Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Tantangan Generasi Milenial di Dunia Kerja

16 November 2018   19:49 Diperbarui: 16 November 2018   20:00 1754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Tabrani Yunis

Jumlah angkatan kerja di tanah air dari tahun ke tahun terus meningkat jumlahnya. Jumlah angkatan kerja dalam konsep Badan Statistik merupakan penduduk yang berumur 15 tahu lebih yang bekerja, atau punya pekerjaan, namun sementara tidak bekerja atau menganggur yang jumlahnya pada tahun 2017 masih relative tinggi yakni 128.06 juta jiwa. Jumlah ini disebut berkurang sebesar 3.49 juta juwa disbanding Februari 2017. 

Sementara jumlah penganggur meningkat sebanyak 30 ribu jiwa, menjadi 7.04 juta jiwa dengan tingkat pengangguran terbuka sebanyal 5.5 persen angkatan kerja. Jumlah ini akan terus meningkat, apabila semakin banyak lulusan dunia pendidikan, terutama pada jenjang pendidikan tinggi yang menghasilkan sarjana-sarjana baru yang memiliki kapasitas dan kulitas kerja yang rendah. 

Tingginya jumlah angka tingkat pengangguran terbuka, akan berkonsekwensi terhadap persoalan lapangan pekerjaan. Fakta mutakhir tentang lowongan kerja yang dibuka pemeritah belakangan ini, dengan system penerimaan dan seleksi ketat lewat CAT/SKD, telah membuat para pencari keja di lembaga pemerintah banyak yang tumbang. 

Bayangkan saja, puluhan ribu pencari kerja gagal ketika dihadapakan dengan system test yang passing grade tinggi. Ini menjadi indicator betapa rendahnya kualitas lulusan lembaga pendidikan, terutama Perguruan Tinggi. 

Dengan demikian, apa yang dirasakan oleh masyarakat pencari kerja (jobseekers) yang umumnya adalah generasi milenial, kini semakin sulitnya menembus dunia kerja. Penyebabnya, bisa disebabkan oleh system seleksi serta terbatasnya lowongan pekerjaan di lembaga-lembaga atau kantor pemerintah. Itulah salah salah satu fakta betapa selama ini terasa semakin sempit lapangan kerja yang ada atau tersedia. 

Kesulitan yang dialami, bukan saja untuk bisa merebut kesempatan kerja sebagai PNS atau ASN,  begitu pula halnya di perusahaan-perusahaan swasta. Sementara jumlah lulusan perguruan tinggi setiap tahun terus bertambah. Perguruan Tinggi, setiap tahun mewisuda ribuan sarjana baru, sehingga menambah ketatnya persaingan di dunia kerja. 

Kondisi ini membuat para sarjana baru dan lama saling berebut kesempatan kerja. Apalagi pola pikir atau mindset masyarakat terhadap dunia kerja orientasinya hanya ingin menjadi pegawai negeri alias PNS atau sekarang disebut dengan ASN. Sehingga pekerjaan di luar ASN atau PNS, seperti tidak dianggap sebagai pekerjaan. Itulah salah satu fakta di tengah masyarakat kita selama ini.

Sayangnya,  kaum melienial yang berstatus sebagai pencari kerja semakin terlihat meninggalkan budaya membaca, sehingga mereka banyak yang tidak mampu mengunyah soal-soal yang dihidangkan di depan mereka. Apalagi system soal yang kini sedang menjadi momok yakni CAT dan KSD itu. Kondisi ini semakin membuat generasi milenial kehilangan kecerdesan mereka. 

Mereka terus berusaha mencari dan mencari pekerjaan. Mereka tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan, bukan saja untuk orang lain, pekerjaan untuk diri sendiri saja tidak mampu. Ujung-ujungnya adalah terus berharap untuk diangkat menjadi pegawai negeri. Sementara lapangan kerja yang menerima tenaga honorer, juga semakin kewalahan menampung orang-orang yang mencari kerja untuk menjadi tenaga honorer. 

Ketika lowongan untuk menjadi tenaga honorer juga semakin sulit, maka  berbagai macam cara mereka tempuh untuk bisa tercatat sebagai tenaga honorer. Ada yang berusaha mencari orang-orang dekat di kantor pemerintah, ada pula dengan cara yang lebih memaksa, lewat saudara yang pejabat. Pokoknya, bisa berhonor. 

Padahal, penghasilan yang diterima sebagai tenaga honorer itu jumlahnya sangat tidak manusiawi. Namun, tidak bisa disalahkan pihak yang mengangkat tenaga honorer secara serta merta, karena bisa jadi honor yang dikeluarkan untuk tenaga honorer memang tidak ada. Sehingga, nasib pegawai honorer menjadi sangat ironis, karena honor yang mereka peroleh tidak dapat membantu mereka dari kesulitan hidup.

Nah, tingginya jumlah angkatan kerja, jumlah angka pengangguran terbuka yang relative tinggi, serta sempitnya lapangan pekerjaan, serta rendahnya kualitas keluaran dunia pendidikan sudah membuat kondisi dunia kerja semakin parah. Lebih parah lagi, ketika mereka yang menganggur masih terus diselimuti oleh penyakit mental sebagai job seeker, yang hanya bisa bekerja kalau dipekerjakan.

Idealnya, ada alternative. Ada jalan lain yang harus diciptakan. Salah satu jalan adalah membekali setiap peserta didik dengan kemampuan wira usaha (entrepreneurship). Entrepreneurship harus menjadi mata pelajaran bagi setiap peserta didik, terutama yang berada pada jenjang pendidikan tinggi. Mereka harus diajarkan tentang ekonomi kreatif serta management usaha yang kelak menjadi pilihan ketika masuk ke dunia kerja. 

Dengan cara ini, mereka memiliki paling kurang ada dua pilihan yakni pilihan untuk menjadi tenaga kerja (buruh, pegawai) atau membuka lapangan pekerjaan sendiri.

Membuka lapangan kerja sendiri, merupakan jalan keluar agar tidak menganggur. Namun, menciptakan lapangan kerja sendiri bukan pula hal yang mudah, apalagi bagi mereka yang baru tamat dari Perguruan Tinggi yang tidak memiliki pengetahuan, ketrampilan dan sikap entrepreneurial. Jangankan lulusan strata satu, yang S2 saja masih merangkak-rangkak mencari lapangan kerja. 

Penyebabnya, pengetahuan, ketrampilan dan jiwa entrepreneurship tidak pernah dibekali kepada mereka di bangku kuliah. Idealnya, ketika universitas tidak mampu menelurkan lulusan sarjana yang mampu  bekerja mandiri dan membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain, serta pemerintah tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan, para mahasiswa di Perguruan Tinggi harusnya dibekali dengan entrepreneurship secara memadai. Dengan membekali mereka entrepreneurship secara memadai, mereka akan memiliki pilihan pekerjaan ketika lulus kuliah.

Oleh sebab itu, mata kuliah entrepreneurship menjadi salah satu alternative yang perlu ada dalam diri setiap peserta didik tersebut di perguruan tinggi. Tentu saja, setiap  peserta didik harus mendapatkan bekal soft skill dan hard skill di bidang entrepreneurship agar tumbuh kesadaran untuk berwirausaha mengembangkan ekonomi kreatif di berbagai bidang atau sector. 

Banyak sector yang bisa menyerap lulusan perguruan tinggi yang telah siap membekali mahasiswa dengan entrepreneurship  seperti jasa, pertanian, peternakan dan ekonomi kreatif yang sesuai dengan perkembangan kebutuhan  generasi milenial dan generasi Z yang serba digital. Era digital, seharusnya menjadi peluang untuk menumbuhkan dan membuka banyak lapangan pekerjaan baru, bukan malah terancam.

Dengan kondisi seperti ini, generasi milenial di Indonesia tampaknya akan menjadi penonton dan penganggur. Apalagi saat ini generasi milenial adalah genarasi yang terjebak dalam budaya instant yang memanjakan. Maka, generasi milenial akan semakin sulit menguasai dunia kerja, apabila tidak mau mengubah perilaku manja dan merasa nyaman di zona aman (comfort zone) itu, generasi milenial akan menjadi generasi lemah dan tak berdaya. 

Oleh sebab itu perlu ada upaya membangun gerakan literasi yang lebih proaktif dan produktif terhadap generasi ini. Pertanyaan kita, relakah kita melihat dan menyaksikan mereka menjadi tidak berdaya merebut dan menciptakan lapangan kerja? Terlalu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun