Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sertifikasi Pernikahan, Membangun Ketahanan Keluarga

20 November 2019   01:28 Diperbarui: 20 November 2019   01:33 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Tabrani Yunis

Sikap skeptis itu langsung muncul ketika membaca ada berita mengenai Sertifikasi Perkawinan, sebuah kebijakan yang diwacanakan oleh Menko PMK, Muhajir Effendi di media, termasuk di Kompasiana. Mengapa demikian? Ya, sikap yang muncul untuk mempertanyakan sesuatu yang dirasakan masih meragukan terhadap sebua wacana atau kebijakan yang mungkin akan diberlakukan. 

Jadi, terus terang, ketika membaca judul berita mengenai sertifikasi pernikahan atau perkawinan  tersebut, pertanyaan pertama yang muncul adalah ini kebijakan apa-apaan? 

Bahkan, lebih lanjut bertanya sambil klaim mengapa Menko yang satu ini mewacanakan hal atau kebijakan yang aneh-aneh? Lalu, muncul pula prasangka buruk, jangan-jangan ini kebijakan yang tidak populis dan hanya atau sekadar mencari popularitas. Begitulah pertanyaan dan prasangka yang muncul kala membaca hal ini.

Kelihatannya, sikap   ini sangat umum dan lazim di dalam masyarakat kita. Syukur-syukur kalau  sikap skeptis itu muncul, ketika sudah membaca, memahami dan menganalisisnya, baru disikapi secara skeptis. Namun, sayangnya pula, berita atau wacana itu belum tuntas dibaca, belum difahami atau dimengerti, apalagi dianalisis? 

Ya, sudah langsung memberikan respon yang bukan hanya sekadar menertawakan, tetapi langsung memberikan banyak komentar. Begitulah yang terjadi dalam menyikapi wacana sang Menko, Muhajir Effendy ini.

Penulis sendiri pun, sebelum memahami dengan benar tentang wacana ini, langsung memberikan komentar ketika ada yang bertanya, perlukan sertifikasi perkawinan? 

Tanpa memahami dengan benar, tanpa melakukan kajian atas wacana tersebut, penulis langsung menjawab tidak perlu dan bertanya pula, untuk apa buku nikah yang sudah di tangan?  

Bukan hanya itu, bahkan muncul dalam pikiran bahwa Pak Muhajir Effendy  terbawa pikiran dengan program serifikasi guru, karena beliau sebelumnya adalah menteri Pendidikan dan Kebudayaan, republik Indonesia. Pertanyaannya kemudian, apakah yang dimaksudkan dalam wacana tersebut demikian?

Eh, ternyata tidak. Jujur saja, penulis baru kemudian memahami wacana tersebut, setelah membaca secara tuntas, mencerna dan kemudian menganalisisnya. Buku nikah, tidak perlu dibenturkan dengan sertifikasi atau bimbingan ptanikah. 

Maka, setelah memahami konsep yang ditawarkan,  muncul kesadaran baru dengan memberikan jawaban bahwa program bimbingan pranikah yang diberikan kepada kedua calin mempelai, baik mempelai laki-laki, maupun perempuan itu perlu. 

Dikatakan perlu, karena sesungguhnya menikah itu adalah sebuah langkah besar untuk membangun bahtera keluarga dan akan berlangsung seumur hidup. Artinya sebuah pernikahan akan menentukan arah dan kualitas keluarga. 

Jadi, untuk membangun sebuah keluarga yang ideal, yakni keluarga yang sakinah, mawaddah dan warrahmah itu, seharusnya tidaklah cukup dengan wejangan yang berlangsung hanya setengah jam, atau paling lama satu jam. Itu sangat singkat dan tidak banyak memberikan dampak terhadap ketahanan keluarga. 

Oleh sebab itu, bimbingan pranikah harus dilakukan lebih lama, sehingga kedua calon mempelai benar-benar tahu, faham dan bisa membangun visi dan misi keluarga yang akan mereka bangun. 

Namun, apakah perlu adanya sertifikat sebagai bukti bahwa mereka sudah layak menjadi mempelai atau suami isteri? Itu adalah hal lain yang perlu dipertimbangan.

Apabila harus memiliki sertifikat, prosesi sebuah pernikahan akan dirasakan sebagai syarat yang memberatkan banyak orang. Bukan saja memberatkan, tetapi ada kekhawatiran atau ketakutan, apabila setelah dibimbing dan dites, lalu tidak mendapatkan nilai yang layak, lalu pernikahan ditunda, karena belum memperoleh sertifkat. 

Hal ini pasti akan menjadi batu sandungan. Namun, apabila keharusan untuk mengikuti bimbingan pranikah selama tiga bulan tersebut, dianggap penting.

Apalagi, dalam bimbingan tersebut tidak hanya bimbingan agama, seperti mengajarkan kemampuan mengaji ( bagi umat Islam), tetapi juga membekali kedua mempelai dengan pengetahuan dan ketrampilan tentang pentingnya menjaga kesehatan reproduksi, tentang penyakit menular dan berbahaya yang mungkin bisa tertular pada suami isteri serta persoalan nutrisi dan stunting.  

Ini jelas sangat penting, demi membangun dan menjaga ketahanan keluarga. Karena selama ini, banyak kasus penularan penyakit berbahaya dan menular,  yang tidak dikethaui oelh kedua pihak. Juga banyak kasus perceraian dan lain sebagainya, karena tidak sesuai dengan visi dan misi membangun keluarga tersebut. 

Oleh sebab itu, wacana kebijakan sertifikasi pernikahan yang dimaksudkan tersebut, perlu mendapat dukungan dari semua pihak. sebab, apabila program ini dilaukan dengan benar, maka keluarga yang sehat dan kuat serta terbebas dari segala macam penyakit merupakan salah satu pertimbangan untuk mendorong agar program itu penting diwujdukan agar setiap keluarga bisa bertahan dengan baik, karena memiliki ketahanan keluarga.

Ya, selayaknya kita menunggu konsep dan kebijakan yang jelas dari Menko, Muhajir Effendy tersebut. Mari kita dukung bersama demi terciptanya susasan  keluarga yang memiliki ketahanan keluarga yang prima.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun