Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sepeda-sepeda itu Membawaku ke Bivak

8 November 2018   16:03 Diperbarui: 8 November 2018   16:18 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Bagian Pertama)

Oleh Tabrani Yunis

 

Anda pernah mendengar kata Bivak? Mungkin pernah membaca atau mendengarnya? Kalau aku pernah mendengar dan membaca. Namun lupa. Ya, Bivak. Kata itu tidak begitu asing di telinga dan pikiranku. Namun, seperti hilang timbul. 

Perasaanya, kata-kata itu sering aku temukan ketika dahulu, di kala masih belajar di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Banda Aceh hingga kuliah di jurusan bahasa Inggris, FKIP Unsyiah Banda Aceh. Sudah cukup lama.

 Bayangkan saja, aku bersekolah di SPG Negeri Banda Aceh itu dari tahun 1979- 1982 dan kemudian kuliah di Program di Diploma 2 tahun, yakni 1982- 1984 dan melanjutkan lagi ke jenjang S1, pada 1984 dan selesai 1989. Ya, sudah tiga puluh tahun lebih. Wajar saja kata tersebut hilang dan timbul di pikiranku. Yang aku ingat, Bivak itu bukan kata yang berasal dari Bahasa Indonesia, tetapi itu adalah Bahasa Belanda.

Anggapanku ternyata salah. Kata bivak itu bukan berasal dari Bahasa Belanda, tetapi menurut catatan Wiki Pedia, kata Bivak itu berasal dari Bahasa Perancis, yang asal katanya adalah Bivouac yang berarti tempat berlindung sementara (darurat) di alam bebas dari aneka gangguan cuaca, binatang buas, dan angin. Mendirikan bivak adalah teknik penting yang harus dikuasai jika hendak berkemah. 

Bivak merupakan salah satu kemampuan wajib survival di alam bebas. Karena pembuatannya yang mudah dengan peralatan yang seadanya.Begitu penjelasan wiki pedia. 

Nah, setelah mencari asal-usul kata dan maknaya, aku kembali mengerti apa yang dimaksudkan dengan kata bivak tersebut. Namun, sebenarnya apa pentingnya aku mengingat dan mencari tahu asal usul maupun arti kata bivak tersebut? Aku bukan sedang mengisi TTS saat ini. Bukan pula sedang belajar linguistic maupun semantic.

 Lalu, mengapa aku harus menyebut-nyebut dan mengingat-ingat kata itu. Tentu atau pasti ada yang melatarbelanginya. Ya ada historical background.Artinya, ada yang memantik, sehingga muncul ke permukaan pikiran. Pasti pula ada kemungkinan yang menarik untuk dibicarakan atau ditulis.

Tidak salah. Ya itu memang benar. Aku merasa terkesan dan malah merasa kaget, mengapa aku kemudian bertemu dengan Bivak. Tentu saja, kata Bivak yang aku temukan ini bukan bivak  seperti yang pernah menjadi jawaban TTS yang pernah aku geluti selama bertahun-tahun yang membuat aku bisa membayar biaya kuliah saat itu, bukan pula Bivak seperti yang aku baca di kamus atau di Wikipedia, tetapi ini Bivak, nama sebuah sekolah dasar (SD) yang berada di pedalaman kabupaten Bireun Aceh. Sebuah kampung yang jaraknya lebih kurang 30 kilometer dari kota Bireun. Kampung itu, berada di wilayah kecamatan Juli. 

Sebuah kampung yang belum pernah aku ketahui dan belum pernah sebelumnya aku kunjungi, walau sebenarnya aku sudah banyak keliling Aceh masuk ke pedalaman dan pelosok Aceh untuk mengantarkan sepeda dan sekalian berbagi bahan bacaan, berupa majalah POTRET dan majalah Anak Anak Cerdas. 

Alhamdulilah, ternyata program 1000 sepeda dan kursi roda yang aku gagas di Center for Community Development and Education (CCDE) ini, sudah mengantarkan aku bisa melihat langsung bagaimana kehidupan masyarakat dan anak-anak yang berhadapan dengan kesulitan bersekolah.

Aku sangat bersyukur dan berterima kasih kepada semua pihak yang telah ikut membantu program ini. Mereka adalah orang-orang hebat yang mendonasikan rezekinya lewat CCDE berupa uang untuk membeli sepeda, kursi roda dan bahkan juga tongkat, bila diperlukan. Aku sebagai penerima amanah dengansuka rela dan bahagia bisa bertemu anak-anak yang sedang kesulitan. 

Alhamdulillah, selama menjalankan program ini, walau aku harus mengemudikan mobil sendiri, Allah selalu menyelamatkan aku dan teman-teman, seperti Iqbal Perdana, dan lain-lain dalam perjalanan tersebut, tanpa pernah mengalami kerusakan mobil, walau mobil itu sudah tua, ya Ford Ranger keluaran tahun 2001. 

Aku patut bersyukur dan berbahagia dengan rahmat Allah ini. Ini pulahlah yang mengantarkan aku bisa tiba di kampung yang tidak pernah ada dalam pengetahuanku sebelumnya.

Perjalanan menuju Bivak
Perjalanan menuju Bivak
Maaf, kalau ceritanya sudah beranjak jauh dari Bivak. Sebaiknya kita telusuri, bagaimana aku dan Iqbal bisa sampai ke Bivak. Sungguh, aku tidak pernah punya rencana ke kampung itu. Tetapi, karena ada permohonan bantuan sepeda yang dikirimkan oleh Kepala SD Negeri 12 Bivak, Juli, Pak Iskandar, yang meminta bantuan sebanyak 7 sepeda. 

Namum kami membawa 10 sepeda, karena ada dua permintaan lain di wilayah Juli tersebut serta biasanya ada anak yang tidak mengajukan, karena tidak tahu, maka dalam kondisi yang sangat membutuhkan itu, ia bisa mendapatkan sepeda tanpa harus mengajukan permohonan. Kita bisa melihat kondisi ril di lapangan. 

 Akhirnya aku dan Iqbal membuat rencana untuk mengantarkan sepeda dari kota Banda Aceh ke kampung itu. Sudah hampir satu bulan direncanakan untuk mengantarkan sepeda itu, namun karena belum ada biaya transport untuk ke lokasi, aku mohon kepada Pak Iskandar untuk bersabar sejenak dan beliau mengiyakannya.

 Alhamdulilah, Allah menunjukan kebesaranNya. Pada tanggal 1 Oktober 2018, aku menerima panggilan telepon dar Pak Zulwanis, pegawai di Dinas Pendidikan Pidie Jaya. Beliau mengundangku untuk memberikan materi menulis, ya membimbing murid SD dan SMP menulis. Kegiatan itu dilakukan pada hari Kamis, 04 Oktober 2018. 

Acara direcanakan berlangsung pada pukul 09.00 hingga pukul 17.30 WIB. Aku diminta memfasilitasi sendiri. Alhamdulilah aku sangupi dan aku benar-benar sanggup hingga sore hari. 

Perjalanan menebarkan cinta literasi, cinta membaca dan menulis di kalangan murid SD dan pelajar SMP di Pidie Jaya pada tanggal 04 Oktober 2018 itu menjadi jembatan bagi aku dan Iqbal untuk bisa melanjutkan perjalanan ke Bireun.  Ya, usai memfasilitasi kegiatan menulis tersebut, pada pukul 18.00 WIB, aku kembali mengendalikan stir mobil menuju Bireun. Namun, karena sudah menjelang magrib, perut terasa lapar dan badan minta istirahat sejenak, kami berdiri di dekat SPBU Ule Gle, Pidie Jaya. Ketika mata sedang melihat, mencari warung kopi, tiba-tiba sebuah pesan di massanger. Seorang sahabat facebookerku bertanya di mana posisiku. Aku mengatakan dalam mobil. Aku membuka kaca mobil, ternyata ia, berada pas di warung sebelah jalan. Aku bertemu dan menikmati secangkir kopi dan sepering martabak telor, sambil berduskusi mengenai literasi bersama Muhammad Iqbal yang suka menulis cerpen itu.

Tanpa terasa, walau hanya barus sebentar, suara azan magrib mulai bergema. Kami memutuskan untuk singgah di rumah adikku iparku di Meurandeh Alue, Ule Gle untuk salat magrib dan inginnya mandi. Namun, karena kelelahan, usai salat magrib aku dan Iqbal membaringkan badan sejenak di kamar yang sudah disediakan adik iparku. Ternyata, entah karena kelelahan, kedua kami tertidur dan baru terbangun tengah malam. Tentu saja perjalanan tidak bisa dilanjutkan, kecuali melaksanakan salat isya. Akhirnya perjalanan ke Bireun dilanjutkan di pagi hari, pada pukul 07.00 WIB. Perjalanan ke Bireun tidak lama, hanya sekitar 45 menit bisa tiba di kota Bireun yang disebut kota Juang itu.

Kebiasaan di pagi hari, perut ingin diisi dahulu bersama segelas kopi. Maka, ketika mendekati kota Bireun, aku mengambil HP dan menelpon teman yang sekalian adil letting yang kuliah di FKIP Bahasa Inggris di Unsyiah dahulu. Ia mengajaku kami menikmati sajian sarapan di sebuah warung di kota Juang itu. Tak berapa lama, Pak Jakfar Kobar pun datang, lalu kami bercengkerama sejenak. Karena aku dan Iqbal akan melanjutkan perjalanan ke Kecamatan Juli, menemui Pak Iskandar yang sudah menunggu kami. Jarak Bireun ke Juli hanya sekitar 5 kilometer. Maka, usai ngopi kami meluncur ke Juli untuk selanjutnya ke lokasi pembagian sepeda.

 

Pak Iskandar yang sudah lama menunggu, terlihat di pinggir jalan dengan kemeja putihnya.  Aku menghentikan kenderaan di depan warung dan turun menjumpai Pak Iskandar. Ada teman-temannya mengajak kami minum, namun karena takut tidak cukup waktu, aku memutuskan untuk langsung ke lokasi pengantarana sepeda tersebut. Pak Iskandar yang menunjukan jalan. Beranjak dari kilometer 5, kami tiba di kilometer 11, setelah melewati sebuah jembatan panjang. Pak Iskandar memintaku belok ke kanan, masuk ke jalan yang mengarah ke SD Bivak. Jalan itu adalah wilayah pegunungan yang menjadi tapal batas antara Bireun dan Takengon serta Bener Meriah. Aku harus mengemudikan mobil dengan penuh hati-hati. Soalnya kondisi jalan yang berliku-liku, ada yang licin dan berbatu-batu. Ada jalan yang sudah beraspal dan rusak, ada pula yang masih batu-batu. Untunglah dari sekian kilometer jalan itu, ada jalan yang mulus, yang kata orang kampung di sekitar itu, jalan itu adalah jalan yang dibangun oleh Kausar, anggota DPRA yang mungkin menggunakan dana aspirasinya untuk jalan itu. Walau tidak semua jalan diaspal, tetapi sudah sangat membantu hingga kami bisa sampai ke Bivak.

jalan menuju SD Negeri 12 Juli Bivak
jalan menuju SD Negeri 12 Juli Bivak
 

Perjalanan ke Bivak, dilalui dengan melewati  daerah semak-semak, sungai, bukit dan hutan sawit serta jalan berbatu-batu. Alahmdulilah kami tiba di sebuah kampung yang bernama Sarah Sirong, Blang Rhe. Tiba di Sarah Sirong, ternyata belum sampai ke sekolah yang dituju. Kami harus melewati sebuah jembatan gantung. Aku terus terang tidak berani mengemudi mobil di atas jembatan gantung tersebut. Ya, aku tidak mau ambil risiko. Akhirnya Pak Iskandar yang kepala sekolah tersebut, meminta jasa dua orang guru menjemput aku dan Iqbal di seberang sungai. Kedua guru tersebut membawa masing-masing satu sepeda motor, lalu mengantarkan kami ke sekolah SD Negeri 12 yang berlokasi di Gampong Krueng Simpo Bivak. Betapa kagetnya ketika menuju sekolah tersebut yang letaknya tidak jauh dari bukit-bukit yang sudah disulap jadi kebun sawit itu. Sebuah sekolah yang letaknya jauh dari rumah penduduk dan ditutup oleh pohon-pohon besar. Bisa jadi, hampir tdak banyak orang yang tahu, kalau di situ ada sebuah sekolah yang sedang mendidik dan mengajar  sebanyak 72 anak dari desa yang dibelah oleh sungai (Krueng Simpo Bivak) itu. 

 

Sekolah yang terkesan " hidden building" ini ternyata sekolah minim dalam berbagai hal. Dari sudut peserta didik, anak-anak yang bersekolah di sekolah ini adalah anak-anak dari kalangan miskin dan ekonomi lemah. Mereka hidup di rumah yang jauh dari layak. Berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Hanya beberapa di antara mereka yang menggunakan sepeda dengan merek-merek dan kualitas seadanya. Bagi  pembaca yang sudah pernah memasuki kampung di pedalaman, bisa bayangan apa yang bisa terjadi terhadap anak, terutama anak-anak perempuan yang berjalan kaki sendiri, melewati jalan berbatu lebih dari 3 kilometer? Sangat berbahaya bukan? Itulah faktanya,  hingga mereka ada yang menggantungkan sepatu di leher. 

Sekolah serba minim itu
Sekolah serba minim itu
Hal lain yang menyedihkan, ternyata fasilitas belajar di sekolah ini sangat minim. Sekolah yang memiliki 6 guru negeri (PNS) dan 6 guru honor yang sudah berbakti bertahun-tahun ini, seperti diakui oleh kepala Sekolahnya sangat minim akan peralatan belajar. Miskin bacaan, media belajar dan bahkan kepala sekolah ketika pertama bertugas di sekolah ini terpaksa meminjam bangku dan meja sekolah ke sekolah lain. Ya, ia harus meminjam sebanyak 40 bangku dan meja daro SD Negeri 3 Juli dan SD Negeri 10 Juli. Ya, statunya pinjaman. Ironis sekali bukan?

Memang dan pasti sangat ironis. Aceh yang katanya kaya dan bahkan istimewa di bidang pendidikan, dalam realitasnya menyimpan potret kemiskinan sekolah, terutama sekolah yang jauh dari pusat kekuasaan. Maka, wajar kalau kami datang untuk bisa berkontribusi membantu sepeda agar anak-anak yatim, yatim piatu dan miskin itu bisa bersekolah dengan sepeda yang kami antarkan kepada mereka. Alhamdulillah, 8 orang anak di desa itu mendapatkan bantuan sepeda, agar mudah berangkat ke sekolah untuk membangun masa depan yang lebih baik. Siapa tahu, diantara mereka kelak menjadi pejabat dan orang kaya yang peduli dan mau membantu orang miskin lain, pasti akan sangat membantu. Semoga mereka bisa bangkut menjadi generasi bangsa yang hebat dan cerdas. Amin.

photo-2018-09-12-13-38-33-5be3fbd26ddcae7ba07e9fd2.jpg
photo-2018-09-12-13-38-33-5be3fbd26ddcae7ba07e9fd2.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun