Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membangun Budaya Literasi Anak Negeri Itu Tanggung Jawab Semua

28 Februari 2019   00:29 Diperbarui: 28 Februari 2019   10:35 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Akhir-akhir ini tampaknya semakin banyak orang bergerak melakukan aksi-aksi nyata untuk membangun gerakan literasi di Indonesia. Ada yang melakukan kampanye  seperti mengajak orang untuk rajin membaca dan menulis, ada yang melakukan kegiatan sosialisasi, memberikan motivasi serta membimbing komunitas-komunitas untuk membaca dan menulis, ada pula yang dengan suka rela membangun taman bacaan -- taman bacaan dengan berbagai nama. 

Bukan hanya itu kini bahkan ada pula yang secara lebih progresif lagi, mereka bukan hanya berkampanye, mengajak, memotivasi, membimbing orang atau komunitas, tetapi sekaligus menyediakan media untuk menampung karya  tulis dari komunitas yang diajak, dimotivasi dan dibimbing tersebut. 

Mereka menyediakan media seperti media cetak dan kini semakin banyak media online. Bahkan lebih dahsyat lagi ada pula pihak-pihak yang memberikan apresiasi kepada mereka yang tulisan mereka dimuat di media. 

Semua ini dilakukan untuk membangun kesadaran dan kemauan masyarakat untuk secara bersama-sama meningkatkan kualitas literasi yang ujungnya adalah meningkatkan kualitas diri, kualitas sumber daya manusia Indonesia yang masih kalah bersaing dengan masyarakat global. 

Mereka yang bergerak dan bergiat menjadi pegiat literasi  tersebut adalah individu-individu dan lembaga-lembaga, baik dari Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM), lembaga social yang dikenal sebagai pegiat literasi. Individu-individu dan organisasi-organisasi, seperti organisasi non pemerintah dan organisasi profesi seperti guru independen secara aktif melakukan kegiatan membangun dan meningkatkan kemampuan literasi anak bangsa. 

Ikatan Guru Indonesia ( IGI) selama ini  tampak sangat aktif dan berkelanjutan terus melakukan aksi kampanye literasi, yang bukan hanya pada level siswa, tetapi juga pada level guru yang secara massal bisa menerbitkan buku. Masih banyak lagi individu dan organisasi yang selama ini bergerak bersama membangun literasi di Indonesia yang tidak mungkin kita sebutkan satu-persatu dalam tulisan ini.

Pokoknya hingga kini, semakin banyaknya  pegiat literasi yang secara sadar, peduli, secara ikhlas dan penuh komitmen terus bekerja menggerakan masyarakat atau komunitas untuk membaca. Mereka bergerak, bekerja dengan berbagai motivasi dan impian yang bisa saja sama, mapun berberda. Cara-cara yang dilakukan juga tidak sama. 

Ada seribu satu cara untuk membangun kemampuan literasi anak bangsa. Para pegiat literasi umumnya adalah orang-orang yang idealis. Buktinya, mereka  banyak yang bekerja tanpa pamrih, tanpa ada gaji, tetapi setiap hari terus melayani masyarakat untuk membaca bacaan-bacaan yang sudah mereka sediakan. 

Selain banyak cara, banyak pula jenis kegiatan yang dilakukan, yang bukan saja mengajak, tetapi menyediakan bahan-bahan bacaan, baik dengan cara menggelarkan bacaan di tempat-tempat keramaian, seperti pasar atau tempat-tempat orang melakukan olah raga.  

Di kota Banda Aceh selama ini kita bisa melihat bagaimana RUMAN Aceh yang dengan terus menerus setiap minggu menggelar buku-buku bacaan di Blang Padang, Banda Aceh. Begitu juga di Bireun, selama ini ada orang-orang muda yang melakukan aksi pelayanan membaca kepada masyarakat dengan cara membawa buku dan menggelarnya di pasar. Mereka menyebutnya dengan sebutan "Muge Buku". 

Muge, sebenarnya adalah sebuah tradisi para pedagang yang menggelar barang dagangan di tempat ramai. Kalau dalam masyarakat minang, disebut dengan Manggaleh. Namun, Muge buku bukan untuk kepentingan dagang, tetapi untuk membantu masyarakat bisa mendapatkan bacaan gratis, dimana para pegiat literasi di kota Bireun ini, membawa buku dengan menggunakan sepeda motor yang dilengkapi dengan raga buku. Masyarakat yang mau membaca, bisa menikmati bacaan. 

Lebih lama lsebelum itu,  Center for Community Development and Education ( CCDE)  Banda Aceh yang berdiri pada tanggal 30 November 1993 itu sejak awal berdiri bekerja untuk membangun dan meningkatkan kemampuan  literasi di kalangan perempuan dan anak. 

Selain memotivasi dan melatih para perempuan dan anak dengan kemampuan menulis, lembaga ini mulai tahun 2003, setelah melatih 25 perempuan akar rumput dari 5 kabupaten di Aceh saat itu, kemudian menerbitkan majalah POTRET sebagai media belajar membaca dan menulis dan media ekspresi serta advokasi. 

Selain menerbitkan majalah POTRET, CCDE juga kemudian menerbitkan majalah Anak Cerdas yang diterbitkan dalam rangka membangun gerakan berkarya sejak dini di kalangan anak-anak di Aceh dan Indonesia. 

Selain menerbitkan dua majalah dan kini juga terbit dalam platform online, CCDE sejak tahun 2003 telah akatif membangun taman bacaan rakyat, seperti Taman Bacaan Rakyat Iqra di Manggeng, Aceh Barat daya serta lebih kurang 5 taman bacaan lain yang dibangun pada tahun 2006 yang masing-masing berada di kecamatan Labuhan haji, Aceh Selatan dan di wilayah kecamatan Manggeng di Aceh Barat Daya. 

Tentu saja bukan hanya itu, karena semangat dan tekad membangun gerakan literasi tidak boleh berhenti, maka hingga kini CCDE dengan majalah POTRET dan majalah Anak Cerdasnya, kini melakukan kegiatan hibah bacaan untuk taman bacaan --taman bacaan serta sekolah yang membutuhkan bacaan yang ada di Aceh dan wilayah Indonesia. 

Para pegiat literasi, baik individu maupun organisasi merasa sangat penting untuk membangun budaya literasi anak negeri, agar semua generasi bangsa ini memiliki kemampuan literasi yang tinggi untuk mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain yang sudah lebih dahulu terbangun dari tidur. Para pegiat literasi di negri ini merasa prihatin dengan kondisi kualitas manusia Indonesia yang budaya literasinya sangat rendah ini. 

Wajar saja, kalau Pihak pemerintah, sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab dan pemeran utama dalam memberikan pendidikan kepada rakyat Indonesia, kemudian semain sadar akan pentingnya upaya peningkatan kemampuan literasi masyarakat sekolah, guru dan peserta didik. 

Akhirnya   Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, meluncurkan gerakan literasi sekolah (GLS) atau (Gelis) dan selaligus menerbitkan payung hukum dengan mengeluarkan Permendikbud nomor 23 tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti yang salah satu hal pokok yang tertuang dalam peraturan tersebut yaitu kewajiban membaca buku nonteks pelajaran selama 15 menit sebelum jam pembelajaran dimulai setiap hari di sekolah. Berdasarkan amanat itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Dikdasmen) meluncurkan program Gerakan Literasi Sekolah (GLS). 

Tempo.co edisi 28 April 2017 menyebutkan bahwa Gerakan literasi di sekolah diwujudkan melalui upaya mendekatkan buku dan siswa dengan adanya sudut baca kelas, lingkungan kaya literasi dengan hadirnya pojok baca di lingkungan sekolah, dan revitalisasi perpustakaan dengan beragam kegiatan penunjang pembelajaran. 

Sekolah juga didorong untuk mengembangkan berbagai kegiatan literasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. Untuk memastikan program-program GLS berjalan optimal, sekolah juga ditekankan membentuk Tim Literasi Sekolah. 

Tentu saja, apabila budaya membaca di sekolah bisa tumbuh dan berlangsung dengan berlanjut,akan mampu meningkatkan kemampuan literasi peserta didik di sekolah yang selama ini dirasakan masih rendah itu .

Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini, program literasi  tersebut sangat dibutuhkan untuk menumbuh minat baca di sekolah  dan di masyarakat yang masih terus bermasalah. Minat baca anak-anak  ddan bahkan guru yang rendah  di sekolah telah membuat lembaga-lembaga pendidikan bermasalah ketika berhadapan dengan kegiatan evaluasi pendidikan seperti UAS dan Ujian Nasional dan lainnya yang telah berdampak buruk pada kualitas pendidikan. 

Paling tidak, diakui atau tidak bahwa selama ini, rendahnya kualitas pendidikan kita, semuanya disebabkan oleh rendahnya minat baca, budaya baca dan daya baca  bangsa ini. 

Padahal di era digital ini, idealnya minat membaca, Kemampuan mengidentifikasi masalah, menganalisis dan menulis masyarakat kita semakin meningkat dan berada pada posisi yang terbaik. 

Dikatakan demikian, karena dengan kemajuan perkembangan dan pertumbuhan produk teknologi informasi dan komunikasi seperti gadget dan lain-lain, mempermudah akses terhadap berbagai sumber pengetahuan dan bacaan yang jumlahnya pun semakin banjir. Berbeda dengan masa lalu, kita kesulitan mendapatkan bacaan dan referensi untuk dibaca. 

Ya, saat ini, segala sumber bacaan bisa kita dapatkan hanya dengan mengunakan mesin pencari, google searching di Internet yang juga semakin mudah dan murah diakses. Buku-buku dan segala macam sumber bacaan bisa diunduh dengan gratis oleh semua orang, asal punya gadget dan fasilitas Internet. Tentu sangat mudah. 

Sayangnya, kendatipun akses dan jumlah bacaan sangat banyak, minat membaca, kemampuan membaca dan apalagi kemampuan untuk mengidentifikasi, kemampuan menganalisis, hingga kemampuan dalam memberikan solusi terhadap sebuah masalah, masih cukup rendah. Semakin sulit dan sedikit orang yang mau dan bisa menulis, sebagai bagian dari empat ketrampilan berbahasa yang harus dikuasai setiap orang. 

Terbukti dari berbagai hasil survey atau kajian alias penelitian memaparkan kondisi yang membuat hati kita begitu terenyuh. Hasil survey yang sering disebut-sebut selama ini adalah hasil survey UNICEF yang menempatkan Indonesia berada pada posisi 61 dari 62 negara. 

Selain itu, PISA juga memperlihatkan hasil yang membuat kita minder membacanya, menempatkan kemampuan literasi bangsa Indonesia pada posisi paling belakang. Sangat memalukan, bukan? Sangat memalukan. 

Oleh sebab itu, selayaknya pemerintah dan semua elemen bangsa ini sadar bahwa kunci untuk membangun bangsa Indonesia seutuhnya, yang cerdas dan bertaqwa kepada Allah adalah literasi atau dalam konsep Islam kita kenal dengan Iqra. 

Semua pihak harus saling membantu menggerakan gerakan literasi dengan serius. Kiranya, pekerjaan atau tugas dan tanggung jawab membangun budaya literasi anak negeri adalah tanggung jawab semua orang. Jangan tunggu dan tunda lagi, bergeraklah sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun