Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama FEATURED

Untung dan Rugi Beli Rumah Subsidi

26 November 2018   17:44 Diperbarui: 5 Maret 2022   06:29 3789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Maket rumah subsidi di pameran REI Mega Expo 2017 di Indonesia Convention and Exhibition (ICE) BSD City, Tangerang, Sabtu (16/9/2017). (Arimbi Ramadhiani - kompas.com)

Rumah adalah kebutuhan hidup setiap orang, malah  disebut sebagai kebutuhan primer. Artinya kebutuhan hidup yang harus dan mutlak dipenuhi, karena apabila tidak dipenuhi akan membawa pengaruh buruk terhadap kehidupan seseorang. 

Oleh sebab itu, orang-orang terdahulu pun, yakni generasi zaman X atau baby boomers sudah menempatkan kebutuhan rumah seperti halnya kebutuhan sandang pangan, maka rumah yang dalam istilah yang kita kenal dengan papan menjadi kebutuhan primer. 

Oleh sebab itu, setiap orang atau keluarga membutuhkan rumah untuk tempat tinggal, tempat berlindung dari hujan dan panas, serta menjadi tempat untuk meneruskan generasi.

Membuat dan membangu rumah itu susah dan berat. Karena untuk membangu rumah, kita membutuhkan banyak uang atau dana. Bukan hanya itu, tetapi juga tenaga dan waktu. 

Karena begitu beratnya membuat rumah, di dalam masyarakat Aceh ada pameo yang mengatakan seperti ini. "Meunyoe keumueng susah, peugot rumoh. Meunyoe keumeung mehmoh, meukawen dua". Bila kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, terjemahannya kira-kira seperti ini. Kalau mau susah itu membuat rumah, kalau mau repot ya, kawin dua. 

Ya, begitu sulitnya setiap orang atau setiap keluarga memenuhi kebutuhan akan rumah. Menjadi sangat sulit, karena kemampuan finansial setiap orang yang berbeda. 

Bagi orang yang tingkat kekuatan atau kemampuan ekonomi tinggi, atau orang kaya, untuk memenuhi kebutuhan rumah, tentu tidak sesulit orang-orang yang berlatar belakang ekonomi lemah allisa miskin. 

Bagi orang kaya, malah rumah bukan lagi kebutuhan, tetapi keinginan. Misalnya, ingin memiliki rumah yang mewah dan wah, punya kolam renang dan taman yang luas dan sebagainya. Namun, bagi yang tidak punya uang? Tentu tidak demikian.

Semakin rendah kemampuan keuangan atau ekonomi seseorang, maka semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan akan rumah, sebagai tempat tinggal, berlindung dan berkembangbiak.  

Apalagi dalam kondisi sekarang, ketika jumlah penduduk di sebuah daerah terus bertambah, semakin banyaknya pasangan usia muda yang menikah dan membutuhkan rumah, sementara jumlah lahan untuk membangun rumah juga semakin berkurang dan sempit. Konsekwensinya harga tanah pun terus naik dan melambung tinggi. 

Kondisi ini semakin melemahkan kemampuan membeli (daya beli) masyarakat. Sehingga, sudah jamak kita melihat banyak orang yang belum punya rumah. Mereka banyak yang setiap tahun harus menyewa rumah dan berpindah-pindah. Banyak pula orang yang tidak punya rumah (homeless), sehinga harus hidup bergelandangan, terutama orang-orang miskin di perkotaan. Mereka terpaksa hidup bergelandangan dan tinggal di bawah-bawah jembatan atau malah hanya dengan menggunakan kardus.

Berdasarkan data Kementerian PUPR, seperti yang ditulis Kurniasih Budi, di Kompas.com edisi 4 April 2014  bahwa kebutuhan rumah per tahun bisa mencapai angka 800.000 unit.

Hal itu menjadi salah satu peluang bagi para pemangku kepentingan bidang perumahan untuk lebih bersemangat dalam membangun rumah. Jadi, bisa bayangkan berapa besar orang yang akan akan membutuhkan rumah, setiap tahun?  Sangat besar bukan? Lalu, karena rumah adalah kebutuhan promer, pertanyaan kita adalah akan mampukah masyarakat kita membangun rumah sendiri?

Agaknya, semakin lama, harga dan biaya untuk membuat rumah sendiri semakin naik atau meningkat. Apalagi mereka yang tdak mempunyai tanah, untuk membangun sebuah rumah yang lengkap, akan memakan waktu yang cukup lama pula. Bila membuatnya lama, harga barang terus meningkat naik. Begitu pula dengan ongkos kerja yang secara otomatis akan menyesuaikan dengan kenaikan harga barang. 

 Banyak orang yang tidak mampu memiliki rumah sendiri, karena kondisi ekonomi yang sulit. Bukan hanya dialami oleh orang-orang miskin dan duafa yang jumlahnya masih sangat banyak di negeri ini, tetapi juga para pegawai negeri, bauk sipil maupun militer. 

Lihatlah kondisi rumah atau asrama para polisi, tentara dan lainnya, banyak yang masih dalam kondisi yang memprihatinkan. Mereka terpaksa memilih tinggal di asrama dalam waktu yang relative lama atau bila memiliki dana yang cukup untuk menyewa rumah, mereka akan menyewa rumah. 

Mengapa semua ini terjadi? Sekali lagi, karena membuat rumah atau membangun rumah itu mahal dan banyak orang merasa tidak mampu membangun rumah sekali gus. Fakta di tengah masyarakat mereka harus melewati beberapa tahapan. Misalnya membeli tanah dahulu, lalu kumpulkan uang dan baru mulai membangunnya ketika ada persediaan uang. Jadi memang sangat sulit.

Kesulitan masyarakat memiliki rumah,  juga menjadi perhatian pemerintah. Artinya pemerintah ikut membantu masyarakat untuk memiliki rumah. Salah satu upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan rumah masyarakat adalah dengan melaksanakan Program Satu Juta Rumah. Program tersebut merupakan salah satu proyek strategis nasional yang dilatarbelakangi tingginya backlog perumahan sekitar 11,6 juta unit rumah. 

ilustrasi portalsemarang.com
ilustrasi portalsemarang.com
Sebagai tonggak dimulainya pelaksanaan program tersebut, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mencanangkan pelaksanaan Program Satu Juta Rumah pada 29 April 2015 di Ungaran, Jawa Tengah. Sebagai payung hukumnya, pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional ( Kompas.com)

 Selain pemerintah, pihak Bank juga selama ini sangat jeli melihat kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan akan rumah tersebut. Sebagai pelaku bisnis, kesulitan banyak orang untuk memenuhi kebutuhan papan atau rumah ini, menjadi peluang bisnis bagi para pemilik modal, termasuk bank untuk membangun rumah-rumah yang kemudian dijual secara tunai dan kredit. 

Untuk mempermudah pemilikan rumah, terutama bagi kalangan PNS atau ASN, pihak Bank menawarkan jasa pinjaman/ kredit pemilikan rumah dalam berbagai jenis dan ukuran yang kemudian bisa dicicil sesuai dengan jangka waktu yang diinginkan. Ini adalah cara untuk membantu para abdi Negara untuk bisa membeli rumah. Dengan cara ini, akan memudahkan mereka yang memiliki penghasilan atau gaji tetap untuk memperoleh rumah dengan cara cicilan.

Saat ini, di beberapa daerah bahkan sedang banyak dibangun rumah type 36 meter, dengan fasilitas subsidi. Orang-orang menyebutnya dengan nama rumah subsidi. Kedengarannya sangat menarik, karena mendapat subsidi dari pemerintah. Keberadaan atau pembangunan rumah bersubsidi tentu terasa sangat membantu masyarakat kelas bawah yang ingin memiliki rumah. 

Sayangnya, masyarakat atau pembeli banyak yang tergiur dan tersengat dengan sebutan subsidi tersebut, tanpa mengetahui dengan pasti dan benar akan apa yang dimaksud dengan subsidi tersebut. 

Seharusnya para pembeli rumah subsidi bertanya, siapa yang disubsidi? Pembeli atau pengembang? Idealnya, terminology subsidi ini wajib diketahui oleh setiap pembeli rumah subsidi.

Jangan sampai pembeli rumah subsidi  merasakan bahwa mereka mendapat subsidi dari pemerintah, padahal tidak demikian. Pertanyaannya, subsidi yang diberikan tersebut dalam bentuk apa? Apakah subsidi untuk uang muka atau DP? Kiranya ini adalah hal yang kabur dan tidak menguntungkan pembeli.

Kemudian, bila kita mau merunut-runut hal yang merugikan konsumen atau pembeli rumah, seperti RSS atau rumah subsidi tersebut, pada dasarnya, penyebutan istilah RSS maupun rumah subsidi itu, akan berpengaruh pada kualitas bangunan yang akan dibeli. Logikanya, semakin sedikit uang, atau semakin murah harga rumah itu dihargakan, maka kualitas rumah tersebut juga akan semakin rendah. 

Bukan saja pada kualitas bangunan yang dibangun dengan bahan bagunan yang berkualitas rendah, fasilitas dan luas tanah juga akan sangat kecil dan berkualitas rendah. Apalagi rumah subsidi, yang seakan-akan karena kebaikan pemerintah, pembeli mendapat subsidi, lalu rumah dibangun asal jadi. Dengan cara ini, maka pembeli akan mengalami kerugian, karena dalam waktu yang tidak begitu lama, kondisi rumah akan mengalami kerusakan, baik di bagian atas, maupun di bagian bawah atau lantai.

Kita bisa bayangkan seperti apa dulu rumah sangat sederhana (RSS) dibangun.  Mungkin banyak yang tahu bagaimana kondisi type 36 (RSS) yang standar  kualitasnya sangat rendah itu. 

Apalagi RSS type 21? Itu lebih parah lagi. Wajar saja, kalau di beberapa daerah, rumah-rumah sangat sederhana (RSS) type 21 dan 36 banyak yang tidak ditempati karena tidak layak huni. Sehingga, pembeli hanya membayar setoran hingga selesai, sementara rumah yang dibeli tidak ditempati.

Hal yang sama juga bisa terjadi terhadap pembangunan rumah bersubsidi. Ya, karena rumah bersubsidi, maka para pembeli harus faham bahwa ukuran tanah yang disediakan hanya sekitar 100 meter misalnya. Lalu, karena itu rumah subsidi, maka bahan-bahan yang digunakan pun harus diterima dengan ikhlas, ya namanya saja rumah subsidi, wajarlah menggunakan bahan yang minim sesuai dengan subsidi. 

Celakanya lagi, banyak pula pembeli, yang sudah membeli rumah subsidi, dalam waktu yang tidak begitu lama, karena kondisi rumah yang sempit, kemudian merenovasi dan bahkan membongkar rumah asli, lalu dibangun dengan yang lain. 

Bukankah ini pemikiran yang tidak rasional dan tidak bijak dalam membeli rumah?  Kalau, begini yang dilakukan, apakah membeli rumah subsidi itu untung atau buntung?

Nah, hal-hal seperti disebut di atas adalah mungkin dianggap persoalan sepele dan biasa. Namun, bila kita lihat dari sudut untung dan rugi, kita memang harus cerdas dan bijak dalam membeli rumah yang dibiayai dengan pinjaman berjangka panjang dari bank tersebut. Selayaknya, para pembeli cerdas menghitung-hitung, apa untung rugi membeli rumah bersubsidi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun