Nasib media cetak seperti surat kabar, majalah dan tabloid  di era digital, ibarat kerakap tumbuh di batu. Ya, hidup enggan, mati tak mau.  Banyak sekali media cetak tersebut yang terpaksa gulung tikar, terpaksa berhenti terbit dan beredar, juga yang dengan sigap beralih mengikuti arus perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ( ICT) yang berkembang dengan sangat pesat.
Begitu banyak media cetak di tanah air yang dahulunya berkibar dan tersebur ke sekuruh pelosok tanah air, tumbuh dan berkembang begitu pesat.
Ada majalah perempuan, majalah Politik, majalah olah raga, hobbi dan sebagainya. Namun,kini satu per satu redup dan bahkan berhenti terbit.
Bukan hanya majalah, tetapi juga terbitan seperti surat kabar dan tabloid. Bukan hanya media- media kecil yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit kecil dengan modal kecil atau modal dengkul, tetapi juga media yang diterbitkan oleh raja media, dengan alasan tertentu terpaksa berhenti terbit.
Padahal, media cetak  yang terbit di ibu kota, memiliki sumber pembiayaan dari banyak mata air, terutama iklan - iklan dari berbagai perusahaan, pemerintah dan swasta lainnya sangat banyak. Namun, sekali lagi, nasib media cetak memang berakhir mengikuti arus disrupsi yang begitu kencang.
Nasib serupa juga dialami oleh banyak media cetak di daerah, temasuk di Aceh. Di Aceh, pasca bencana tsunami, Â banyak sekali terbit media cetak.
Mungkin saat itu, banyak pihak yang punya modal besar dan punya keinginan untuk memiliki media cetak, sehingga surat kabar, majalah, tabloid dan juga biletin terbit seperti jamur yang tumbuh di luar musim, namun karena latar belakang terbitnya adalah bisnis, ketika sekali, dua kali terbit tidak mendapat respon positif dari pasar, pada edisi ke tiga langsung berhenti. Karena yang namanya bisnis, kalau penerbitan tidak ada untung atau benefit,ya pilihan terbaik adalah segeralah berhenti, sebelum kerugian material dan immaterial semakin besar.
Ya, itu adalah jalan terbaik dalam bisnis apa saja. Apalagi media. Kalau terbit tanpa ada dukungan pembiayaan dari iklan atau pariwara, hasil penjualan, tidak bisa diandalkan.
Padahal, apabila kita melihat dari 3 keajegan sebuah media, adanya kontributor ( yang mengisi konten, seperti tulisan dan lain-lain), ada sumber keuangan yang stabil dan dan idealisme yang kuat, banyak yang masih bisa bertahan. Â Ini banyak di pusat kekuasaan atau pusat ibu kota. Sementara di daerah keajegan itu timpang.
Di antara sekian banyak media cetak yang terbit di Indonesia, di Aceh ada dua majalah yang terbit dengan orientasi yang berbeda. Terbit sebagai media edukatif, ya sebagai media pembalajaran.