah akan dialami.Â
Agaknya, melihat fenomena dan  realitas rendahnya minat,  kemampuan atau daya membaca mahasiswa masa kini, tidak boleh dibiarkan terus menurun. Harus ada upaya-upaya serius dari semua pihak, orang tua dan dunia pendidikan di semua  jenjang pendidikan.
Upaya-upaya tersebut, harus dilaksanakan dengan hati-hati, mengingat perbedaan generasi, membutuhkan strategi yang berbeda, sejalan dengan perubahan perilaku generasi milenial saat ini.
Para orang tua, guru, dosen dan praktisi pendidikan harus memahami cara belajar kaum milenial, lalu menyesuaikan strategi dan metodologi pembelajaran dengan perilaku milenial yang sedang dilanda pengaruh gadget yang mengurangi atau bahkan mematikan minat dan kemampuan membaca.Â
Upaya membangun kesadaran mahasiswa milenial dapat dilakukan dengan mengajak mereka menidentifikasi masalah-masalah kebiasaan belajar, cara belajar dan tujuan atau bahkan visi mereka di masa depan yang penuh dengan aksi disrupsi ini.
Pihak universitas tidak boleh lalai dan mengabaikan fenomena atau realitas ini. Universitas harus lebih giat merancang stategi baru yang dapat menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan literasi para mahasiswa di kampus masing-masing.
Bahkan melakukan penelitian atau survey minat baca di masing-masing universitas yang hasilnya diumumkan ke publik, agar setiap orang tahu kondisi ril kemampuan literasi mahasiswa tersebut.
Haidar Bagir, dalam bukunya " Memulihkan Sekolah, Memulihkan Manusia" mengingatkan bahwa dalam pendidikan kita, pendidikan bahasa bersifat krusial khususnya sebagai sarana untuk pengembangan minat baca yang mendukung upaya perluasan horizon dan peningkatan kemampuan literer (sastrawi).
Tentu pihak universitas lebih ahli dalam hal ini. Kita tunggu hasil kajian setiap universitas, baik di Aceh, maupun di luar Aceh. Kepada mahasiswa kita  berpesan " membacalah".